
Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo
Digitalisasi zaman adalah suatu keniscayaan. Bagi yang tidak adaptif, pasti akan tertinggal dan tergerus oleh zaman. Di samping itu, digitalisasi zaman ini juga mengakibatkan berbagai aspek kehidupan mengalami perubahan signifikan. Banyak hal kini beralih dari yang semula konvensi atau manual, menjadi serba digital; dari yang semula cenderung lambat, kini menjadi serba cepat. Semua ini berkat kecanggihan teknologi yang hadir pada zaman digitalisasi sekarang ini.
Perubahan demikian ini tentunya juga membawa ‘angin segar’ dalam bidang dakwah keagamaan. Jika dulu dakwah agama Islam dilakukan secara manual, dari satu pintu ke pintu lain; dari satu rumah ke rumah lain; dari satu daerah ke daerah lain; dan seterusnya, maka sekarang ini tidak lagi seperti itu. Aktivitas dakwah kini telah mengalami transformasi menuju era digital. Hal ini dibuktikan banyaknya konten yang tersebar di dunia maya. Melihat realita demikian, sebagai umat Islam, tentu kita patut bersyukur. Sebab, dakwah agama Islam dapat semakin meluas dan melebar ke segala sudut satu negara, bahkan ke segala penjuru dunia. Akan tetapi, rasa syukur kita akan hal ini patut diimbangi pula dengan sikap hati-hati. Mengapa demikian?
Semua ini karena tidak semua konten dakwah yang tersebar dan dapat diakses secara bebas oleh semua orang memiliki esensi dakwah Islamiyyah yang ramah dan sesuai dengan haluan ideologi ahlussunah waljama’ah (Aswaja). Kalau kita mau menelaah dan melakukan riset sederhana saja, pasti kita sering menjumpai konten yang berkontradiksi dengan ideologi Aswaja, dan justru beresensi propaganda paham radikalisme, ekstremisme, sekulerisme, dan sejenisnya. Paham-paham demikian ini jelas berbahaya, karena selain tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menebarkan rahmat (kasih sayang) kepada semua, juga berpotensi mengancam stabilitas keamanan dan kenyamanan bangsa & negara. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Islam, wajib memasang atensi dan berhati-hati terhadap fenomena demikian ini.
Berangkat dari persoalan di atas, kita sebagai umat Islam tentu saja butuh solusi yang efektif terhadap hal ini. Kita perlu menaruh atensi serius dalam menghadapi tantangan zaman di era digitalisasi semacam ini demi kebaikan dan kenyamanan bersama. Menurut hemat penulis, salah satu solusi yang dapat digalakkan untuk meredam dakwah ‘melenceng’—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—adalah kaderisasi intelektual muda di berbagai pesantren Aswaja.
Keberadaan para ulama’ Aswaja selama ini telah menunjukkan kiprahnya dalam mendakwahkan agama Islam secara ramah, bukan gemar marah, kepada khalayak umum. Sebagai figur yang merepresentasikan agama yang rahmatan lil-‘alamin, para ulama’ aswaja sejauh ini juga selalu menjaga integritas dan terus konsisten meningkatkan kredibilitas keilmuan. Akan tetapi, kita tahu bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk para ulama. Seiring berjalannya waktu, mereka pasti menua dan lambat laun akan meninggalkan gemerlap dunia dan kembali kepada-Nya. Maka dari itu, kaderisasi intelektual muda Aswaja adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.
Baca artikel Harlah Tebuireng:
Bukti Kenyentrikan Pesantren Tebuireng Sudah Ada Sejak 1919
Eksistensi Pesantren Tebuireng dalam Lintasan Sejarah Pendidikan Islam
Nilai Toleransi dan Persaudaraan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Selanjutnya, untuk mewujudkan gagasan ini, tentu saja kita perlu pionir tepat sebagai aktor utama sekaligus ruang yang bisa mewadahi gagasan tersebut agar menjadi realita. Menurut hemat penulis, pionir tepat yang siap menjadi aktor utama dalam hal ini adalah kaum santri. Sementara, ruang yang paling tepat dan efektif dijadikan wadah penampung gagasan ini adalah pesantren. Sebab, sejak dahulu kaum santri telah terbukti akan kematangan ilmu agamanya, sedangkan pesantren sendiri sejak dahulu juga telah terbukti berhasil mencetak dan melahirkan kader-kader ulama hebat yang mampu dan layak melanjutkan estafet perjuangan dakwah para pendahulunya.
Selain itu, pesantren juga merupakan miniatur masyarakat, sehingga pendidikan karakter di dalamnya telah mengakar kuat. Hal ini karena para santri tidak hanya belajar secara teoritis, tapi juga secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pesantren akan sangat cocok bila ingin dijadikannya wadah paling efektif untuk melakukan kaderisasi.
Pesantren disebut paling efektif sebagai wadah kaderisasi karena iklim pendidikan di dalamnya sangat bagus. Sejak awal mondok, para santri (calon intelektual muda aswaja) telah dibekali dengan karakter yang baik. Di samping itu, kompetensi dalam ilmu keagamaan–yang berlandaskan ideologi ahlussunah waljama’ah–juga tidak diragukan lagi. Artinya, untuk mencetak intelekual muda aswaja yang siap berdakwah sekaligus ‘berperang’ melawan konten-konten dakwah ‘melenceng’ yang terus disebarluaskan oleh mereka yang berpaham radikalisme, ekstremisme, dan sejenisnya, pesantren tinggal menyiapkan sarana khusus yang dapat menjembatani gagasan mulia tersebut terwujud.
Memang tidak harus semua santri itu mesti menjadi kiai, namun santri harus siap menggantikan peran kiai. Apapun profesinya, nasyrul ilmy (mengembangkan/menyebarkan ilmu) dalam wujud kegiatan ta’lim (mengajar) dan ta’allum (belajar) harus senantiasa diistiqomahkan oleh santri sepanjang hidupnya. Jadi, santri harus memiliki idealisme bahwa dirinya punya kewajiban nasyrul ilmy. Nah, melihat realita sekarang, maka zaman sekarang tidak cukup mengajarkan ilmu di dunia nyata saja, melainkan di dunia maya juga. Untuk itu, pelatihan-pelatihan di atas bagi santri dirasa perlu.
Sebab, andaikata para santri yang sejatinya punya kompetensi mumpuni dalam mendakwahkan isi ajaran Islam aswaja, tapi dia tidak terkendala dalam perihal penyampaiannya, maka hal itu sangat disayangkan. Selain itu, sosmed isinya akan dipenuhi dan dikuasai oleh golongan ‘sebelah’ dengan ribuan konten ‘melenceng’ mereka yang melancarlam aksi propaganda ideologi radikalisme, ekstremisme, dan sejenisnya di Indonesia.
Berkaca dari persoalan di atas, maka pesantren perlu mengadakan pelatihan dakwah digital, pelatihan membuat konten kreatif visual yang esensinya sesuai dengan paham Aswaja, pelatihan jurnalistik media keislaman, dan berbagai pelatihan serupa yang dapat menunjang aktivitas dakwah Islamiyyah ala Aswaja An-Nahdliyah.
Dengan adanya berbagai pelatihan ini, kehadiran para santri yang merupakan intelektual muda Aswaja di dunia dakwah digital diharapkan mampu meredam konten-konten dakwah ‘melenceng’ yang terlahir dari ideologi radikal, ekstremisme, dll. Sekali lagi, ideologi-ideologi tersebut sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran Islam pada khususnya, dan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa pada umumnya, sehingga harus dilawan. Gerakan propaganda dari mereka harus diimbangi, lebih-lebih dikalahkan.
Sebagai pesantren berhaluan Aswaja An-Nahdliyah, Pesantren Tebuireng telah mampu mewujudkan kaderisasi ini melalui dakwah media digital, baik berupa tulisan, konten grafis, maupun video dakwah keagamaan di berbagai kanal media sosialnya. Prestasi demikian ini tidak boleh berhenti dan harus terus dilanjutkan.
Pesantren yang didirikan oleh Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari ini harus siap menjadi role model bagi pesantren-pesantren Aswaja lain yang berada di Indonesia. Semoga di usia 125 tahun ini, Pesantren Tebuireng semakin maju dan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu pusat ilmu keagamaan terkemuka di tanah air sekaligus menjadi role model pesantren pencetak intelektual muda Aswaja yang siap berjihad dengan dakwah digital di dunia maya. Aamiin…