Sumber: dardut.com
Sumber: dardut.com

Seorang pencari ilmu, murid, atau santri, harus memiliki kemampuan memilih guru dan ketika sudah bersama guru harus mengaplikasikan etika-etika yang baik. Tidak bermaksud membeda-bedakan guru, karena semua guru berhak untuk diambil ilmunya. Namun, memilih guru untuk studi yang fokus adalah kunci utama kesuksesan mencari ilmu, sedangkan etika adalah kunci mendapatkan keberkahan guru, kemanfaatan ilmu, dan keridhaan Allah. Berikut 10 nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk pencari ilmu dalam memilih dan beretika terhadap guru:

  1. Pintar Memilih Guru

Hendaknya seorang pencari ilmu mempertimbangkan terlebih dahulu seraya meminta petunjuk (istikharah) kepada Allah SWT perihal guru yang akan ditimba ilmunya dan yang akan diteladani budi pekerti dan tata kramanya. Kalau bisa orang yang sudah diketahui punya keahlian, sifat asih, citra yang baik, kepandaian menjaga kesucian diri, dan kemampuan mengajar dan memahamkan yang baik. Ada maqalah (ungkapan) dari seorang ulama salaf, “Ilmu ini adalah agama. Maka berhati-hatilah kepada siapa kalian mempelajari agama kalian.”

  1. Memilih Guru Peneliti dan Suka Berdialog

Bersungguh-sungguh dalam mencari guru yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu syari`at, yang dipercaya di antara guru-guru lain pada zamannya sering melakukan penelitian dan dialog bersama para pakar. Bukan sosok guru yang ilmunya didapat lewat lembaran-lembaran kertas buku dan tidak pernah belajar langsung pada guru-guru ahli (masyayikh). Imam Syafi`i berkata, “Barangsiapa yang belajar fikih dari kitab atau buku, dia telah menyia-nyiakan hukum.”

  1. Patuh Pada Guru

Santri harus patuh pada guru dalam berbagai hal dan tidak menentang pendapat dan aturannya. Murid dengan guru posisinya seperti pasien dengan guru ahli. Oleh karena itu murid harus meminta petunjuk guru dalam menggapai tujuannya, berusaha mendapat ridho guru dalam setiap perbuatan, menghormatinya, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melayaninya. Ketahuilah bahwa ketundukan pada guru adalah kemuliaan. Kepatuhan kepadanya merupakan kebanggaan dan kerendahan diri di depannya merupakan keluhuran.

  1. Sopan dan Percaya terhadap Guru

Santri/pencari ilmu harus memandang guru dengan hormat nan takdhim dan percaya pada diri gurunya itu ada kesempurnaan dan kredibilitas keilmuan, karena itu lebih bermanfaat bagi murid. Abu Yusuf berkata, ”Aku mendengar ulama salaf berkata: ‘Siapa yang tidak meyakini keagungan gurunya, dia tidak akan bahagia.’ Jangan sekali-kali berbicara pada guru dengan menggunakan huruf ta` khitab dan kaf (kata ganti kedua untuk laki-laki jama`) dan jangan memanggil namanya, namun pakailah kata-kata tuan atau ustadz (kalau di Indonesia, bisa pak, bapak guru, kiai, Abah Yai dan lain sebagainya). Begitu pula ketika tidak di hadapan guru, jangan menyebut namanya kecuali bersama kata-kata penghormatan seperti ‘Syekh (kiai), ustadz berkata… atau Kiaiku berkata..’ dan seterusnya.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Memuliakan Guru Seumur Hidup

Santri harus mengetahui hak-hak guru dan tidak melupakan kemuliaannya. Mendoakan baik ketika hidup maupun setelah kematiannya. Tetap menghormati keturunannya, kerabat, dan orang-orang yang dikasihinya. Ziarah ke makamnya, memintakan ampunan untuknya, bersedekah untuknya dan menempuh jalan kebaikan dan petunjuknya. Meneruskan tradisi kegamaan dan keilmuannya. Berprilaku sesuai prilakunya dan selalu meneladaninya.

  1. Meminta Maaf Bila Salah

Keenam, bersabar atas kekasaran (ketidakramahan) dan keburukan prilaku yang muncul dari guru. Mentakwil (menjelaskan) perbuatan guru yang tampaknya menyalahi, atau guru berlaku kasar pada murid. Ketika santri melakukan kesalahan, hendaknya murid mulai meminta maaf, menampakkan bahwa dia bersalah dan berhak dimarahi. Dengan begitu guru akan tambah senang untuk mengajarkan keutamaan kepada murid dan memperingatkannya ketika dia berlaku tidak baik, malas, ceroboh, atau melakukan hal-hal lain yang memungkinkan adanya pencegahan dan peringatan dari guru.

Pencegahan dan peringatan guru sebenarnya untuk mengarahkan dan memperbaiki diri murid sehingga harus dipahami sebagai nikmat Allah yang datang dalam bentuk perhatian dan pengawasan guru. Jika hal ini dipahami oleh murid, maka guru akan tambah suka dan semangat memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan murid.

Bila guru mengajarkan suatu etika atau memperhatikan atas suatu kesalahan murid yang telah diketahui sebelumnya, maka murid tidak perlu terlebih dahulu menampakkan bahwa dia sudah tahu kesalahannya, tapi hendaknya mengabaikannya dulu. Namun, kalau dia punya alasan (yang kuat) atas kesalahannya itu dan dengan memberitahukannya pada guru dianggap sebuah hal yang baik, maka tidak apa-apa memberitahukanya. Kalau dianggap tidak baik, maka alasan tersebut hendaknya jangan dijelaskan. Namun, bila tidak dijelaskan menimbulkan hal-hal negatif, maka harus dijelaskan.

  1. Bertemu Guru Harus Meminta Izin

Murid hendaknya tidak menemui guru tanpa meminta izin terlebih dahulu, baik guru sedang sendirian maupun bersama orang lain, kecuali guru sedang di majlis taklim maka temui dan ikutilah pengajiannya. Bila sudah mengucapkan izin seperti mengucapkan salam ingin bertemu sekali dan guru tahu hal itu, tapi tidak mengizinkan, maka murid harus pergi dan tidak mengulangi paksa permintaan izinnya. Bila ragu apa guru dengar ucapan permintaan izin bertemu dari murid atau tidak, maka boleh mengulangi maksimal tiga kali atau dengan mengetuk pintu tiga ketukan yang wajar penuh tata krama seperti dengan menggunakan kuku jemari lalu dengan jemari secara bertahap. Bila guru sudah mengizinkan masuk dan murid yang ingin bertemu banyak, maka yang lebih tua masuk dahulu seraya mengucapkan salam kemudian diikuti yang lain sesuai urutan usia sambil mengucapkan salam secara bergantian.

  1. Bertemu Guru dengan Penampilan Baik

Hendaknya juga ketika menemui guru dalam keadaaan berpenampilan yang baik, badan dan pakaian bersih dan suci setelah sebelumnya memotong kuku dan menghilangkan bau badan yang tidak sedap. Terutama bila bertujuan mengaji. Hal ini karena tempat tersebut adalah majlis dzikir, ibadah dan berkumpulnya orang-orang.

  1. Diam Saat Guru Ngobrol

Ketika sudah ada di dalam (majlis atau rumah guru) dan ketika itu beliau sedang ngobrol dengan seseorang, maka yang lain hendaknya diam tidak bicara sendiri. Atau, ketika sudah di dalam ternyata guru sedang shalat sendirian, sedang berdzikir atau belajar, maka murid harus membiarkannya saja, diam dan tidak memulai pembicaraan. Akan tetapi sebaiknya dia pengertian dengan mengucapkan salam pamit pulang secepatnya, kecuali bila guru menyuruh untuk tetap tinggal. Tapi jangan berlama-lama, kecuali bila disuruh.

  1. Menunggu Guru Ketika Belum Hadir

Bila murid datang ke tempat guru sementara guru belum juga datang, maka hendaknya dia menunggu supaya dia tidak ketinggalan pelajaran. Tidak diperkenankan pergi ke kamar guru mengetuk pintu supaya guru keluar. Bila guru masih tidur, murid hendaknya bersabar hingga beliau bangun, atau balik pulang dan datang lagi di lain waktu, sebab kesabaran merupakan perangai yang harus dimiliki murid.

Tidak diperbolehkan bagi murid meminta kepada guru waktu khusus untuk dirinya sendiri agar diajarkan ilmu, meskipun murid tersebut seorang pemimpin atau orang besar. Sebab hal itu merupakan kesombongan dan pembodohan kepada guru dan murid-murid yang lain. Namun bila guru yang meminta waktu khusus karena tidak bisa hadir di waktu yang sudah disepakati entah karena ada udzur atau karena suatu kemaslahatan yang dipandang baik, maka hal tersebut boleh-boleh saja.


*Bersambung ke edisi selanjutnya