KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Oleh: Mochammad Sa’id*

Sekitar 4 bulan lagi, tepatnya April 2019, bangsa Indonesia akan memiliki hajatan besar demokrasi, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu). Perhelatan akbar tersebut meliputi tidak hanya pemilu legislatif, mulai dari pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota hingga DPR RI, tetapi juga pemilu presiden untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden masa jabatan 2019-2024. Dan sepertinya -sebagaimana yang pernah terjadi pada Pemilu 2014- kontestasi Pilpres yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon membuat situasi sosial-politik nasional memanas. Bahkan, kalau kita mencermati lalu-lintas di media sosial, tak jarang ‘perang’ di antara pendukung kedua kubu tersebut sangat konfrontatif.

Suhu perpolitikan yang panas di atas menimbulkan pertanyaan: apakah hal demikian adalah sesuatu yang wajar dalam proses berdemokrasi? Apakah perbedaan pilihan politik memperbolehkan saling menghujat, memfitnah, dan membenci, bahkan mengatasnamakan agama? Dan yang lebih substansial, haruskah energi kehidupan bangsa ini dihabiskan untuk hal-hal demikian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingatkan penulis pada sosok salah satu guru bangsa ini, yaitu Gus Dur.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Gus Dur adalah sosok pribadi yang multidimensional. Hal ini tidak lain karena ia lahir, berkembang, dan berkiprah dalam ruang kehidupan yang multidimensional pula. Banyak di antara elit sosial-politik maupun masyarakat yang menganggap ucapan, sikap, maupun tindakannya kontroversial dan nyeleneh tanpa memahami pemikiran di baliknya.

Kiprah Gus Dur sangatlah luas dan beragam. Ia adalah seorang intelektual terkemuka dengan produktivitas tulisan-tulisannya yang kritis dan reflektif. Ia adalah aktivis politik dengan sikap dan tindakannya yang berani, bahkan ketika berhadapan dengan penguasa sekalipun. Ia juga pemimpin kharismatik dari NU, sebuah organisasi -dan komunitas- keagamaan yang dapat dikatakan merepresentasikan mayoritas lapisan sosial rakyat Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam berbagai kiprahnya tersebut, Gus Dur senantiasa menekankan pentingnya menyelaraskan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan demikian, penerapan ajaran-ajaran agama haruslah diarahkan pada tercapainya kemaslahatan kemanusiaan secara luas. Dalam bahasa Gus Dur, Islam tidak mementingkan formalisme, namun menekankan pada orientasi kemanfaatan yang lebih luas. Hal ini selaras dengan bunyi hadits, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (khairunnas anfa’uhum li an-nas).

Dalam pandangan Gus Dur, pondasi kehidupan kita sebagai bangsa dan negara akan kuat kalau kita memiliki kesadaran bahwa bangsa ini terdiri dari beragam agama dan etnis. Dengan demikian, ajaran agama seharusnya mampu menjadi komplemen -bukan substitusi- bagi sebuah platform bersama sebagai bangsa. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka ajaran agama dapat dihadirkan sebagai inspirasi bagi upaya-upaya terwujudnya keadilan sosial yang menjadi salah satu tujuan utama dari kehadiran agama itu sendiri.

Desakan-desakan yang dilakukan oleh Gus Dur untuk merealisasikan gagasannya tersebut ia wujudkan dalam bentuk tulisan, ceramah, diskusi, bahkan aktivisme sosial-politik. Ia tidak peduli pada kokohnya tembok kekuasaan yang harus ia hadapi. Baginya, hidup adalah sebuah tanggung jawab yang tidak hanya untuk kesejahteraan diri sendiri, tetapi juga kesejahteraan orang lain. Lagi-lagi, ia mendasarkan hal ini pada hadits, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (khairunnas anfa’uhum li an-nas).

Dua Orientasi Hidup

Menurut Erich Fromm -seorang psikolog sosial dari Jerman- ada 2 orientasi hidup manusia yang ia istilahkan sebagai modus eksistensi, yaitu orientasi memiliki (to have) dan menjadi (to be). Mereka adalah dua jenis struktur karakter yang membentuk keutuhan pemikiran, perasaan, dan tindakan individu. Yang pertama (memiliki/to have) adalah orientasi karakter yang bersifat negatif, sedangkan yang kedua (menjadi/to be)adalah orientasi karakter yang positif dan menjadi arah dari apa yang, menurut Fromm, seharusnya kita tuju untuk melakukan perubahan sosioekonomi dalam masyarakat industrial saat ini.

Cara bereksistensi memiliki lahir dari dan menekankan pada konsep kepemilikan pribadi. Segala sesuatu adalah hasil dari perolehan pribadi dan menjadi hak penuh pemiliknya untuk menjaga dan melindungi apa yang telah diperoleh dan dimilikinya. Dalam cara memiliki, pemiliknya menundukkan dan menguasai apa yang dimilikinya. Ia mengubah setiap orang dan segala sesuatu menjadi barang mati (pasif) dan obyek bagi kekuasaannya.

Cara bereksistensi memiliki memiliki implikasi yang luas, baik bagi individu maupun masyarakat. Ia menyebabkan munculnya kedengkian dan agresi. Ketika individu merasa bahwa apa yang dimilikinya lebih sedikit dari orang lain, maka ia akan menuntut lebih, karena baginya tidak boleh ada yang melebihi dirinya. Ia akan terus terdorong untuk memiliki lebih dan lebih. Selain itu, karena ia menganggap hubungannya dengan sesuatu sebagai relasi yang bendawi, maka ia akan mengobyektifikasikannya dan bahkan membenarkan perilaku agresif dan eksploitatif terhadapnya. Di sisi lain, ia juga akan menjadi ‘budak’ dari kepemilikannya. Ia juga menganggap dirinya seolah-olah abadi dan tidak akan mati.

Berbeda dengan cara bereksistensi memiliki yang cenderung mem-benda-kan segala sesuatu, cara bereksistensi menjadi menekankan pada pengalaman yang sangat prinsip dan tak dapat dideskripsikan. Menjadi tidak menekankan pada penampilan (persona), melainkan esensi. Pengalaman setiap individu sangatlah unik dan tidak akan dapat sepenuhnya dipahami oleh orang lain.

Dalam cara bereksistensi menjadi, individu tidak terdorong untuk memiliki benda secara kompulsif, tetapi justru tergerak untuk memberi, berbagi, dan bahkan berkorban bagi orang lain. Mereka memiliki dorongan dasar untuk ‘menyatu’ dengan orang lain dengan cara yang penuh ketulusan.

“Menjadi” Gus Dur

Apa yang dilakukan Gus Dur dalam berbagai peran yang ia mainkan selama perjalanan hidupnya tidak lain adalah upaya untuk menciptakan –sebagaimana dikemukakan oleh Fromm- sebuah ekosistem budaya dan sosioekonomi yang berorientasi menjadi. Memberikan pengakuan terhadap agama Tionghoa, memperkenankan pengibaran bendera Bintang Kejora, dan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965 adalah beberapa tindakan nyatanya untuk menciptakan hubungan sesama anak bangsa yang penuh dengan rasa persaudaraan dan perdamaian. Dengan demikian, ia berharap bahwa bangsa Indonesia dapat bergerak maju -tidak lagi dibayang-bayangi oleh trauma sosial-politik- dan tumbuh menjadi bangsa yang benar-benar demokratis, menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan, serta berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial.

Kalau kita cermati lebih dalam, segala pemikiran, sikap, dan bahkan tindakan Gus Dur di atas ia lakukan tanpa mempertimbangkan keuntungan politik pribadi maupun kelompoknya. Ia bahkan tidak segan berseberangan dengan kelompoknya sendiri demi mewujudkan apa yang menjadi keyakinan dan sikapnya. Ia tidak silau terhadap harta maupun kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa ia sebagai pribadi memang memiliki orientasi hidup menjadi, bukan memilki. Lalu, mampukah kita meneladaninya? Semoga.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang.