ilustrasi: www.google.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Dalam sebuah hadis Sahih, suatu kala Nabi bersabda, “Tiap-tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih sebagai tebusan…”. Begitu kurang lebih penggalan Hadis Nabi yang menjelaskan tentang pentingnya akikah. Praktik akikah sudah begitu lumrah di tengah-tengah masyarakat. Sebegitu pentingkah? Dan kalau memang penting, apakah praktik-praktik itu sudah sesuai dengan tuntutan agama? Untuk menjawabnya, silakan ikuti tuntas pembahasan kali ini.

Sebuah pepatah mengatakan; hidup berumah tangga akan terasa lebih bahagia bila suami istri telah dikaruniai seorang bayi. Karena lahirnya anak adalah benih dari jalinan cinta kasih antara keduanya. Oleh karena itu, tidak salah, jika banyak orang berujar, bahwa anak adalah buah hati, yang demi membahagiakannya, apapun diperjuangkan oleh sang Ayah dan Ibu.

Sejak mula mengandung, seorang Ibu sudah sangat berhati-hati menjaga kandungannya. Dari menu-menu makanan yang harus ia konsumsi, tentu harus banyak mengandung gizi, karena ia khawatir bayi yang dikandungnya mengalami gangguan kesehatan. Bagitu juga, seorang suami dengan penuh rasa tanggung jawab menjaga sang istri yang sedang mengandung, dia akan lebih giat mencari nafkah dan selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan istri.

Begitupun halnya, setelah bayi itu lahir. Untuk turut bersyukur atas kehadirannya di muka bumi ini, Islam menganjurkan untuk melaksanakan acara akikah. Namun lebih lanjut, bagaimanakah akikah sebenarnya? Demikian juga, bagaimana dengan tata cara, hewan akikah dan waktu pelaksanaannya?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Asal makna akikah ialah setiap rambut kepala bayi yang baru lahir. Sedangkan yang dimaksud oleh syara’, jumhur ulama sepakat tentang pendefinisian akikah, yaitu penyembelihan hewan yang dilakukan pada hari ke-7 kelahiran jabang bayi itu. Dalam perkembangan selanjutnya, orang Arab menjadikan akikah sebagai istilah bagi binatang yang disembelih pada waktu pencukuran rambut sang bayi. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 4, hal. 2745)

Akan tetapi, Nabi lebih suka menyebut upacara penyembelihan hewan ini dengan istilah “Nasikah” atau “Dzahibah”. Karena Nabi memandang, kata “akikah” berasal dari kata “Uquq” yang memiliki konotasi makna kurang baik dengan arti menyakiti.

Mengenai hukumnya, ulama beragam dalam memberikan pandangan. Dimulai dari kelompok ulama yang mewajibkan akikah. Diantaranya Imam Hasan Bashri, al-Laits bin Sa’ad, Daud ad-Dzahiri. Mereka berpijak pada sebuah hadis Nabi saw.:

أمرنا رسول الله أن نعق عن الغلام شاتين و عن الجارية شاة

Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabat agar melakukan akikah, dua kambing yang sepadan untuk anak laki-laki dan satu kambing bagi wanita. (Subulus Salam =, 174:IV)

Lafadz “amara” yang ada pada hadis di atas, menurut ulama ad-Dzahiri menunjukkan kewajiban akikah. Berbeda dengan jumhur ulama, yang menghukumi sunnah. Dengan berdasar pada sabda Rasul yang berbunyi:

من ولد له ولد فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل

“Barang siapa yang dikarunai anak, dan bila ia bermaksud mengakikahi anak itu, maka lakukanlah.” (Subulus Salam, 173:IV)

Menurut Jumhur, hadis ini memalingkan makna hadis pertama yang semula menunjukkan kewajiban. Karena pada hadis yang kedua itu, Rasul menyerahkan urusan akikah ini sepenuhnya kepada orang tua tanpa ada unsur kewajiban.

Pendapat ini mengatakan bahwa hukum akikah adalah mubah. Tidak sunnah, apalagi fardu. Pendapat ini dikomandani oleh Imam Abu Hanifah. Beliau beralasan, karena akikah hanyalah praktik tradisi Jahiliyah. Namun pendapat ini menuai kritik para ulama. Diantara kritik mereka adalah, nahwa Imam Abu Hanifah tidak menguasai hadis lantaran jauh dari sumber-sumber hadis. Dijelaskan dalam kitab al-Mughni, hal. 444 juz 8.

Akikah sendiri, sebenarnya sudah dipratikkan sejak zaman jahiliah. Pada zaman itu, orang-orang Arab mengakikahi bayi mereka dengan mewarnai perutnya dengan darah binatang akikah itu. Dan setelah mencukur rambutnya, mereka mengoleskan darah hewan pada kepalanya.

Namun, setelah Islam datang, Nabi memerintahkan untuk mengganntikannya dengan wangi-wangian, semisal minyak Za’faron. (Dalam sebuah hadis, Sunan Abi Daud, no. 314)

Kebiasaan Jahiliah juga tidak memecah tulang hewan akikah yang telah dimasak itu. Akan tetapi memotongnya di tiap-tiap ruas atau sendi. Sedangkan Islam bersikap lebih toleran, ytu membolehkan untuk memecah tulang hewan akikah itu.

Berkenaan dengan hal ini, Imam Malik berpendapat bahwa tulang hewan akikah boleh dipecah-pecah, bahkan hukumnya sunnah agar terkesan berbeda dengan kebudayaan Arab Jahiliah.

Seperti ritual ibadah lain, akikah juga memiliki hikmah tersendiri. Ada beberapa hikmah kenapa akikah itu dianjurkan. Pertama, sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah berupa jabang bayiitu. Kedua, sebagai ekspresi kegembiaraan atas nikmat yang telah diperoleh, serta upaya mempererat rasa kekeluargaan antar sanak keluarga. ketiga, memupuk serta meningkatkan sifat kedermawanan. Keempat, berbagi kebahagiaan serta menghibur sanak keluarga, para karib dengan mengumpulkan mereka dalam sebuah jamuan.

Tentang ketentuan hewan yang dapat dijadikan akikah, dalam hal ini setidaknya jumhur ulama sepakat tentang keabsahan kambing sebagai hewan akikah. Namun, sebagian ulama menyebut sapi, kerbau, dan unta itupun bisa digunakan untuk berakikah. Sedangkan menurut sebuah riwayat Imam Rabi’ah dan Ibrahim bin Harist, mengabsahkan ayam dan burung kecil (Sejenis pipit) untuk dijadikan hewan akikah. Kendati demikian, menurut Ibnu al-Habib, beliau tidak bermaksud bahwa hewan itu cukup untuk berakikah, akan tetapi sebagai penegasan akan kesunnahan akikah, agar tidak mudah ditinggalkan orang. (Syarh as-Sunnah, 56:VI)

Untuk lebih jelas, tentang tata cara akikah. Dalam hal ini, ulama Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyepakati beberapa hal. Pertama, memberikan nama dan mencukur rambutnya tepat pada hari ketujuh. Kedua, sunnah menyedekahkan emas atau perak seberat rambut yang dicukur setelah pelaksanaan akikah. Ketiga, membagikan daging akikah yang telah dimasak itu ke rumah-rumah tetangga, baik dia miskin ataupun kaya, termasuk juga ahlu al-bait. Keempat, sebelum akikah dilakukan, sunnah hukumnya menyuapi bayi dengan sesuatu yang rasanya manis, sebagaimana pernah Nabi lakukan pada Abdullah bin Abi Thalib.

Jumhur ulama menghukumi makruh bila mengotori bayi dengan darah akikah, begitu juga dengan khitan yang dilakukan pada hari ketujuh (hari pelaksanaan akikah). (Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 2749:IV)

Lalu kapan akikah harus dilakukan? jumhur ulama sepakat waktunya adalah pada hari ketujuh kelahiran sang Bayi. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat, jika tidak dilakukan pada hari itu. Ulama selain Malikiyah membolehkan melakukan akikah sebelum hari ketujuh. Malah menurut mereka, sejak partama kali lahir pun sudah bisa diakikahi. Berbeda dengan Malikiyah, yang melarang akikah sebelum hari ketujuh. Oleh karena itu, bayi yang meninggal sebelum hari tersebut tidak perlu diakikahi.

Jikalau dilakukan setelah hari itu, ulama Syafi’iyyah membolehkannya tanpa ada batas waktu. Beda halnya dengan Maliki dan Hambali yang membatasi pada waktu tertentu, yaitu pada bilangan hari kelipatan tujuh sebanyak dua kali (hari ke empat belas dan hari ke dua puluh satu).

Setelah batas waktu tersebut, menurut Hambali, untuk melakukan akikah tidak lagi ada batas waktu. Dalam artian, kapanpun bisa dilakukan, sebagai ganti (qadha’), karena tidak bisa melakukannya pada waktu yang ditentukan.

Pada kesimpulannya, akikah disyari’atkan sebagai tanda syukur orang tua kepada Allah swt. Atas kelahiran buah hati mereka. Karena bagaimanapun semua nikmat Tuhan haruslah selalu disyukuri. Dari yang paling besar hingga yangkecil sekalipun. Dan lahirnya seoranganak adalah nikmat yang harus disyukuri sekaligus amanah yang harus diemban. Oleh karenanya, selagi mampu, orang tua dianjurkan untuk mengakikahi bayinya itu. Hingga walau tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh itu. Bisa merujuk pada ulama yang membolehkan pelaksanaan akikah tidak hanya pada waktu itu. Dengan demikian, silahkan berakikah.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.