Bencana  atau  dalam  bahasa  agama biasa  disebut  dengan  musibah  yang  terjadi  di  manapun  di  belahan  bumi  ini,  termasuk  yang  belakangan  ini  banyak menimpa  nageri  kita  tercinta  Indonesia, basar  ataupun  kecil,  sesungguhnya  sejalan dengan  hukum  kausalitas  alam  dimana  manusia  itu  berada,  dengan  berbagai ulahnya disamping (sebagaimana keyakianan  sebagian  umat  beragama)  oleh adanya  campur  tangan  Tuhan  yang  demi karena  sesuatu  kehendak-Nya  yang  penuh misteri  memang  harus  terjadi  apa  adanya.

Prof Djamaluddin MiriDengan  demikian,  terjadinya  sesuatu  bencana itu  karena dua hal; kehendak sesuai  kehendak  T uhan  sebagai  Pencipta  alam  itu  sendiri.  Dan  akibat  ulah  (moral) manusia .   Ke duanya  seiring  sejala melengkapi  pola  dan  dinamika bumi  dengan  segala  isi  nya,  termasuk manusia  sebagai  salah  satu  mahluk  cerdas  yang berada di dalam nya, yang kreatif dan  produktif  serta inovatif untuk  memakmurkannya, namun sekaligus sebagai  perusaknya.

Bumi  dengan  segala isinya  itu memang mahluk ciptaan  Tuhan  yang  tidak atau  kurang  sempurna.  Kekurangan  ini  sepertinya  memang  disengaja  oleh  Tuhan selain  untuk  menunjukkan,  bahwa  hanya Dia-lah satu-satunya  Y ang Maha Sempurna  dalam  segalanya,  dan  juga  agar  antar sesama  mahluk  termasuk  manusia  dengan berbagai  kekurangannya  tersebut  dapat berinteraksi, saling mengisi dan melengkapi sehingga tercipta wujud-wujud lain dengan bentuk dan pola berbeda, atau dalam wujud yang  sama  namun  dengan kreasi  dan kinerja yang  berbeda  dan  lebih  baik.

Dengan  demikian,  maka terjadilah  rasa saling membutuhkan.  dan  bahkan  saling ketergantungan, yang dalam dunia manusia disebut   dengan  inter aksi sosial dan merupakan  suatu  keniscayaan  bagi  siapapun juga selama masih berada di bumi ini. Hal ini sebagaimana  penegasan  Allah  dalam  Alqur’an:2/251.

Dengan  struktur  bumi  yang  tidak  sempurna  tersebut,  dalan arti  bukan dalam bentuknya  yang  paten  dan  monoton, namun justru  terus  bergerak,  maka  tearjadilah pergeseran  berbagai  elemen  yang  ada  didalamnya  sesuai  dengan  karakter  masing-masing yang  dalam hukum alam  disebut dengan kausalitas. Dalam  hukum  ini,  maka terjadinya  semisal  pergesekan lempeng  bumi  yang  terus  dinamis  sehingga  menimbulkan goncangan apapun terhadap yang berada di sekitarnya yang lazim  disebut  dengan  gempa,  maka  semua  itu memang merupakan suatu keniscayaan kehendak alam sesuai dengan dinamikanya  yang  tidak  bisa  dicegah  oleh  siapapun  kecuali oleh  Allah,  Tuhan  Penciptanya  yang  sepertinya  memang membiarkannya  agar  terjadi  kausalitas  alam  yang  dalam bahasa  agama  disebut  dengan  Sunnatullah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan  demikian,  maka terjadinya  suatu  peristiwa  besar yang  menimbul kah,  berbagai  kerusakan  akibat  skala goncangan  gempa  tersebut  sangat  besar  (demikian  halnya dengan  peristiwa  lain,  seperti  aktivitas  vulkanik  gununggunung  berapi  yang  terus  bergerak  sebagaimana  firman  Allah dalam  Al-qur’an:  27/88;52/10)  adalah  merupakan  fenomena alam  murni sesuai  dengan Sunnatullah  yang  memang mesti terjadi, kapanpun dan dimanapun sebagai akibat sewajarnya dari pergesekan berbagai  elemen pembentuk bumi itu  sendiri yang  terus  bergerak  berputar  tiada  henti,  sehingga membentuk  siklus  kausalitas.

Hal ini berarti, bahwa terjadinya kerusakan dan bahkan kehancuran akibat suatu bencana yang dalam agama disebut dengan  musibah,  jika  terkait  dengan  aktivitas  murni  bumi  yang memang mesti terjadi, seperti gempa, gunung meletus, tsunami dan sebagainya, dan merupakun Sunnatullah sesuai  dengan  ketetapan-Nya  sebagaimana  firman-Nya  dalam  Alqur’an:9/51  maka  semua  itu  tidak  ada  sangkut  pautnya dengan  agama  atau  dosa-dosa  tertentu  dari  mereka  yang mengalaminya. Artinya,  bukan  karena  mereka  beragama  Islam kemudian  tertimpa  tsunami  di  Aceh,  gempa  di  Padang ataupun  erupsi  gunung  Merapi di  Jogja  dan sekitarnya,  karena penganut  agama  lain  juga  mengalami musibah  serupa,  seperti yang  terjadi  di  Mentawai dan  Wasior .  Demikian  halnya  dengan dosa bukan berarti  para penduduk di Aceh, Padang dan Jogja itu  lebih  banyak  dosa-dosanya  dibandingkan  mereka  yang hidup di Surabaya yang sampai kini belum pernah mengalami berbagai  musibah  tersebut.  Semua  itu  terjadi  lebih  pada karena  unsur  kebetulan,  yakni  secara  kebetulan  saja  mereka mendiami  daerah-daerah  yang  secara  geografis  berada  di daerah  rawan  bencana  seperti  itu  yang  sesuai  dengan Sunnatullah  terkait  kealaman,  memang  harus  terjadi sebagaimana  adanya.

Namun  demikian, jika berbagai bencana  itu  terjadinya  bukan  karena  faktor alam murni tetapi,  akibat  ulah atau kecerobohan  manusia  dalam  mengelola bumi  ini  sebagaimana  pernyataan  Allah dalam  Al-qur’an  :  30/41  maka yang  demikian inilah  yang  termasuk   kare na   moral berbentuk  dosa (baca:kesalahan)  manusia pengel ol anya. Misalnya, banji r yang sekarang  banyak  terjadi  dimana-mana, boleh jadi karena faktor alam murni berupa hujan  deras  yang  berlangsung  lama  sesuai dengan  musim- nya  yang  diatur  oleh Sunnatullah,  yang  alami,  Namun  demikian, boleh  jadi  karena perubahan  iklim  yang ekstrim  akibat  pemanasan  global  dan  Dari kerusakan  ozon  yang  disebabkan  oleh polusi,  penggundulan  hutan  dan  rumah-rumah   kaca produk  manusia  yang berlebihan  dalam  eksploitasi  bumi  dan segala isinya. Demikian halnya dengan pola penanganan  dampak  dari  bencana  yang semula  bersifat  alam murni, jika  tidak di kelola dengan benar  sehingga menimbulkan efek domino yang terkadang tidak  kalah  dahsyatnya,  maka  semua  itu merupakan siksa dari Allah melalui Sunnah-Nya  terkait  kausalitas  kealaman,  berbentuk  bencana  sebagai  dampak  negatif  langsung dari dosa (kesalahan) mereka sendiri dalam  mengelola  alam.  Hal  ini  sesuai  dengan  Firman Allah selain yang tertera di atas yang bertebaran  dalan-Alqur’an,  seperti  pada  28/47;  39/51  dan  42/30.

Hal ini  bukan berarti,  bahwa  timbulnya berbagai  bencana  itu semata-mata  karena dosa terhadap alam  walaupun  itu yang banyak  terjadi  sekarang  ini, namun  dosa terhadap  Allah  yang  lazim  disebut  dengan maksiat  juga  bisa  menimbulkan  bencana kealaman  walaupun  terbatas  pada  masa lalu, yakni  pada  masa  Nabi-nabi  terdahulu sebagai  mukjizat  kenabian,  seperti  banjir yang  melanda kaum  Nabi Nuh (25/37), atau  gempa  dahsyat  yang  menimpa  kaum  Nabi Luth  (54/34)  dan  lainnya.  Walaupun  kita sekarang  tidak  hidup  di  zaman  mukjizat, namun  tidak  ada  salahnya  jika  menghindari kedua  macam  dosa  tersebut.   Hal ini mengi ngat, bahwa  maksiat  walaupun yang  seandainya  tidak  menimbulkan  bencana alam  dalam  skala  besar ,  namun  setidaknya akan  berdampak  negatif  terhadap  diri pribadi  pelakunya  dalam  aneka  ketidak nyamanan,  seperti  lapar,   galau  dan sebagainya.  Sebagaimana  dengan  firman Allah  dalam  2/155  ;  16/112.

Dari  uraian  diatas  dapat  disimpulkan, bahwa  terjadinya  suatu  bencana  apapun bentuknya,  bisa  disebabkan  oleh  faktor  alam murni, atau  oleh moral manusia itu  sendiri, atau oleh keduanya. Jika akibat alam murni, maka itu bisa merupakan ujian (29/3) untuk menguji   kesabaran  dan   konsistensi keimanannya kepada  taqdir  Allah.  Yang diantaranya  berbentuk  kausalitas  Namun jika  akibat  moral manusia yang  lacur ,  maka itu  merupakan  siksa  Allah agar para pelakunya merasakan  damp ak  dari kesalahannya  dan  segera  sadar  untuk memperbaikinya,  baik  terhadap alam  itu sendiri  maupun  terhadap  Allah,  Tuhan Pengatur  alam  dengan  kausalitasnya.

Prof. DR. HM. Djamaluddin Mirri, MA.

Artikel ini dimuat di rubrik telaah aqidah Majalah Tebuireng Edisi 13