Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid
Pada saat Rasulullah Saw masih hidup, para sahabat masih betul-betul hidup sesuai tuntunan agama. Pada era khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab kehidupan umat Islam masih berjalan sesuai ketentuan agama. Kita ingat kisah bagaimana khalifah Abu Bakar meningkatkan aturan dengan kekuatan (militer) saat ada pihak yang tidak mau membayar zakat. Pemihakan khalifah terhadap kaum miskin—Seperti yang diperintahkan oleh Islam—masih dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Surah-surah makiyah secara gamblang memerintahkan untuk memerangi ketimpangan sosial dan sekaligus mendorong umat Islam untuk menjalani kehidupan sederhana dan tidak silau kepada kemewahan, kemegahan dunia.
Kezuhudan tidak menjadi penghalang bagi khalifah Umar bin Khattab untuk memperluas wilayah negara Islam. Saat tentara Islam berhasil mengalahkan Persia, ghonimah yang diperoleh amat besar. Hal itu membuat sebagian sahabat tergoda oleh kenikmatan dunia. Umar sama sekali tidak tergoda. Umar sangat serius memerangi kemiskinan, upaya memerangi kemiskinan terlihat dari kebijakan Umar. Misalnya mengambil sebagian harta sahabat yang kaya dan memasukkannya ke baitul mal.
Di samping Abu Bakar dan Umar, di situ ada sekelompok orang yang tidak tergiur kenikmatan dunia dan menjalani kezuhudan serta menekuni Al Quran sehingga disebut qurra.
Seperti yang diajukan Rasulullah Saw. nilai kezuhudan tidak membuat mereka berdiam diri melihat kemungkaran dan acuh tidak acuh terhadap masalah dunia. Mereka bergabung dengan pasukan yang dikirim Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang keluar dari agama.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman kesenjangan sosial yang pernah ada pada masa jahiliyah, mulai hidup kembali. Jurang antara kaya dan miskin makin lebar. Hal itu terjadi karena khalifah Utsman memberikan sebagian harta yang diperoleh dari penarikan pajak kepada keluarga dan kawan-kawannya. Tidak seperti Umar, Utsman dianggap tidak melakukan pengawasan terhadap kelompok kaya. Kelompok quro dan shuffah berpihak pada Ali bin Abi Thalib.
Abu Dzar Al-Ghifari berpendapat bahwa Islam adalah agama yang ditujukan untuk menyelamatkan orang-orang yang lemah dari kekuasaan konglomerat, pengusaha Quraisy. Di saat dia melawan Utsman, Abu Dzar dibuang ke Syam. Di sini juga ia kritis terhadap Gubernur Muawiyah. Lalu Muawiyah mengembalikan Abu Dzar ke Madinah.
Kehidupan sederhana yang dijalani oleh khalifah Abu Bakar, khalifah Umar bin Khattab, Abu Dzar, Umar bin Yassar, Amir bin Abdil Khois, dan lain-lain itu bukan karena mereka tidak mampu mendapat harta berlimpah atau menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang ideal. Mereka hidup miskin karena ingin bersenyawa dengan kaum miskin yang termiskinkan dengan keadaan yang bersifat strutural. Persisi seperti di Indonesia sekarang.
Menurut pendangan mereka, kemiskinan harus diperangi melalui distribusi ulang harta kekayaan secara adil. Nilai kezuhudan di atas membedakan mereka dengan ahli zuhud yaitu orang-orang yang mendalami kezuhudan pada dinasti bani Umayyah. Yang tepatnya setelah terjadi pembunuhan terhadap Husain bin Ali. Mereka meninggalkan dunia dengan segala permasalahannya, di sertai perasaan takut yang sangat mendalam terhadap siksa Allah Swt. berlebihan dalam memandang pahala dari-Nya serta berlebihan dalam memandang maksiat dan dosa.
Jadi zuhud yang terakhir itu lari dari dunia, sedangkan kelompok zuhud yang pertama tidak lari dari dunia, dia tetap berada di dunia tetapi memegang prinsip-prinsip kezuhudan sesuai apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Mudah-mudahan tulisan singkat itu ada manfaatnya bagi kita.
Ditranskrip dari tulisan Gus Sholah yang dibaca beliau saat bedah buku Dies Natalis Mahad Aly Tebuireng, Jumat (25/11/2016)
Publisher: Farha Kamalia