santri tebuireng
santri tebuireng

Masih berkaitan erat dengan kehidayaan. Imam Ghazali betul-betul terus mewanti-wanti agar keilmuan berbanding lurus dengan hidayah. Kali ini Imam Ghazali mengkritik habis-habisan ahli ilmu yang tidak tahu malu dengan sembarangan mendalil tapi tidak singkron dengan amalnya. Disclaimer, bahwa tulisan serial ini bertujuan ushikum wa nafsy, menasihati pembaca sekaligus diri sendiri penulis yang juga penuh dengan kekurangan.

Kata Al-Ghazali, orang yang bodoh sebenarnya belum berani menumpuk harta kekayaan, kecuali setelah mereka melihat keberanian ulama suu’ atau ulama berperangai buruk yang juga doyan dan hobby menumpuk kekayaan. Sekarang ini,  dalam konteks kehidupan modern, banyak oknum yang mengaku ulama yang bukannya pamer keilmuan saja, artinya memperbanyak konten keilmuan, memberikan kesejukan di ruang-ruang publik, malah pamer harta, pamer mobil mewah, rumah mewah, kecantikan istrinya, dan pamer-pamer yang lain yang faidahnya tidak mendidik.

Dalil yang kebanyakan dipakai selalu, “orang Islam harus kaya, ulama harus punya banyak uang, kan ini tahaduts binni’mah (menunjukkan kenikmatan Allah)”. Memang betul boleh-boleh saja ulama kaya, umat Islam harus berdaya dalam ekonomi tapi tidak harus secara masif dan sengaja diumbar, karena sebagai pendidik. Seorang ulama harus bisa memberikan contoh kehidupan yang sederhana bagi umat, baik yang kaya ataupun yang miskin. Ulama sebaiknya fokus pada keilmuan dan penyebarannya.

Akibat dari penumpukan harta, keduniaan yang tinggi, kemungkinan besar bisa memberikan motivasi untuk berani melakukan berbagai kemaksiatan. Hal seperti inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.  Tragisnya, mereka terus memberi harapan-harapan, membisikkan kepada mereka, bahwa mereka banyak memberikan jasa kepada umat manusia, sehingga layak mendapat anugerah dari Allah Swt. Bahkan mereka mengaku sebagai hamba-hamba Allah yang baik.

Maka, Al-Ghazali memperingatkan kepada para pencari ilmu golongan pertama, yang hanya mengharapkan Ridho Allah dalam mencari ilmu, untuk menjauhi tipe pencari ilmu yang kedua, yaitu yang mencari ilmu untuk pemenuhan kehidupan, mencari jabatan, kedudukan, dan harta. Banyak dari tipe kedua ini, yang menunda-nunda kesempatan bertobat malah keduluan ajal menjemput, ya akhirnya merugi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalau tipe ketiga yang merupakan produsen ulama-ulma suu’, ya tunggu saja waktu kerusakan terjadi akibat kelakuan mereka. Tidak ada harapan bagi mereka keberhasilan dan hilal kebenaran mereka tak kunjung bisa terlihat. Yang ada hanya fatamorgana duniawi yang berkamunflase akibat jauh dari hidayah. Tipe-tipe pencari ilmu yang dimaksud Al-Ghazali sudah disajikan dalam seri ke-2 sebelum ini.

Maka, pertanyaan besarnya, apa yang disebut dengan permulaan hidayah, jika yang dimaksud hidayah di sini adalah buah dari ilmu? Al-Ghazali mengartikan permulaan hidayah adalah luaran takwa yaitu imtitsalu awamrillah (melaksanakan perintah-perintah Allah) baik yang berupa al-wajibat (perkara-perkara yang wajib) maupun yang al-mandubat (yang disunnahkan oleh Rasulullah), dan wajtinabu an-Nawahihi (menjauhi semua yang dilarang oleh Allah), baik yang berupa al-Mahrumat (hal-hal yang diharamkan) maupun al-makruhat (hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan).

Sementara itu, nihayah (ujung) dari hidayah adalah bagian paling dalam ketakwaan, yaitu perbaikan diri, ihsan (baik) di dalam sikap, baik dalam prilaku, etika, akhlak, moral yang baik, hati yang bersih, dan betul-betul ber-ta’alluq (memiliki pertautan spesial) dengan Tuhan, dan muamalah (pergaulan sesama manusia) yang indah dan didasari oleh keimanan.

Maka, sejatinya destinasi akhirnya itu bukanlah apa-apa, kecuali ketakwaan dan tidaklah hidayah bisa diunduh oleh siapapun kecuali orang-orang bertakwa yang punya akses spesial. Semoga kita termasuk dalam kategori hamba-hamba yang punya fasilitas akses ini, atau minimal berjalan menuju track akses ini, walaupun mungkin masih jauh. Amin.


*Disarikan dari pengajian Kitab Bidayatul Hidayah yang diampuh oleh Kiai Yayan Musthofa


**Ditulis oleh M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari