Bencana alam itu ada dua jenis. Pertama, bencana alam yang terjadi sebagai gejala alam yang murni. Kedua, bencana (alam atau bukan) yang terjadi atau terkait kesalahan manusia. Bencana alam yang murni itu bisa bermacam-macam bentuknya. Menurut Badan Geologi Kementrian ESDM, selama 2010 ada 186 gerakan tanah yangmemicu longsor dan banjir bandang di seluruh Indonesia.
Diluar bencana diatas yang disebut bencana hidrometeorologi, masih banyak bencana lain menimpa Indonesia, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi. Dari ratusan gempa yang terjadi di Indonesia pada 2010, tercatat ada tujuh gempa merusak. Gempa yang memakan korban terbesar adalah gempa Mentawai, Sumatera Barat pada 25 oktober 2010 dengan kekuatan 7,7 Magnitude. Gempa itu menewaskan 428 orang dan 74 orang hilang.
Letusan gunung berapi terdasyat di Indonesia pada 2010 adalah letusan di gunung Merapi, Jawa Tengah yang terjadi pada 26 dan 30 Oktober 2010 serta 3 dan 5 november 2010.
Selain itu kita juga mengetahui bahwa ada letusan Gunung Bromo yang tidak terlalu dasyat. Selain itu ada banyak gunung berapi lain yang menggeliat.
Bencana alam seperti diatas terjadi semata-mata karena factor alam. Tidak ada dosa atau kesalahan manusia sebagai penyebabnya. Menurut pihak Dewan Nasional Perubahan Iklim, bencana itu dapat diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya, tetapi kita (baca Pemerintah) ternyata tidak siap mengantisipasinya. Yang dilakukan pemerintah hanya penanganan korban, bukan mencegah supaya korban dapat dihindarkan atau ditekan serendah mungkin.
Kalau tidak melakukan langkah pencegahan dan menganggap bahwa bencana itu kehendak dan ketentuan Allah, maka kita jadi penganut akidah Jabbariyah yang menganggap bahwa kita tidak punya daya apa-apa, harus mengikuti takdir Allah. Padahal kita diberi akal dan kemapuan untuk melakukan langkah menghindari bencana atau mengurangi akibat dari bencana itu.
Selain itu kita melihat fakta bahwa banyak terjadi banjir di berbagai tempat sebagai akibat perusakan lingkungan. Banyak hutan dibabat tanpa batas, secara sembarangan dan tidak ditanami kembali. Bencana alam seperti ini timbul sebagai akibat kesalahan manusia. Tetapi kita, termasuk para ulama tidak atau amat jarang memberi penyadaran bahwa penebangan pohon dengan cara seperti diatas termasuk perbuatan dosa.
Kita sudah diberi peringatan oleh Allah dalam surah ar-Rum ayat 41 : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Perbuatan merusak alam seperti yang diperingatkan dalam ayat diatas, tidak hanya dalam bentuk membabat hutan tanpa menanamnya kembali, tetapi masih banyak lagi tindakan lain yang tidak kita kritisi, termasuk oleh para ulama.
Salah satu dari perbuatan tersebut diatas ialah pencemaran sungai dan laut oleh limbah industry berupa bahan kimia yang amat berbahaya sehingga air sungai dan laut berbahaya bagi kehidupan. Disejumlah tempat terlihat banyak bangkai ikan mengambang di laut, yang tentu akibat dari air yang tercemari bahan berbahaya dan beracun (B3). Sejumlah sungai juga sudah tidak aman lagi bagi kehidupan akibat tercemar limbah industry. Saying sekali kita tidak mendengar bagaimana pemerintah bertindak menanggapi terjadinya pencemaran sungai dan laut itu.
Tindakan perusakan lain yang belum banyak mendapat perhatian adalah kegiatan penambangan batu bara yang amat luas dan dalam, yang ditinggalkan oleh pengudaha tanpa ada upaya untuk memperbaiki kembali. Lebih parah lagi, masyarakat setempat tidak mendapat manfaat apa-apa dari penambangan itu, kecuali sebagai buruh.
Tindakan yang mengabaikan sunnatullah berupa hukum alam itu bisa juga dinilai sebagai tindakan yang mengabaikan ayat dalam surah Ibrahim ayat 7 : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan tambah (nikamt) kepadamu, tetapi jika kamu ingkar (nikmat-Mu), maka pasti azab-Ku sangat berat”. Murka Allah berakibat turunnya azab Allah karena kita mengabaikan hal-hal yang bisa menjaga kelestarian alam dan tidak bersyukur dengan menjaga alam.
KH. Shalahudin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
*Artikel ini dimuat di majalah Tebuireng Edisi 13