Sumber: alamuslim.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Telah terjadi banyak perubahan semenjak hidup Nabi hingga sekarang. Secara perlahan agama berasimilasi dengan budaya. Umat manusia menyesuaikan diri dengan agama. Agama dikelola sesuai kebutuhan tanpa menentang kitab dan aturan. Hal-hal baru muncul sebagai wujud manifestasi dan olah pikir umat muslim, utamanya ulama.

Hal baru itu dalam agama disebut bid’ah. Bid’ah artinya suatu hal baru yang tidak ada contoh sebelumnya, bisa bersifat baik (mahmudah) maupun buruk (madzmumah). Menurut an-Nawawi, bid’ah secara stilah ialah:

إِحْدَاث مَا لَمْ يَكُنْ في عَهْدِ رَسولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Membuat hal baru yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Term bid’ah memunculkan perbedaan di antara ulama. Sebagian dari mereka ada yang menganggap bid’ah tidak ada yang baik, merujuk pada sabda Nabi, “Kullu bid’ah dlalalah, seluruh bid’ah itu sesat.” Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa bid’ah terbagi dua: baik (mahmudah) dan buruk (madzmumah). Ulama syafi’iyyah, sekaligus Imam Syafi’i termasuk dalam kelompok yang kedua.

Bid’ah hasanah menurut Imam Syafi’i memiliki syarat sebagai berikut. Pertama, selaras dengan Al-Quran, hadis, atsar, dan ijma’. Kedua, pembaruan itu bersifat baik. Dengan melihat kedua syarat ini, terang bahwa inti dari bid’ah hasanah ialah tidak bertentangan dengan syariat.

Ada beberapa kasus bid’ah hasanah dalam ibadah menurut ulama syafi’iyyah, yaitu:

  1. Panggilan untuk Shalat Sunnah Berjamaah

Panggilan (nida’) secara istilah ialah adzan, iqamah, pemberitahuan, doa, dan lain-lain. Azan dan iqamah dikhususkan untuk shalat maktubah. Adapun shalat sunnah berjamaah, disyariatkan panggilan ‘ash-sholatu jami’ah’, misalnya dalam shalat khusuf, kusuf, dan ‘id. Sementara panggilan semacam itu dalam shalat istisqa’, tarawih, dan witir yang dilakukan berjamaah termasuk bid’ah hasanah.

  1. Adzan untuk Selain Shalat Maktubah

Azan sesungguhnya adalah seruan shalat. Namun, syafi’iyyah mutaakhir menyunnahkan azan untuk beberapa kegiatan selain shalat maktubah, seperti adzan di telinga bayi ketika baru lahir, di telinga orang cemas untuk mengusir kecemasannya, saat kebakaran, ketika hujan deras, maupun waktu menguburkan mayat.

  1. Shalat Sunnah Berjamaah

Menurut Imam Nawawi, shalat sunnah ada dua jenis. Pertama, shalat sunnah yang disunnahkan berjamaah, yaitu ‘id, kusuf, istisqa’, dan tarawih. Kedua, shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah namun sah, yaitu shalat sunnah selain itu, termasuk sunnah rawatib dan dluha. Oleh karena itu, sebagaimana yang berlaku di beberapa negara muslim, shalat sunnah berjamaah merupakan bid’ah hasanah.

  1. Shalat Nishfu Sya’ban

Shalat nishfu sya’ban ialah shalat yang dilakukan untuk meramaikan malam tanggal 15 Sya’ban. Shalat model ini tidak ada pada masa Rasulullah. Sebagian besar ulama syafi’iyyah menganggap bahwa shalat nishfu sya’ban bukan termasuk bid’ah hasanah. Mereka menilainya termasuk bid’ah madzmumah yang tidak disyariatkan dan tidak ada dalilnya. Hanya beberapa yang membolehkan, seperti Imam Ghazali dan Ibnu Sholah.

  1. Shalat Tasbih

Shalat tasbih ialah shalat sunnah yang dilakukan sedemikian rupa dengan banyaknya bacaan tasbih yang berbeda dengan shalat biasanya. Terhitung, jumlah bacaan tasbih sebanyak 75 kali setiap rakaat. Syafi’iyyah pecah menjadi dua pendapat dalam masalah ini. Sebagian ada yang berpendapat sunnah, karena berpijak pada sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud. Termasuk yang menyunnahkan shalat tasbih ialah al-Baghawi dan ar-Rouyani. Imam Nawawi dalam at-Tahdzib menganggap hadis tersebut hasan. Sementara dalam al-Majmu’, Imam Nawawi menganggapnya dla’if, sehingga konsekuensinya shalat tasbih menjadi makruh hukumnya.

  1. Melafalkan Niat Sebelum Shalat

Niat letaknya dalam hati, sementara mengucapkannya di lisan tidak wajib. Imam Nawawi berkata, “Jika melafalkan niat di mulut dan tidak berniat dalam hati, maka tidak sah shalatnya secara ijma’.” Karena sejatinya ucapan mulut hanyalah sebagai penguat. Melafalkan niat selain dalam haji dan umrah termasuk bid’ah hasanah, karena tidak ada pada zaman Rasulullah maupun sahabat.

  1. Isti’adzah di Setiap Awal Rakaat

Tidak pernah diceritakan ada ta’awwudz (a’udzu billahi minasy syaithanir rajim) di setiap awal rakaat pada masa Rasul maupun sahabat, baik itu dalam hadis shahih maupun dla’if. Namun, ulama syafi’iyyah menyunnahkan bacaan ini pada awal setiap rakaat, baik itu bagi imam, makmum, maupun yang shalat munfarid (sendirian).

  1. Salaman Sehabis Shalat

Salaman atau jabat tangan disunnah ketika bertemu, baik di rumah maupun dalam perjalanan. Banyak sekali hadis tentang hal tersebut. Adapun salaman sehabis shalat merupakan hal baru yang tidak ada keterangannya. Namun, hal itu tidak masalah karena praktik tersebut bagian dari salaman yang dianjurkan oleh syariat. Artinya, hukum asal salaman ialah sunnah, namun salaman sehabis shalat yang biasa dilakukan orang-orang merupakan bid’ah hasanah.

Itulah beberapa bid’ah hasanah dalam shalat menurut ulama syafi’iyyah. Ternyata, praktik-praktik di atas sering kita temukan di negara kita Indonesia, yang termasuk negara Islam. Dalam furu’ (fikih) masih ada ruang untuk menciptakan kreasi baru, bahkan dalam bab ibadah. Namun, pembaruan ini tidak boleh menentang syariat. Permbaruan yang buruk dan berlawanan dengan syariat hanya akan menghasilkan bid’ah madzmumah. Adapun dalam ushul (akidah) tidak boleh ada bid’ah, semuanya harus berdasarkan pada Al-Quran maupun hadis.


Disarikan dari kitab al-Bid’ah al-Hasanah ‘inda asy-Syafi’iyyah fi al-‘Ibadah karya Abu Umar Danang bin Ahmad Muhadi al-Jawi al-Indonesi


*Redaktur Majalah Tebuireng

Publisher: Muh Sutan