Sumber: Penerjemah

Judul                    : Surat Wasiat untuk Generasi Muda (Terjemah Kitab Ayyuhal Walad)

Pengarang            : Abu Hamid Al-Ghazali

Penerjemah          : Yayan Musthofa

Penerbit               : Kalam

Tahun Terbit         : September, 2018

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tebal                   : xxvi + 95 halaman

Harga                  : 35.000

Peresensi             : M. Rizki Syahrul Ramadhan*

Hubungan seorang santri dengan guru adalah sesuatu yang syahdu. Begitu kiranya gambaran dari latar belakang penulisan buku ini. Seorang murid yang berjarak dari sang guru, dan telah membaca semua karangannya, mencermatinya, lalu mengintrospeksi diri. Hasil perenungan membuat si murid meminta kepada sang guru untuk dituliskan pesan khusus bagi dirinya. Sebuah karangan spesial yang akan mampu membimbingnya menuju keselamatan. Itulah isi buku yang dibahas di sini.

Secara global, buku ini berisi tiga hal. Pertama, jawaban sang guru atas beberapa pertanyaan muridnya, seperti hakikat ibadah dan ikhlas. Kedua, pesan-pesan sang guru untuk si murid, terkait mencari ilmu dan prinsip hidup seseorang yang berilmu. Ketiga, doa.

Tiga isi tersebut selaras dengan permintaan yang tertulis dalam surat si murid. Isi pertama tidak terlalu ambil porsi dalam buku ini, hanya beberapa halaman saja. Begitu pula isi ketiga. Yang menarik, tidak semua pertanyaan si murid dijawab oleh Imam Ghazali. “Jawaban atas pertanyaanmu itu tidak dapat dijelaskan lewat tulisan ini, kau harus merasakannya sendiri” (hlm. 35), kurang lebih seperti itu alasannya. Terbayang bagaimana bahasan sufistik memang tidak akan selesai lewat untaian kata-kata. Lebih menarik lagi ketika sang guru berucap, “Jangan bertanya lagi kecuali lewat komunikasi batin” (hlm. 62). Mendapati kalimat ini, pembaca pasti akan langsung terngiang bagaimana kualitas ilmu para imam Islam.

Isi yang mendominasi buku ini adalah bagian kedua, pesan-pesan. “Pesan itu bagaikan wasiat yang diberikan seorang guru kepada muridnya ketika wisuda” (hlm. xvii), begitu kata penerjemaah saat menggambarkan isi pesan dalam buku ini. Memang, seorang murid yang meminta pesan kepada Imam Ghazali tersebut tidak lagi berada pada satu tempat dengan beliau. Dalam bahasa sekarang, kita bisa menyebutnya “telah lulus mondok, telah boyong”.

Banyak pesan yang dituturkan Imam Ghazali. Di antaranya adalah urgensi mengamalkan ilmu, pentingnya memiliki mursyid bagi seorang salik, dan hal-hal yang harus dilakukan atau dijauhi bagi orang yang berilmu. Pesan-pesan seperti itu tentu berbeda dengan muatan kitab adab belajar seperti Ta’lim Muta’allim. Jika dalam Ta’lim pembaca disuguhi tips and trick selama proses nyantri, Ayyuhal Walad lebih condong kepada tips and trick paska nyantri, bagimana seharusnya ‘laku’ seorang santri yang telah boyong dari pondok.

Sampai di sini, sebagian pembaca mungkin bertanya, “Jika penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh permintaan satu orang, apakah isinya relevan untuk dibaca siapapun?”. Tenang, jangan gusar. Inilah kelebihan Imam Ghazali dalam mengarang Ayyuhal Walad. Pesan-pesan yang diutarakan oleh sang guru sama sekali tidak terbatas pada satu orang saja. Sebagai contoh, tips mencari guru hebat yang ditulis di dalamnya tidak didasarkan pada nama orang atau tempat pada saat itu, melainkan ciri-ciri umum yang bisa digunakan sampai sekarang. Itulah yang membuat Ayyuhal Walad masih dibandong (baca: ajarkan) di pesantren-pesantren hingga saat ini, terutama saat Ramadhan. Cerdas bukan?

Dengan kualitas kitab asli sebagus itu, buku yang berupa terjemahan ini lebih menawan lagi ketika diketahui bahwa di dalamnya terdapat kutipan, bagan, dan footnote. Penerjemah, Yayan Musthofa, yang telah nyantri selama 17 tahun (2001-2018), menghiasi buku ini dengan ringkasan bahasan di awal bab, baik dalam bentuk kutipan maupun bagan. Selain itu, footnote yang disajikan di dalamnya sangat membantu pembaca memahami torehan tinta Imam Ghazali. Penerjemah menyediakan footnote untuk menanggulangi kekurang-pahaman pembaca terhadap maksud kalimat dan redaksi yang dipilih pengarang kitab aslinya. Boleh saja, kita sebut sebagai; “syarah tipis-tipis”.

Satu lagi ide cemerlang dari penerjemah, yaitu upaya menentukan bab. Buku terjemahan ini terdiri dari 8 bab. Mungkin sebagian orang mengira bab itu merupakan bab bawaan sebagaimana di kitab aslinya. Tidak, bab itu adalah ijtihad penerjemaah. Kitab asli yang ditulis pada zaman dahulu kala itu disesuaikan oleh penerjemah dengan gaya penulisan sekarang yang memiliki klasifikasi bab. Hal itu membantu pembaca, sungguh. Terima kasih penerjemah.

Bagaimanapun, membaca terjemahan Ayyuhal Walad ini setidaknya akan memberikan gambaran bagaimana arti kelulusan seorang santri. Setelah boyong, santri tentu tidak boleh melupakan ngaji yang telah dilakoni. Sebaliknya, dia harus berpikir bagaimana cara mengamalkan ilmu dan kode etik seorang alim di masyarakat. ‘Ala kulli hal, buku ini recomended untuk semua orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu, baik yang masih belajar, sudah lulus, yang sedang mengajar, pensiunan pengajar, bahkan wali pelajar.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

Publisher: Muh Sutan