Dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pada bagian akhir, tercantumkan lima adab dalam memuliakan buku dan mengenai pemilikan, penulisan, penyusunan, dan penyalinan buku. Berikut adalah ulasannya:
Seorang Murid Harus Punya Buku Pelajaran
Hendaknya seorang pelajar sebisa mungkin mempunyai buku pelajaran yang dibutuhkan, baik dengan cara membeli, menyewa dan meminjam. Demikian ini karena buku pelajaran adalah alat untuk mendapatkan ilmu. Namun, dengan memiliki buku bukan berarti ilmu sudah didapat dan dengan mempunyai beragam referensi tidak berarti itu sebanding dengan kualitas pemahaman yang dicapai, sebagaimana banyak yang terjadi pada pelajar zaman ini. Sungguh indah syair sebagian ulama yang mengatakan, “Jika kamu tidak bisa hafal dan paham, maka segudang buku yang kau kumpulkan tidak akan berguna. Apakah kamu membicarakan kebodohan pada suatu majlis, sedangkan ilmumu di rumah tertinggal.”
Jika pelajar bisa memperoleh buku dengan cara membeli, maka tidak perlu repot-repot menyalin buku orang lain. Pekerjaan menyalin buku tidak perlu dilakukan secara terus-menerus, hanya perlu dilakukan ketika tidak mampu memilki buku karena tidak punya uang untuk membeli atau untuk membayar ongkos jasa penyalinan buku. Dalam menyalin buku, murid tidak boleh terpaku pada keindahan tulisan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana supaya tulisan itu valid. Meminjam buku dari orang lain juga tidak perlu dilakukan kalau pelajar mampu membeli atau menyewa sendiri.
Meminjamkan Buku pada Teman yang Terpercaya
Jika seorang pelajar tidak berkeberatan, dianjurkan untuk meminjamkan bukunya kepada temannya yang dianggap tidak akan menciderai akad pinjaman. Seyogyanya, bagi peminjam berterima kasih kepada pemilik buku atas peminjaman tersebut, tidak diperkenankan menahan buku pinjaman di sisinya terlalu lama bila sudah tidak diperlukan lagi. Dia harus mengembalikan buku kepada pemiliknya secepat mungkin ketika keperluannya sudah selesai. Tidak boleh melakukan perbaikan tulisan tanpa izin pemiliknya, tidak memberi catatan pinggir, tidak menuliskan sesuatu pada bagian kosong lembaran-lembaran depan dan belakang kitab kecuali yakin kalau pemiliknya rela akan hal itu.
Begitu juga tidak boleh membuat buku menjadi hitam, tidak meminjamkan dan menitipkan kepada orang lain bila tidak ada perlunya, tidak menyalin tulisan dari buku tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Kalaupun dia mau menyalin atas izin dari pemiliknya maka ketika menulis salinan tidak boleh buku tulis itu diletakkan di atas buku yang akan salin atau menindih tulisannya. Pantangan juga bagi murid untuk menaruh wadah tinta di atas buku yang akan salin.
Tidak Boleh Meletakkan Buku di Atas Lantai
Tatkala membuat salinan dari sebuah buku atau sedang menelaahnya, maka tidak boleh meletakkan buku terhampar di atas lantai. Namun, meletakkannya dalam keadaan terganjal oleh dua benda, buku atau lainnya, Bisa juga di taruh di atas meja kecil khusus buku yang biasa dikenal. Tujuannya supaya jilidan buku tidak cepat lepas dan terurai.
Jika buku diletakkan di tempat yang tersusun (rak), maka letakkanlah di atas kursi, papan atau sejenisnya. Jangan meletakkannya diatas lantai (tanpa ganjalan), agar tidak cepat lembab dan rusak. Jika buku diletakkan diatas papan atau sejenisnya, maka harus menaruhkan di atas dan di bawah buku, sesuatu yang melindunginya dari benda-benda yang dapat menjatuhkannya, seperti dinding atau lainnya.
Memperhatikan etika peletakkan buku sesuai dengan klasifikasi disiplin ilmu berikut tingkat kemuliaannya, dan berdasarkan pengarang dan tingkat kepakarannya. Sehingga buku-buku yang lebih tinggi nilai kemuliaannya dibanding buku-buku yang lain, harus diletakkan paling atas, lalu diikuti buku-buku level selanjutnya secara berurutan. Namun, untuk mushaf Al-Quran, jika ada, harus diletakkan paling atas sendiri. Lebih baik lagi jika mushaf diletakkan dalam kantong bertali dan digantungkan pada paku atau pasak yang yang bersih lagi suci, dan terletak di bagian depan ruangan. Kemudian di bawah mushaf itu, diletakkan kitab-kitab hadis, tafsir Al-Quran, tafsir hadis, akidah, ushul fikih, fikih, nahwu, shorof, kitab syair-syair arab, dan ilmu arudh.
Hendaknya menuliskan judul buku (kitab) di sisi bagian bawah di halaman terakhir. Awal huruf-huruf judul itu ditulis lurus searah dengan tulisan basmalah dari buku tersebut. Fungsi dari judul ini adalah untuk mengenali buku dan memudahkan kita dalam pengambilan. Jika meletakkan buku, hendaknya sampul yang tepat dibelakangnya adalah tulisan basmalah atau awal buku, berada di atas. Sebaiknya tidak meletakkan buku berukuran besar di atas buku yang berukuran kecil. Tidak boleh menjadikan buku sebagai tempat penyimpanan beraneka ragam kertas dan benda lainnya, apalagi menjadikannya bantal atau kipas. Dalam memberikan tanda pada buku, tidak dengan menggunakan stick kecil atau benda kering lainnya, tapi menggunakan secarik kertas. Jangan melipat tepi atau sudut kertas buku.
Pinjam dan Beli Buku dengan Teliti
Bila murid ingin meminjam buku atau membelinya, ia harus memeriksanya dengan teliti bagian depan, belakang, tengah, susunan bab, dan kertasnya.
Adab Menyalin Buku
Tatkala menyalin tulisan dari buku-buku yang berisi ilmu-ilmu syariat, hendaknya dalam keadaan suci, menghadap kiblat, badan dan pakaian bersih, dengan menggunakan tinta yang suci. Lalu menuliskan basmalah pada awal setiap buku yang hendak ditulis. Bila dalam buku itu, penyalin ingin membuka dengan prakata penulis yang mencantumkan pujian kepada Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, maka prakata tersebut ditulis setelah basmalah. Begitupula, basmalah hendaknya ditulis di akhir buku dan di akhir setiap jilidnya. Setelah penulisan jilid pertama atau kedua selesai, hendaknya pula menuliskan kata-kata yang menunjukkan bahwa buku tersebut belum rampung (masih ada jilid berikutnya). Tapi jika sudah rampung, maka harus menuliskan kata-kata yang menandakan tulisan telah berakhir, karena banyak faedah yang terkandung di dalamnya.
Dalam menuliskan nama Abdullah, Abdurrahman bin fulan, dan nama-nama yang disandarkan pada lafal Allah lainnya, makruh hukumnya meletakkan nama `Abd di akhir baris suatu kalimat sedangkan lafal Allah bin fulan-nya diletakkan pada awal baris berikutnya. Bahkan menurut sebagian ulama, menjauhi penulisan semacam itu wajib hukumnya. Demikian juga makruh hukumnya menuliskan lafal Rasulullah dimana lafal Rasul di akhir baris suatu kalimat dan lafal Allah-nya di awal baris kalimat selanjutnya. Hukum yang sama juga berlaku bagi setiap model penulisan yang serupa, yang menyebabkan kerancuan dan kekaburan, misalnya menuliskan kalimat Qotil ibnu Shafiyyah fi an-nar (artinya: pembunuh ibnu Shafiyyah masuk neraka), dimana kata Qatil ditulis di akhir baris dan kata Ibnu Shafiiyyah fi an-nar ditulis diawal kalimat pada baris selanjutnya.
Atau seperti menuliskan kata faqala dari redaksi hadis tentang peminum khamr (sejenis minuman keras) yang berbunyi: faqala umaru akhzahullahu, secara terpisah dari kata selanjutnya, yakni kata faqala di akhir baris kalimat sementara kata umaru dan seterusnya ditulis di awal baris kalimat berikutnya. Tapi jika dua kata dalam frase idhafah tersebut keluar dari kriteria di atas seperti Subhanallah, maka tidak makruh memisahkan antara dua kata tersebut satu sama lainnya. Namun, yang lebih baik adalah menuliskannya dalam satu baris kalimat.
Setiap menulis lafal Allah, hendaknya diikuti dengan ungkapan pengagungan seperti ta`la, subhanahu wa ta`ala, `azza wa jalla, tabaraka wa ta`ala, jalla dzikruhu, tabaraka ismuhu, jallat `azhamatuhu, dan lain sebagainya. Setiap menuliskan nama Nabi SAW, tulis setelahnya secara bergandengan lafal-lafal shalawat dan salam kepada beliau. Para ulama sejak zaman dahulu sampai sekarang terbiasa menuliskan lafal shallallahu `alaihi wa sallam setelah nama Nabi Muhammad saw. Tujuan mereka adalah melaksanakan perintah Allah dalam firman-Nya:
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Ingat! Jangan sampai penulisan shallallahu `alaihi wa sallam disingkat, meski shalawat itu berulang kali disebutkan, menjadi صلعم atau ص م, atau singkatan lainnya yang tidak pantas disematkan terhadap Rasulullah SAW, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang.
Bila melewati nama sahabat, maka iringi dengan kata-kata radhiyallhu`anhu, dan radhiyallahu`anhuma kalau ada penyebutan nama ayah dari sahabat tersebut. Demikian juga bila melewati nama ulama salaf. Atau bisa juga diganti dengan kata-kata rahmatullahi `alaihi dibelakang nama ulama tersebut, terlebih lagi jika yang disebut ulama besar. Kata-kata penyerta nama-nama sahabat dan ulama seperti di atas hendaknya tetap ditulis, meskipun tidak tercantumkan dalam kitab asal yang disalin yang menjadi pedomannya, sebab ini bukanlah periwayatan melainkan sekedar doa. Dan bagi pembaca, sebaikanya juga membaca semua kata-kata doa itu, walaupun dalam kitab asli yang dia baca tidak tercantumkan. Serta janganlah bosan mengulanginya, sebab ini merupakan kebaikan yang agung dan keutamaan yang besar.
*Disarikan dari ktiab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim