(Sumber: mozaik.inilah.com)
(Sumber: mozaik.inilah.com)

Tak hanya murid saja yang harus mempunyai adab, seorang guru juga harus memiliki adab dan tata krama dalam mendidik murid atau santri. Edisi-edisi sebelumnya kita telah mengupas beberapa etika murid dalam menuntut ilmu, baik dalam proses belajarnya, kepada gurunya, maupun kepada ilmunya. Edisi, ini kita akan mengutipkan nasehat Mbah Hasyim kepada guru dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim. Sebenarnya ada 20 poin yang ada dalam kitab. Namun, untuk edisi ini kita akan kupas 10 dulu, akan kami lanjutkan untuk edisi depan. Berikut ulasannya:

Sadar Pengawasan Allah SWT

Seorang guru harus selalu merasa di awasi Allah Swt saat sendiri atau bersama orang lain. Muraqabah atau selalu sadar pengawasan Allah SWT kapan pun dan dimanapun. Seorang guru yang sadar pengawasan Allah akan selalu berusaha menjaga etika dan menjadi guru yang baik.

Takut Kepada Allah dalam Segala Hal

Seorang guru harus senantiasa takut kepada Allah SWT dalam setiap gerak, diam, ucapan dan perbuataan, sebab ilmu, hikmah dan takut adalah amanah yang dititipkan kepadanya, sehingga bila tidak dijaga maka termasuk berkhianat. Allah SWT telah berfirman, “Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tenang, Wara, Tawadhu’ dan Khusuk (Ketiga, keempat, kelima dan keenam)

Ketiga, keempat, kelima dan keenam, selalu tenang, wara`, tawadhu` dan khusyuk kepada Allah SWT. Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar Rasyid dalam suratnya, “Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, hendaknya tampak pada dirimu pengaruh dari ilmu itu, juga kewibawaan, ketenangan dan kesantunan dari ilmu itu. Karena Rasul pernah bersabda bahwa ulama adalah ahli waris para nabi.”

Sahabat Umar ra berkata, “ Pelajari ilmu beserta sikap tenang dan wibawa.” Sebagian ulama salaf berkata, “Wajib bagi orang yang berilmu bersikap rendah diri di hadapan Allah Swt, baik dalam keadaan sendirian maupun ketika bersama orang lain; menjaga jarak dengan hawa nafsunya dan berhenti dari hal-hal yang akan menyulitkannya.”

Memasrahkan Semua Urusan Kepada Allah

Seorang guru hendaknya memasrahkan semua urusan kepada Allah SWT. Seorang guru bisa berusaha memberikan ilmu kepada murid.  Namun, hasil tidaknya harus dipasrahkan kepada Allah SWT.

Tidak Menjadikan Ilmu Batu Loncatan

Sangat berbahaya jika ilmu dibuat sebagai batu loncatan. Seorang guru tidak boleh menjadikan ilmunya sebagai batu loncatan untuk memperoleh tujuan-tujuan duniawi seperti jabatan, harta, perhatian orang, ketenaran atau keunggulan atas teman-teman seprofesinya. Semua didasarkan pada keikhlasan karena Allah dan tanpa tendensi lain yang mengganggu kemurnian hubungan guru-murid.

Tidak Memuliakan Penghama Dunia

Seorang guru tidak boleh memuliakan para penghamba dunia dengan cara berjalan dan berdiri untuk mereka, kecuali bila kemaslahatan yang ditimbulkan lebih besar dari ke-mafsadahan-nya. Hendaknya juga tidak mendatangi tempat calon murid guna mengajarkan ilmu kepadanya, meskipun murid itu orang berpangkat tinggi. Sebaiknya guru memelihara kehormatan ilmunya sebagaimana ulama salaf memeliharanya.

Sangat banyak cerita tentang bagaimana ulama salaf memelihara kehormatan ilmu di hadapan para khalifah dan para pejabat lainnya, seperti cerita yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas bahwasanya dia pernah bertutur, “Aku mendatangi Harun ar-Rasyid, lalu dia berkata padaku, ‘Wahai Abu Abdillah, sepatutnya engkau sering mengunjungi kami agar anak-anakku bisa mempelajari kitab Muwatho` darimu.’ Akupun balik berkata, ‘Semoga Allah memuliakan raja. Sesungguhnya ilmu ini telah keluar dari anda; ia akan mulia bila anda memuliakannya dan menjadi hina bila anda merendahkannya. Ilmu itu dihampiri bukan menghampiri.’ Khalifah berkata, ‘Engkau benar. (Hai anak-anakku) pergilah kalian ke masjid dan belajarlah bersama orang-orang’.”

Imam Zuhri berkata, “Satu hal yang membuat llmu hina, yaitu bila guru mendatangi rumah murid dengan membawa ilmu untuk diajarkan.” Jika terdapat suatu keadaan mendesak yang menghendaki untuk berbuat seperti di atas atau ada tuntutan kemaslahatan yang lebih besar dari kemafasadahan hinanya ilmu, maka perbuatan tersebut diperbolehkan selama dalam kondisi seperti itu. Faktor inilah yang menjadi dasar dari apa yang dilakukan oleh sebagian ulama salaf ketika mereka menemui sebagian raja dan para pejabat lainnya. Intinya, siapa yang mengagungkan ilmu maka Allah akan mengagungkannya. Dan siapa yang menghina ilmu maka Allah akan menghinakannya. Dan ini jelas.

Wahb bin Munabbih berkata, “Para ulama yang mendahuluiku merasa cukup dengan ilmu mereka, tanpa mendambakan dunia orang lain karena kecintaan mereka terhadap ilmu. Tapi sekarang orang yang berilmu memberikan ilmu mereka pada orang yang mempunyai banyak harta karena ingin mendapatkan harta mereka, sehingga yang terjadi orang yang memiliki harta tidak suka ilmu karena mereka memandang rendah ilmu.

Sungguh indah apa yang disampaikan oleh Qodhi Abu al-Husain al-Jurjani dalam bait-bait syairnya. Dia berkata:

Aku belum pernah memenuhi hak ilmu. Setiap kali muncul ketamakan aku menjadikan ilmu sebagai anak tangga.

Aku belum pernah merendahkan jiwaku untuk melayani ilmu. Bukannya aku melayani orang yang aku temui, tapi malah aku ingin dilayani.

Apakah aku menanam ilmu yang mulia, lalu aku memanen hina. Karena itu, memilih kebodohan bisa jadi lebih menyelamatkan.

Andai orang yang berilmu menjaga ilmunya, maka ilmu itu yang akan menjaga mereka. Dan andai mereka memuliakannya dalam jiwa, niscaya ia menjadi mulia.

Namun mereka menghinakannya, ia pun hina. Dan mereka kotori mukanya dengan ketamakan hingga ia bermuram durja.

Zuhud dan Mengambil Dunia Sekedar Cukup

Guru harus memiliki perangai zuhud dan mengambil dunia sekedar cukup untuk diri sendiri dan keluarganya sesuai standar qana`ah. Orang berilmu yang paling rendah derajatnya adalah orang yang menganggap jijik sikap ketergantungan kepada dunia, sebab dia lebih mengetahui kekurangan dunia dan fitnah yang ditimbulkannya, juga mengetahui bahwa dunia cepat sirna dan sangat melelahkan. Dialah orang yang berhak untuk bersikap tak acuh pada dunia dan tak terlalu menyibukkan diri mengejar iming-iming dunia.

Rasulullah saw berkata, “Mulia orang yang qana`ah dan hina orang yang tamak.” Imam Syafi`i berkata, “Andai aku berwasiat, maka orang yang paling pintar akan memberikannya pada ahli zuhud. Maka siapa yang paling berhak dibanding ulama, sebab mereka memilki kelebihan dan kesempurnaan akal?”

Yahya bin Muadz berkata, “Andai dunia emas lantak yang hancur sedangkan akhirat tembikar yang abadi, niscaya orang berakal akan lebih memilih tembikar yang abadi dibanding emas lantak yang rusak. Namun (kenyataannya) dunia tembikar yang rapuh dan akhirat emas lantak yang abadi.

Bagi orang yang tahu bahwa harta akan ditinggalkan untuk ahli waris dan akan ditimpa kemusnahan, seharusnya zuhudnya lebih kuat daripada cintanya pada harta serta dia akan lebih memilih untuk meninggalkan harta daripada mencarinya.

Demikian adalah 10 nasehat Mbah Hasyim bagi guru dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim yang masih bisa dijadikan pedoman hingga sekarang. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


*Dikutip dari kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari