Oleh: Al Fahrizal*

Kemajuan zaman saat ini, menguak term singkat yang dahulu tabu didengar, namun sekarang lumrah dan benar-benar nyata, “Dunia Dalam Genggaman.” Revolusi industri dewasa ini, hadir dalam rangka tidak hanya memenuhi dan memudahkan kebutuhan dasar manusia, akan tetapi benar-benar berdampak besar terhadap kehidupan manusia. Teknologi yang diciptakan manusia, tidak hanya menjawab problema ekonomi dan informasi saja, namun juga mempengaruhi tatanan sosial dan budaya masyarakat. Dahulu, persebaran budaya suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain berjalan pelan, sangat lambat.

Trend budaya atau gaya, contohnya. Dahulu budaya kekinian yang diciptakan masyarakat kota besar, baru menyebar ke berbagai daerah dalam kurun waktu yang cukup lama. Trendy fashion celana cutbray, ripped jeans, atau sagging pants yang pernah hits di Indonesia, menyebar dalam kurun waktu yang cukup lama. Lain cerita dengan Citayem Fashion Week, yang sempat viral beberapa waktu lalu, tidak sampai satu bulan, atau bahkan kurang dari satu minggu, tren budaya yang dikenalkan oleh anak-anak Ibu kota, menyebar dengan pesatnya ke kota-kota lain. Hampir tiap kota melakukan hal yang sama. Luar biasa sekali.

Fenomena yang menakjubkan sekaligus mengerikan ini tidak mungkin terjadi, jika teknologi yang diciptakan manusia tidak semaju sekarang. Salah satu yang manifestasi kemajuan teknologi sekarang yang dapat menyebarkan informasi secepat kilat adalah Smartphone dan Intercinnected-Networking (internet) yang sedang anda pegang. Iya. Telepon pintar tersebut dapat mengakses dunia hanya lewat genggaman tangan anda. Smartphone dan fitur internet, dapat membagikan dan memperoleh informasi tanpa sekat batas. Hanya dalam waktu sekejap, kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia ini. 

Seiring berjalannya waktu, tidak hanya smartphone yang berkembang dengan menawarkan berbagai keunikan dan kecanggihan, berbagai aplikasi yang hanya dapat diakses melalui internet juga semakin menarik kita agar betah berlama-lama menatap layar handphone. Dijelaskan oleh Head of Public Policy Indonesia, Malaysia, and Philipines TikTok, Donny Eryastha, rata-rata orang Indonesia menggunakan internet di ponsel selama 3,9 jam per hari.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Konsumsi informasi yang menyebar di Internet tidak hanya berupa teks baca saja. Fitur-fitur yang di smartphone menyajikan informasi dengan praktis. Hanya dengan melihat dan mendengar, otak kita sudah diisi oleh sajian yang disebarkan dalam aplikasi tersebut. Kita ambil contoh, Tiktok. Aplikasi yang menyajikan beragam informasi melalui audio-visual. Pengguna TikTok di Indonesia, bisa menonton 100 video di TikTok dalam sehari dengan total 21 miliar viewers. Sementara, pengguna TikTok dari kalangan milenial pada umumnya bisa mengonsumsi 65 konten per hari. Angka yang tidak kecil.

Maka, dapat dibayangkan bagaimana pengaruh media sosial dalam menyebarkan suatu trend dari suatu kelompok masyarakat, ke masyarakat lainnya. Hitam-putih. Di satu sisi, perkembangan teknologi informasi tentu membawa banyak manfaat bagi peradaban manusia, namun di sisi lain juga menyeret berbagai ancaman, di mana etika seseorang dipengaruhi oleh pesatnya informasi yang diperoleh.

Sebagaimana sudah disampaikan di muka, informasi yang bergerak di jaringan media sosial itu no limit, tidak ada batasan sama sekali. Seseorang dapat membaca informasi apapun, menyaksikan tayangan yang bagaimanapun, serta berbagi cerita kepada siapapun yang ia mau tanpa memperdulikan ruang dan waktu. Sejauh ini tidak ada yang salah.

Namun, ketika menyaksikan sebuah tayangan, di mana dalam tayangan tersebut menampilkan etika yang kurang baik, tetapi dimanipulasi seolah-olah etika tersebut dibuat menjadi hal yang membanggakan dan sedang tren-trennya begitu, hingga masuk ke alam bawah sadar penikmat tayangan itu, hingga muncul anggapan “memang seperti itulah seharusnya.” Fenomena ini yang kami istilahkan dengan “Akhlaq Trendy.” Saat etika bukan lagi berdasar akal sehat, akan tetapi tuntutan trending. Penyakit ini rentan terpapar kepada pengguna media sosial yang belum memiliki pondasi akhlak yang kokoh, terutama anak muda yang masih labil. 

Diakui atau tidak, ada banyak sekali belakangan ini kita temui akhlak yang tidak benar di kalangan muda-mudi, di mana hal itu seolah-olah menjadi kebanggaan, karena sudah trennya. Semisal, perilaku yang tidak baik – atau bahkan kelewatan – yang marak saat ini adalah zina. Bukan lagi menjadi hal yang tabu, saat muda-mudi mesra-mesraan tanpa ada ikatan halal, bahkan tidak sedikit yang jatuh ke hubungan seksual sebelum nikah.

Mengutip Jurnal Medical Science Ilmu Kesehatan Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang tahun 2022, yang merangkum survei Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes) didapatkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah 20% dari 94.270 perempuan yangmengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% diantaranya pernah melakukan aborsi.

Maraknya kasus seperti ini terjadi tentu karena pengaruh dari tayangan yang ditampilkan di media sosial. Setiap hari media sosial menyuguhkan informasi yang berbau zina dibumbui oleh nikmatnya bemesraan dengan kekasih (pacaran), menjadikan informasi yang tadinya dianggap tabu, beranjak kepada sesuatu yang wajar dan tidak menyalahi nilai akhlak. Tentunya masih banyak perilaku tidak berakhlak, berawal dari konten yang kemudian tren, berujung menjadi akhlak manusia semestinya.

Tantangan akhlak trendy ini bukan lagi sesuatu yang dapat dibendung. Maka, yang harus kita lakukan adalah mewaspadai terhadap tontonan yang dikonsumsi setiap harinya. Kita harus benar-benar pandai memilah, mana yang hanya tontonan, dan mana yang benar-benar tuntunan. Media sosial tidak hanya membawa informasi negatif, tapi juga banyak tuntunan yang mengarahkan kepada etika positif, Akhlak Al-Karimah.

Kaum-kaum agamis yang belajar dari sumbernya langsung, ulama atau pesantren, juga dituntut untuk mengkontenkan nilai Islam. Sehingga masyarakat tidak harus datang ke pengajian untuk belajar Islam, atau datang ke pesantren untuk melihat akhlaknya ulama. Cukup dengan dakwah melalui media sosial, dengan menyajikan konten edukatif dan islami, hal tersebut akan mengimbangi arus informasi negatif yang ada, bahkan bisa membasmi dominasi mereka.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari