Seorang kiai sepuh mengisahkan mimpinya yang cukup mencemaskan. Ketika itu beliau baru saja pulang menghadiri Muktamar ke-32 NU di Makassar pada 2010. Dalam mimpinya, kiai itu bertemu sang pendiri NUHadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari di sebuah lapangan luas. Hadratus Syaikh tampak senyum bahagia karena di lapangan itu berkumpul ribuan bahkan jutaan warga Nahdliyin. Lalu tiba-tiba Hadratus Syaikh heran mengapa dirinya diabaikan, sedangkan mereka berpaling dan sedang berebut sesuatu di tengah lapangan. Dengan segera Hadratus Syaikh menuju pusat perhatian itu. Betapa kecewanya beliau ketika didapati yang menjadi rebutan adalah “daging babi”. Astaghfirullah wa na’udzubillah.

Penulis merupakan pihak ke-3 yang mendengar cerita itu, bukan yang mendengar secara langsung. Tentang kebenaran mimpi dan apa yang terjadi sesungguhnya di Muktamar NU di Makassar, penulis tidak tahu pasti. Dari cerita mimpi tersebut, penulis menjadi penasaran hingga bermaksud menelusuri kisah-kisah lainnya. Seorang tokoh pun menuturkan, ia merasa miris menyaksikan apa yang terjadi di Muktamar NU di Makassar. Kata dia, pemilihan ketua yang seharusnya dilaksanakan malam hari ditunda di keesokan hari. Dan ternyata, malam hari menjelang pemilihan itu, uang bermobil-mobil mengalir ke peserta muktamar. Sehingga suara muktamirin pun beralih, dan kemenangan di pihak mereka.

Kejanggalan itu semakin kuat ketika Prof Dr KH Tolhah Hasan berkisah. Menurut beliau, Muktamar NU di Makassar adalah Muktamar NU paling buruk sejak NU didirikan. Karena sarat akan kepentingan politik dengan diwarnai riswahatau money politics. Bahkan, secara terang-terangan, KH Jamaluddin Al Hariri Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Probolinggo mengaku ditelefon oleh seorang tak dikenal saat di Makassar. Orang itu menghampiri Kiai Jamaluddin dengan memberi amplop tebal yang berisi sekitar Rp5 hingga 15 juta-an. Kiai Jamaluddin diminta memilih calon ketua yang ditentukan, maka dengan tegas beliau menolak ajakan curang orang itu.

Dengan begitu, mimpi kiai sepuh di atas nyata adanya. “Daging babi” yang dimaksud tak lain adalah uang dalam amplop yang jelas-jelas haram. Ini sungguh memalukan sekali. Organisasi yang dihuni alim ulama panutan umat, bermain uang di dalamnya. Penulis sadar, fakta ini tidak pantas untuk ditulis karena “pahit”. Namun, bukankah yang “pahit” adalah “obat”, agar generasi selanjutnya sehat dari berbagai penyakit dan virus termasuk “daging babi” masa lalu.

Siapa Pemimpin NU?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penulis teringat ilmu Faraidh yang dulu dipelajari di pesantren. Dalam ilmu yang berbicara seputar waris itu kita kenal adanya istilah muwarits yaitu orang yang mewariskan, mauruts atau irts yaitu benda yang diwariskan, serta waritsyaitu ahli waris. Jika dianalogikan, maka Hadratus Syaikh adalah muwarits, NU adalah mauruts. Yang menjadi pertanyaan kini ialah, siapa yang pantas disebut warits dalam NU?

Memang NU adalah sebuah organisasi yang tidak hanya dikelola oleh keluarga para pendiri. Namun, idealnya yang melanjutkan estafet kepemimpinan NU adalah para keturunan NU itu sendiri. Boleh saja orang-orang lain yang lebih berkompeten, akan tetapi tak jarang orang lain memiliki kepentingan lain pula. Bisa jadi mereka akan memanfaatkan “harta peninggalan” tersebut daripada mengembangakan, menjaga, dan memberikan manfaat pada harta itu.

Penulis menduga, para kiai-kiai dahulu enggan menjadi pemimpin NU karena di samping tawadhu’ dalam keilmuan, mereka juga sungkan tidak ada darah nasab dengan para pendiri. Pun dalam ilmu Faraidh, jika masih ada ashabul furudh yang dekat maka mereka yang jauh menjadi mahjub. Dan, sebagaimana tradisi pesantren, pemimpin tertinggi adalah penerus nasab, selagi mereka ada—bagaimana pun kondisinya—orang lain di luar itu tidak bisa menunjukkan taringnya. Tak heran, ratusan tahun pesantren masih jaya dan abadi, karena yang merawat, meneruskan dan mengembangkan adalah mereka para ahli waris.

Sampai saat ini, tampaknya belum ada buku atau sebuah penelitian yang meriset keberhasilan dan kelemahan para pemimpin NU dari masa ke masa. Jika ada, data itu sangat berguna sekali agar NU bisa mengaca dari yang sudah-sudah. Keberhasilan yang dicapai bisa dipertahankan, sedangkan kekurangan yang ada bisa diperbaiki bersama.

Doa Hadratus Syaikh

Pada tahun 2009, penulis bersama M Mansyur diutus oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menemui KH Abdul Muchith Muzadi di Jember. Gus Sholah meminta kami menggali kisah-kisah Hadratus Syaikh melalui Kiai Muchith yang merupakan santri langsung Hadratus Syaikh. Hasil dari wawancara eksklusif dua hari itu alhamdulillah menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng.

Di sela-sela mewawancarai Kiai Muchith, kami juga berdiskusi panjang dengan Kiai Nur, kiai kampung alumnus Pesantren Lasem, Rembang. Dengan ketulusan hati, beliau mempersilakan kami menginap di rumahnya selama kami berada di Jember. Dan, sebuah kebetulan yang sangat luar bisa, di rumah beliau itu kami menemukan sebuah dokumen penting. Isinya adalah doa Hadratus Syaikh yang dikhususkan untuk NU. Berikut isi lengkap doa tersebut:

“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma aiqizh qulubal ‘ulamai wal muslimin min naumi ghaflatihimil ‘amiq. Wahdihim ila sabilirrasyad. Allahumma ya hayyu ya qayyum, ahyi jam’iyyatana Nahdlatal Ulamai hayatan thayyibatan ila yaumil qiyamah. Bibarakati “Falanuhyiyannahu hayatan thayyibah, waj’al afidatan minannasi tahwi ilaihim, warzuqhum minatssamarati la’allahum yasykurun”. Warzuqhum quwwatan ghalibatan ‘ala kulli bathilin wa zhalimin wa fahisyin wa su’un la’allahum yattaqun.”

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, bangunkanlah hati para ulama dan orang-orang Islam dari tidur kelalaian mereka dan tunjukkan kepada mereka jalan yang benar. Ya Allah, Dzat Yang Maha Hidup, Dzat Yang Maha Mengatasi (segala urusan), hidupkanlah organisasi kami, organisasi Nahdlatul Ulama dengan kehidupan yang baik, berkat (janji-Mu): “Pasti Kami akan hidupkan kepadanya dengan kehidupan yang baik, dan jadikanlah hati setiap orang condong kepada mereka dan anugerahilah mereka dari berbagai buah-buahan agar mereka berterima kasih”. Dan anugerahilah mereka kekuatan yang mampu menindas atas semua kebatilan, semua penganiayaan, semua kekejian dan keburukan, agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Doa NU Hadratus Syaikh di atas sungguh bermakna dalam. Beliau memohon kepada Allah SWT agar ulama dan umat muslim bangkit dari kelalaiannya selama ini, serta organisasi yang didirikannya bersama para ulama itu benar-benar menjadi perkumpulan yang diberkahi, memerangi kebatilan. Dengan demikian, jika kini NU dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu apalagi orang-orang besar di dalamnya, maka mereka bukan hanya mendurhakai Hadratus Syaikh tapi juga para ulama, umat Islam dan ayat-ayat Allah. Na’udzubillah, semoga hal ini tidak terjadi.Hadanallah…  

Jakarta, 1 Agustus 2015

*) Penulis adalah kader muda NU alumnus Pesantren Tebuireng, pencinta buku, sastra dan kopi.