Sumber gambar: https://www.sewarga.com/2017/05/25/kisah-sejarah-gaib-tanah-jawa/

Bid’ah merupakan salah satu alasan dari sekian alasan yang kontroversial di tengah percekcokan sekterianisme. Yang dimaksudkan bid’ah pertama kali oleh KH. Hasyim Asy’ari bukanlah yang bersangkutan dengan hukum fikih. Akan tetapi lebih dari itu yang dimaksud bid’ah oleh beliau adalah dalam hal akidah. Bid’ah adalah sesuatu yang menyimpang dari tuntunan. Jadi ada aliran-aliran yang memasuki tanah Jawa yang mana aliran tersebut menyimpang dari tuntunan dan bermasalah.

Pada mulanya, seluruh penduduk Jawa berpegang teguh pada aliran teologis Ahlussunnah wal Jamaah. Semua penduduk Jawa, muslim-muslim Jawa selalu berada dalam satu keyakinan, satu sumber dalam beragama dan satu jalan dalam ibadah. Kemudian pada tahun 1330H muncul kelompok-kelompok dan aliran yang tidak jelas yang mana kelompok tersebut bukanlah kelompok biasa akan tetapi sudah mengusung nilai-nilai agama yang berbeda dari konsep Ahlussunnah wal Jamaah. Dan bahkan muncul berbagai pendapat yang saling bertolak belakang hingga melahirkan berbagai persoalan bahkan tidak sedikit dari pendapat yang ada melahirkan singgungan-singgungan fisik.

Di antara aliran menyimpang tersebut adalah aliran Roofidhiyyuun yang berasal dari kata Rafadha yang artinya menolak dengan disertai amarah, celaan, dan kecaman. Sedangkan penolakan yang tidak disertai dengan unsur-unsur kejelekan, celaan, dan melecehkan disebut dengan Radda. Orangnya disebut Roofid sedangkan sifatnya rofidhah. Jadi Roofidhiyyun adalah orang-orang yang menolak keras.

Di dalam sejarah, Roofiidhiyyun dilekatkan kepada orang-orang yang sangat mengultuskan Ali Bin Abi Thalib dan keluarganya sampai-sampai menolak dengan keras kekhalifahan Abu bakar, Umar, Usman ra. Orang yang membela sesuatu dengan kuat dan dipertahankan melebihi dari yang lain disebut Syi’ah. Sifat penolakannya disebut Rafadha. Sebab itu dalam aliran teologi Rafadha disebut juga dengan Syi’ah.

Jadi pada mulanya, Syi’ah merupakan kelompok tertentu yang berubah menjadi aliran teologis. Pekerjaan mereka mencaci dan mencela sahabat-sahabat Nabi terutama sayyidina Abu Bakar ra dan Sayyidina Umar bin al-Khattab ra. Mereka tidak menyukai sahabat pada umumnya. Bahkan Nabi SAW memberi pernyataan yang keras untuk menjauhi golongan tersebut. Sebab tidak ada pernyataan yang keras kecuali terhadap hal yang sangat berbahaya. Nabi menghimbau untuk tidak menshalatkan mereka, tidak menikahi mereka, tidak menikahkan anak-anaknya dengan anak-anak mereka. Tidak menyertai mereka dalam satu majelis. Serta Nabi memerintahkan untuk menjauhi mereka namun beliau melarang untuk mencela dan mencelakai mereka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dan di antara mereka yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan Abaahiyyuuna yang serba membolehkan, mereka membawa satu keyakinan bahwa jika kecintaaan sudah mencapai tingkat yang tinggi dan sudah merasa dekat dengan Allah, maka ia memiliki anggapan bahwa perintah dan larangan syari’at gugur dan tidak berlaku baginya. Bahkan kalaupun mereka melakukan dosa besar mereka beranggapan bahwa Allah tidak akan menghukum mereka.

Bagi mereka, ibadah adalah tafakkur/kontemplasi dan memperbaiki akhlak kebatinan. Dalam hal ini disebut dengan aliran kebatinan. Sayyid Muhammad dalam Syarah Al-Ihya’ menyatakan, “Hal seperti ini disebut Kufur, Zindik, dan sesat”. Dan di antara golongan yang menyimpang pula adalah aliran yang memiliki pandangan bahwa ruh bisa berpindah-pindah, mereka bisa datang, bersemayam dalam bentuk jasad atau dalam bentuk yang lain. Dan mereka beranggapan bahwa nikmat tidaknya hidup mereka tergantung pada keadaan jin yang masuk pada dirinya.

Syihab al-Khaffadi dalam kitab syarah asy-syifaa, “Aliran semacam ini sudah sepakat ahli syari’at semuka bumi menganggapnya sebagai kufur karna bertentangan dengan hukum Allah, mendustakan Rasul dan bertentangan dengan Al Quran”. Demikian awal mula terpecahnya keyakinan muslim Jawa menjadi beberapa bagian seiring dengan masuknya bid’ah ke tanah Jawa.


Disadur dari kitab Ahlussunnah wal Jama’ah karangan KH. Hasyim Asy’ari. Disusun oleh Lu’luatul Mabruroh.