Hari ini aku melakukan perjalanan mengulang waktu, memakai setelan baju dan hijab yang sama, memesan semangkuk mie ayam di tempat favorit kala itu. Warung mie ayam sebrang jembatan. Bagiku semangkuk mie ayam adalah obat penawar dari berisiknya isi kepala. Ingatanku kembali pada dua tahun lalu, sewaktu makan ditempat ini. Benar saja, rasanya masih sama, masih enak seperti biasanya, yang berubah adalah aku menikmati makanan favorit ini sendiri.
Kuamati lekat-lekat banguanan tua itu, kursi silih berganti diisi oleh para pelanggan yang menandakan warung mie ayam ini adalah warung legend digemari banyak orang. Sejenak kurasakan suasana tempat yang begitu kurindukan, sebenarnya bukan hanya makanan dan tempatnya saja. Jujur aku juga sangat merindukannya, untuk itu perjalanan mengulang waktu ini adalah bagian dari mengunjungi kenangan yang kapan waktu bisa aku rindukan.
Beberapa bulan yang lalu, aku berusaha menemukan jejaknya di media sosial, namun nihil. Tak kutemukan apapun tentang dirinya dan kesehariannnya dalam media sosial. Aku enggan menanyakan kontak ponselnya pada kawan lamaku, kupikir aku bisa melakukkannya sendiri. Ternyata salah, tak ada hasilnya.
Aku masih mengingat beberapa pesan sebelum dia pergi atas ketidakjelasan yang membingungkan ini. Katanya, aku harus menjadi perempuan yang tak lelah untuk terus belajar. Belajar adalah sebuah upaya pemberdayaan diri mengedepankan akal sehat, nalar kritis sehingga terbentuk kecerdasan intelektual, emosional, maupun secara spiritual yang baik, kelak menjadikanku perempuan berdaya. Tak heran, jika kata mutiara dan petuah-petuah hidup keluar dengan begitu saja saat sedang bersama. Aku merindukan masa-masa itu, memakan semangkuk mie ayam disertai obrolan random dan kadang berbobot.
“Mie ayam special satu mangkuk mbak,” ucap penjual mie ayam menyodorkan mie ayamnya dihadapanku.
Lamunanku buyar, rupanya pesanan semangkuk mie ayam sudah siap, es jeruk nipis segar juga sudah berada di mejaku sejak lima belas menit yang lalu. Tanpa berpikir panjang, aku mengeluarkan ponsel dan mengabadikannya. Aku masih menelateni hobi mengambil gambar makanan lantas menarasikannya dan menjadikan ini sebuah postingan di media sosialku. Kudengar hentakan langkah kaki menuju kearahku. Suaranya semakin mendekat, “Masih sering makan mie ayam disini sa?” tanya orang itu dengan sedikit senyuman.
Aku terkejut melihat Amar tiba-tiba berdiri dihadapanku dengan melemparkan senyum. Apakah aku sedang bermimpi?
“Eh, Mas kok tiba-tiba di sini?”
“Iya sa, sudah lama aku kagen makan mie ayam disini. Eh malah dapat bonus ketemu kamu,” jawab Mas Amar seadanya sembari duduk di kursi depanku yang memang kosong.
“Beneran cuma pengen mie ayam? kok sampai jauh-jauh dari Kediri ke Semarang mas?” tanyaku penuh introgasi.
“Kebetulan lagi mengantar adikku kuliah di Semarang, jadi mampir disini. Sekalian memungut sisa-sisa kenangan di warung mie ayam,”
Aku terdiam tak berkutik mendengar ucapannya. Mencerna jawaban yang keluar dari mulutnya dengan pelan-pelan. Ia dengan lahap memakan semangkuk mie ayam dihadapanku. Keberadaanmu dihadapanku memuatku merasa lega, rasa kekhawatiranku selama ini tertepis dengan begitu saja, termasuk rasa rinduku. Aku hanya mengiyakan jawaban dari Mas Amar, apakah ini hanya sebuah kebetulan ia tiba-tiba mampir diwarung mie ayam tempat makan favorit jaman kuliah dulu?
Aku mulai menuntaskan makan mie ayam yang kupesan tadi dengan perlahan, tak kubiarkan mie ayam ini kuabaikan begitu saja. Mau bagaimanapun semangkuk mie ayam ini harus segera ku habiskan. Ketidaksengajaan berjumpa denganmu, adalah hal paling menyenangkan. Meskipun ia adalah bagian dari masa lalu, aku tak keberatan jika masa sekarang kembali dengan versi terbaik daripada kemarin.
Bila beberapa kawanku menanyakan hubungan kedekatanku dengan Mas Amar, aku hanya menjawabnya sebatas berteman, namun berbeda dengannya. Ia terkadang memberikan jawaban yang menggantung, tidak membenarkan jika kami hanya sebatas teman, tapi juga tidak membantah kedekatan kami. Seandainya aku punya keberanian penuh, aku ingin menanyakan ini kepada mas Amar. Bagiamankah kelanjutan dari hubungan ini, apakah sudah cukup sekian ataukah berlabuh dipelaminan? Belum sempat kalimat itu terlontar, suara Mas Amar membuyarkan lamunanku.
“Mas kemarin sudah ketemu Pak Lik Sa, aku tau hari ini kamu disini juga dari Pak Lik. Jaga hati, jaga diri ya Sa,”
“Jika Alsa ingin serius denganku, tunggulah tanpa harus bersusah payah mencari kesana kemari. Mas akan datang pada waktu yang tepat. Jika ingin yang terbaik, maka jemputlah dengan cara yang baik pula. Jangan ada kegelisahan dan keresahan diantara kita, jika kita ditakdirkan bersama akan ada saatnya. Kita fokus dengan diri kita masing-masing, saling menjaga, saling memperbaiki. Bersabarlah, bukankan sesuatu yang menyenangkan patut untuk ditunggu sa?”
Aku tak mengerti apa maksud perkataannya, apakah ia memintaku untuk terus menunggunya? Sebelum memberikan salam perpisahan di warung mie ayam tadi, aku memberikan secarik tulisaan dalam sticky notes warna merah muda, “Semoga doa-doa yang kamu langitkan akan segera terjawab, tidak ada yang mustahil jika tuhan telah berkehendak,” -Alsafira
Demi menepis pikiran buruk, aku memberanikan diri menyertakan kontak ponselku entah kapan waktu ia bisa menghubungiku. Meskipun aku tahu, ia hanya memakai ponsel setiap caturwulan sekali. Ada perasaan sedih, kesal, haru dan bahagia, yang riuh berkecamuk di dalam hati namun sesegera mungkin aku menepisnya, bahwa Pak Lik adalah perantara bertemu tanpa rencana. Aku memang memberitahu rencanaku pamit pada Pak Lik untuk ke Semarang, namun aku tak pernah menyangka jika Pak Lik adalah teman dekatnya Mas Amar sewaktu nyantri di Kediri.
Aku buru-buru merapikan meja, mengambil tas untuk segera beranjak pergi meninggalkan warung mie ayam ini, sementara Mas Amar merogoh saku mengambil dompet dan membayarnya. Ia lantas berpamitan pergi, sorot matanya tampak meyakinkanku untuk baik-baik saja dan memohon untuk sediikit bersabar. Aku turut mengantarnya, melambaikan tangan seraya berkata dalam hati, “Selamat sampai tujuan mas, semoga kita dipertemukan kembali dalam ikatan yang halal,”
Penulis: Alfiyaturrohmah
Seorang anak kemarin sore yang gemar mencoba hal baru. Menyukai music indie, matcha, dan kopi.