Kiai HasyimDalam kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan keharusan untuk berhati-hati dalam mengambil ilmu (agama). Tidak boleh mengambilnya dari orang yang bukan ahlinya. Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Imam Malik ra berkata, “Jangan mengambil ilmu dari pelaku bid’ah. Jangan mengambilnya dari orang yang tidak diketahui siapa gurunya. Dan jangan mengambilnya dari orang yang berdusta tentang ucapan manusia, kendati tidak berdusta tentang ucapan Rasulullah SAW.”

Ibnu Sirin rahimahullah menceritakan:

هذَا اْلعِلْمُ دِيْنٌ, فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

Artinya: “Ilmu (hadis) ini adalah agama. Jadi, telitilah dari siapa kamu mengambil agamamu.”

Ad Dailami meriwayatkan dari Ibnu Umar ra secara marfu’ yang menyatakan:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

اْلعِلْمُ دِيْـنٌ , وَالصَّلاَةُ دِيْـنٌ , فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ هذَا اْلعِلْمَ , وكَيْفَ تُصَلُّوْنَ هذِهِ فَإِنَّكُمْ تُسْأَلُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ , فَلاَ تَرووهُ اِلاَّ عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّــتَهُ بِأْنْ يَكُوْنَ مِنَ اْلعُدُوْلِ الثِّقَــاتِ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya: “Ilmu adalah agama. Dan shalat adalah agama. Jadi, telitilah dari siapa kamu mengambil ilmu ini. Dan bagaimana kamu menunaikan shalat ini, karena kamu akan ditanya pada Hari Kiamat. Jadi, jangan meriwayatkannya selain dari orang yang telah teruji keahliannya sebagai orang yang adil, terpercaya dan mumpuni.”

Dalam kitab Shahihnya, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

سَيَكُونُ فِى آخِرِ أُمَّتِى أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

Artinya: “Pada akhir umatku akan ada orang-orang yang menceritakan kepada kalian sesuatu yang belum pernah kalian dengar sendiri dan belum pernah didengar oleh bapak-bapak kalian. Maka waspadalah kalian terhadap mereka.”

Dalam Shahih Muslim juga disebutkan bahwa Abu Hurairah ra menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

يَكُونُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ يَأْتُونَكُمْ مِنَ الأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يُضِلُّونَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُونَكُمْ.

Artinya: “Pada akhir zaman kelak akan ada dajjal-dajjal pendusta yang datang kepada kalian dengan membawa hadis-hadis yang belum pernah kalian dengar sendiri dan belum pernah didengar oleh bapak-bapak kalian. Maka waspadalah kalian terhadap mereka. Jangan sampai mereka menyesatkan dan menimpakan fitnah kepada kalian.”

Masih dalam kitab yang sama juga disebutkan bahwa Amr bin Ash ra berkata, “Sesungguhnya di dalam lautan terdapat setan-setan yang terpenjara. Mereka diikat oleh Sulaiman bin Daud ra. Tidak lama lagi setan-setan itu akan keluar lalu membaca Al Qur’an di depan manusia.”

An Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya mereka membaca sesuatu yang bukan Al Qur’an tetapi mereka mengatakan bahwa itu adalah Al Qur’an untuk memperdaya orang-orang awam.”

Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Darda’ ra yang menyatakan:

 إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ

Artinya:“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.”

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari Umar ra yang menyatakan:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمُ اللِّسَانِ

Artinya:“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pintar berbicara.”

Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, memiliki banyak ilmu retorika, tetapi tidak memiliki ilmu tentang masalah hati dan sedikit beramal. Dia menjadikan ilmunya sebagai profesi untuk mencari makan dan sebagai kebanggaan untuk mengangkat status sosialnya. Dia mengajak orang lain ke jalan Allah SWT., tetapi dia sendiri malah menjauh.”

Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Ali ra yang menyatakan:

إِنِّي لاَ أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِيْ مُؤْمِنًاً وَلاَ مُشْرِكًاً ، فَأَمَّا الْمُؤمِنُ فَيَحْجِزُهُ إِيْمَانُهُ ، وَأَمَّا الْمُشْرِكُ فَيَقْمَعُهُ كُفْرُهُ ، وَلَكِنْ أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ مُنَافِقًاً عَالِمَ اللِّسَانِ يَقُولُ مَا تعْرِفُونَ وَيَعْمَلُ مَا تُنْكِرُونَ

Artinya:“Sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan umatku dari ancaman orang mukmin dan orang musyrik. Adapun orang mukmin, imannya akan mencegahnya. Sedangkan orang musyrik, kekafirannya akan menghalanginya. Akan tetapi aku mengkhawatirkan kalian dari ancaman orang munafik yang pintar berbicara. Dia mengatakan apa yang kalian nilai makruf (baik) dan mengerjakan apa yang kalian nilai munkar (buruk).”

Ziyad bin Hudair rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khaththab ra pernah bertanya kepadaku: ‘Apakah kamu tahu apa yang akan menghancurkan Islam?’ Aku menjawab: ‘Tidak’. Lalu dia berkata: ‘Islam akan dihancurkan oleh kekeliruan orang yang alim (berilmu), perdebatan orang munafik yang menggunakan Al-Qur’an, dan keputusan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan’.

Demikian pernyataan Hadratussyaikh mengutip hadis dan qaul ulama tentang keharusan berhati-hati dalam mengambil ilmu (agama), karena kredibilitas guru menentukan kualitas keilmuan dan keabsahan dalam berdalil. Salah berguru, akan mengakibatkan kerancuan keilmuan. Untuk mari kita cerdas dalam memilih guru. Tentu semua guru adalah mulia, tetapi setiap mereka mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda menurut keilmuan yang dipelajari dan didalami. Bukankah kita ketika ingin belajar fikih kepada yang memang kredibel di bidang fikih? Seperti itulah bagaimana ulama-ulama dan para kiai dahulu belajar, ketika ingin belajar suatu disiplin keilmuan mendatangi guru yang dianggal faktual di bidang tersebut. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


*Dikutip dari kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari