(ilustrasi: M. Iqbal)

Opini oleh: M. Rizky Syahrul Ramadhan*

Pada umur 20 tahun, KH. M. Hasyim Asy’ari (Kiai Hasyim), seorang ulama terkemuka Indonesia telah nyantri di tujuh pesantren di Indonesia. Dimulai dengan pesantren milik ayahnya, Kiai Asy’ari, hingga pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Ketujuh pesantren tersebut jelas turut membangun pribadi Kiai Hasyim. Hingga pada abad ke-20, masyhurlah suatu opini bahwa siapa pun yang ingin belajar keilmuan Islam, terutama hadis, tidak kaffah jika belum berguru kepada Kiai Hasyim.

Kemasyhuran nama Kiai Hasyim tentu tidak didapatkan begitu saja. Terdapat perjuangan yang tidak sederhana dalam proses yang beliau lalui. Di antara proses tersebut adalah proses menjadi santri di tujuh pesantren di atas.

Dalam suatu penelitian pustaka yang dilakukan oleh Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Septian Pribadi, ditemukan keterangan bahwa ketika Kiai Hasyim berumur 13 tahun, beliau telah sanggup mengajarkan berbagai kitab, baik yang dipelajarinya dari guru maupun yang dipelajari sendiri. Hal itu beliau alami ketika masih di pesantren pertamanya, Pesantren Keras milik Kiai Asy’ari. Jika pada saat itu beliau telah mampu mengajar kitab, dapat dipastikan bahwa di Pesantren Keras itulah Kiai Hasyim menguasai ilmu membaca kitab.

Melalui kemampuan membaca kitab inilah Kiai Hasyim dapat terus menambah perbendaharaan keilmuannya. Berbagai keilmuan Islam dipelajarinya melalui literasi keislaman yang otentik, kitab kuning. Selain itu, tujuh pesantren yang ditempatinya untuk nyantri juga mendukung serap ilmu yang beliau lakukan. Bermacam-macam guru yang berasal dari pesantren yang berbeda setidaknya membuat wawasan seseorang akan semakin luas karena ragam cara berpikir yang diserapnya dari guru-guru tersebur.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sampai di sini, terdapat dua poin yang dapat kita ketahui dalam perjuangan Kiai Hasyim selama nyantri, yaitu (belajar) membaca kitab dan mengaji dari beragam guru. Kedua perjuangan tersebut akhirnya memberi Kiai Hasyim wawasan keilmuan Islam yang luas di antara santri-santri di masanya. Namun jika kita ingat-ingat kembali, terdapat satu hal lagi yang tidak kalah epic dari kedua perjuangan Kiai Hasyim tersebut, yaitu menghormati guru dengan kehormatan yang total.

Cerita termasyhur mengenai perjuangan yang terakhir disebut di atas dapat kita ketahui saat Kiai Hasyim nyantri ke Kiai Kholil, Bangkalan. Cincin istri Kiai Kholil yang (ter)jatuh di jamban dengan suka rela dicari oleh Kiai Hasyim sebagai bentuk penghormatan total kepada gurunya. Tentunya, cerita-cerita Kiai Hasyim yang sejenis dengan kisah di Bangkalan tersebut masih banyak. Penghormatan total seperti itulah yang juga turut menjadi perjuangan Kiai Hasyim selama nyantri.

Kiranya bukan kesalahan jika para santri sekarang bercermin pada perjuangan Kiai Hasyim selama menjadi santri. Tiga poin perjuangan di atas dapat ditiru. Hanya saja, karena kehidupan pada zaman Kiai Hasyim hingga sekarang telah mengalami berbagai perubahan, maka seharusnya terdapat penyesuaian atas cara teknis perjuangan seorang santri yang bercermin kepada Kiai Hasyim.

Penyesuaian tersebut selayaknya ditinjau dari setiap poin. Namun sebagai contoh mari kita amati penyesuaian di poin pertama, (belajar) membaca kitab. Pada poin tersebut, penyesuaian yang dapat kita lihat dengan jelas adalah terdapat keilmuan lain yang butuh dipelajari santri pada saat ini, yaitu keilmuan umum yang menunjang kesejahteraan manusia, terutama masyarakat muslim. Penyesuaian tersebut telah dimulai oleh Kiai Abdul Wahid Hasyim, anak Kiai Hasyim.

Di Pesantren Tebuireng, Kiai Wahid membuat perubahan sistem belajar bagi para santri. Santri yang sebelumnya hanya mempelajari keilmuan pesantren diamanati untuk sekaligus mempelajari keilmuan umum. Sistem belajar tersebut dinamakan madrasah. Melalui madrasah, santri diharapkan mempunyai perbendaharaan keilmuan yang seimbang antara keilmuan pesantren dan umum.

Memang sekilas terlihat semakin berat, namun hal itu telah dipraktikkan sendiri oleh Kiai Wahid. Kiai Wahid berhasil menguasai keilmuan umum di samping menguasai keilmuan agama yang diserap melalui kemampuan membaca kitab. Maka tidak mengherankan jika pada pertengahan abad ke-20, Kiai Wahid menjadi tokoh pesantren terkemuka yang mampu mengimbangi dua jenis masyarakat, pesantren dan non-pesantren. Keseimbangan semacam itulah yang seharusnya dimiliki oleh santri saat ini.

Melalui (belajar) membaca kitab, baik lewat guru ataupun tidak, santri akan memperoleh wawasan keagamaan yang luas. Sedangkan melalui pendidikan formal dan bacaan keilmuan umum, santri akan memperoleh wawasan yang dapat merespon perkara aktual yang tidak tertulis dalam kitab kuning. Kedua wawasan keilmuan tersebut akan membuat seorang santri sanggup meneruskan perjuangan Kiai Hasyim sekaligus Kiai Wahid.

Akhirnya, jika terdapat pertanyaan bagaimana cara seorang santri berjuang? Maka sila meniru proses nyantri kiai-kiai yang telah mendahului kita. Semoga kita semua dapat menjadi santri yang tidak merugi. Amin.


*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.