Dewasa ini, beredar berita di sosial media mengenai seorang suami yang menceraikan istrinya karena perintah dari ibu sang suami/mertuanya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konflik perekonomian yang mana dalam kasus ini, harta suami tidak cukup untuk menafkahi satu orang.
Hal tersebut wajar apabila dapat mrnggiring opini publik, mengapa nafkah yang seharusnya diberikan kepada istri justru nafkah tersebut diprioritaskan untuk ibunya, bukannya tidak masalah karena surga suami masih tetap berada di bawah kaki ibunya?
Dalam menangani kasus ini, ada tiga landasan yang dapat dijadikan referensi argumentasi, mari kita simak untuk mendapatkan jawabannya.
Argumentasi pertama, hadits Jabir yang menunjukkan urutan prioritas nafkah:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى عُذْرَةَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَالَ: مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي؟ فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْعَدَوِىُّ بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَجَاءَ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ. ثُمَّ قَال: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلِأَهْلِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ، فَلِذِي قَرَابَتِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَىْءٌ، فَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَقُولُ: فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ (رواه مسلم وأبو داود والنسائي، وهذا لفظ مسلم)
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: “Ada seorang lelaki dari bani ’Udzrah memerdekakan budaknya yang digantungkan setelah kematiannya. Lalu hal itu sampai pada Rasulullah saw. Beliau kemudian bertanya: “Apakah kamu punya harta selain budak itu?” Lelaki itu menjawab: “Tidak”. Lalu Rasulullah bertanya kepada (para sahabat): “Siapa yang mau membelinya sebagai ganti dariku?” Lalu Nu’aim bin Abdillah Al-’Adawi membeli budak itu seharga 800 dirham. Lalu lelaki itu membawa uang 800 dirham itu kepada Rasulullah saw, kemudian diserahkan kepadanya (dalam riwayat An-Nasa’i lelaki itu punya hutang kepada Rasulullah saw dan menyerahkan uang itu untuk melunasinya).
Lalu Rasulullah saw bersabda: “Mulailah dengan dirimu sendiri, nafkahkan untuknya, lalu jika ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk istrimu. Jika dari nafkah istrimu ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk kerabatmu. Jika dari nafkah kerabatmu ada lebihan sesuatu, maka nafkahkan untuk ini dan itu.” Perawi hadits berkata: “Maka nafkahkan kepada orang di depanmu dan di kanan kirimu.” (HR Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa‘i. Ini adalah redaksi Imam Muslim).
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa urutan nafkah [yang disebut dengan kata shadaqah] adalah diri sendiri, istri (yang disebut dengan kata ahli), kemudian baru kerabat dan selainnya. Mengikuti penjelasan Al-Hafizh Al-Munawi, menurut Imam As-Syafi’i maksud kerabat dalam hadits adalah orang tua dan anak; sedangkan menurut ulama lain mencakup selainnya. (An-Nawawi, Syarhun Nawawi ’ala Muslim, [Beirut, Darul Ihya-it Turats Al-’Arabi: 1392 H], juz vii, halaman 83; dan Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub ’Ilmiyah: 1994], juz i, halaman 99).
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa urutan pertama orang yang dinafkahi adalah diri sendiri, istri, kerabat; yang mencakup orang tua dan anak. Oleh karenanya, menurut urutan dari hadits ini nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah ibu yang termasuk golongan kerabat.
Terdapat argumen kedua dalam ilmu fiqih, yang mana seorang ibu termasuk ke dalam golongan yang dikategorikan sebagai kerabat yang merupakan muwasah atau kepedulian; sedangkan nafkah istri merupakan imbalan (atas ketaatannya terhadap suami), sehingga dalam hal ini, nafkah yang merupakan imbalan lebih didahulukan daripada nafkah yang bersifat kepedulian. (As-Syirazi, Al-Muhaddzab, juz II, halaman 166).
Dalam bahasa yang lebih lugas, Muhammad Najib Al-Muthi’i menyatakan, nafkah istri hukumnya wajib sebab adanya hukum mu’awadhah (tukar-menukar antara ketaatan istri dan nafkah yang wajib diberikan oleh suami), maka nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat (termasuk ibu), sebagaimana hutang suami lebih didahulukan daripada nafkah ibu.
وَلِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ تَجِبُ بِحُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ فَقُدِّمَتْ عَلَى نَفَقَةِ الْقَرِيبِ كَمَا يُقَدَّمُ الدَّيْنُ
Artinya, “(Nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat, termasuk ibu), karena nafkah istri menjadi wajib sebab adanya hukum mu’awadhah (tukar menukar antara ketaatan istri dan nafkahnya), maka nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat (termasuk ibu).” (Muhammad Najib Al-Muthi’i, Takmilatul Majmu’, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad), juz xx, halaman 196).
Hal ini selaras dengan kaidah fiqih:
أَنَّ حُقُوقَ اللهِ تَعَالَى مَبْنَاهَا عَلَى الْمُسَامَحَةِ وَالْمُسَاهَلَةِ وَحُقُوقَ الْعِبَادِ مَبْنَاهَا عَلَى الضَّيْقِ وَالشُّحِّ
Artinya, “Sungguh hak-hak Allah ta’ala dibangun atas prinsip kelonggaran dan kemudahan, sementara hak-hak manusia dibangun atas prinsip ketat dan perhitungan.” (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-’Ilmiyah: 2000 M], juz xviii, halaman 61).
Argumentasi ketiga, nafkah istri menjadi wajib karena adanya kebutuhan suami terhadap istri seperti halnya kebutuhan dirinya terhadap diri sendiri. Lain halnya dengan nafkah ibu yang menjadi wajib karena hubungan kekerabatan antara anak dan orang tua.
Karenanya, dalam kondisi harta suami sangat terbatas, nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah ibu. (As-Syirazi, juz ii, halaman 166). Al-Muthi’i menjelaskan secara sederhana:
وَإِنَّمَا قُدِّمَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ عَلَى نَفَقَةِ الْقَرِيبِ،لأَنَّهَا تَجِبُ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا، وَنَفَقَةُ الْقَرِيبِ مُوَاسَاةٌ
Artinya: “Sungguh nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat (termasuk ibu), karena nafkah istri menjadi wajib sebab adanya kebutuhan suami terhadap istri, sementara nafkah kerabat (termasuk ibu) merupakan muwasah (kepedulian terhadap kerabat).” (Al-Muthi’i, juz xx, halaman 196).
Kemudian yang dapat diingat, harta suami tidak cukup untuk menafkahi orang lain kecuali satu orang maksudnya ialah nafkah pokok per hari. Untuk itu, suami tidak ada kewajiban ataupun keharusan dalam memprioritaskan nafkah kepada ibu. Bahkan bila suami tidak punya uang yang cukup tapi punya harta lain semisal tanah, maka dalam kondisi ini tidak ada situasi untuk memprioritaskan istri. Istri harus diberi nafkah, ibu juga harus diberi nafkah, meskipun harus dengan menjual tanahnya.
أَمَّا الْأَحْكَامُ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الْقَرِيبُ عَلَى قَرِيبِهِ حَتَّى يَكُونَ الْمُنْفِقُ مِنْهُمَا مُوسِرًا بِنَفَقَةِ قَرِيبِهِ، وَهُوَ أَنْ يَفْضُلَ عَنْ قُوتِ نَفْسِهِ وَقُوتِ زَوْجَتِهِ فِي يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ، لِحَدِيثِ جَابِرٍ الَّذِي سَاقَهُ الْمُصَنِّفُ … وَإِنْ كَانَ لِلْمُنْفِقِ عِقَارٌ وَجَبَ بَيْعُهُ لِلْإِنْفَاقِ عَلَى قَرِيبِهِ
Artinya: “Adapun terkait hukum-hukum nafkah kerabat, maka sungguh seorang kerabat (termasuk antara anak dan orang tua), maka tidak berhak mendapatkan nafkah dari kerabatnya sehingga kerabat yang menafkahi dalam kondisi tercukupi, yaitu punya lebihan dari makanan pokok untuk diri dan istrinya untuk sehari semalam karena hadits riwayat Jabir yang disampaikan penulis Al-Muhaddzab … Jika kerabat yang menafkahi punya tanah, maka wajib dijualnya untuk menafkahi kerabatnya (termasuk orang tua).” (Al-Muthi’i, juz xx, halaman 196).
Kesimpulan dalam kondisi khusus ini, yakni apabila selama sehari semalam harta suami hanya cukup untuk menafkahi dengan nafkah pokok untuk dirinya dan satu orang lagi, antara istri dan ibu, maka nafkah istri harus didahulukan daripada nafkah kepada ibu. Seperti yang sudah dipaparkan menggunakan tiga argumen di atas.
Baca Juga: Adab Kiai Hasyim Asy’ari dalam Menghormati Istrinya
Ditulis oleh Anis Faikatul Jannah, mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari