Judul : Wigati, Lintang Manik Woro

Penulis : Khilma Anis

Halaman : 276

Terbitan : Telaga Aksara

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tahun Terbit: 2018

Peresensi: Anisa Khoiril Fadhilah*


Sebuah kisah pengorbanan dalam persahabatan dan cinta yang berawal dari seorang santri bernama Wigati. Ia mempunyai sikap yang berbeda dengan teman-temannya, lebih suka menyendiri dan tertutup. Selain itu, Wigati juga melakukan hal-hal aneh seperti mandi di kala surup menggunakan air berwarna merah yang temannya pun tak tau air apa itu, ia juga mempunyai aura mistis, terbukti saat dia mampu menenangkan salah satunya temannya yang berteriak meraung-raung seperti kesurupan dan Wigati adalah santri beralis tipis sebelah yang kata orang-orang tua adalah sebuah tanda bisa melihat makhlus halus.

Tak sering memanggil kawan-kawannya dan begitu pun sebaliknya, sehingga membuat Wigati jarang berbaur dengan mereka, namun tidak dengan Lintang Manik Woro, Manik panggilannya. Terlihat berbeda dan aneh dari sosok Wigati tak membuat Manik menjauh, justru dia kepo dan tertarik untuk mendekatinya.

Hingga pada suatu hari Wigati mendapat sebuah pusaka bernama Nyai Cundrik Arum yang kata almarhumah neneknya pusaka tersebut harus ia pertemukan dengan Keris Kiai Rajamala. Pendekatan Manik kepada Wigati tak sia-sia, seiring waktu berjalan Wigati mulai terbuka dan mau membagi cerita hidupnya kepada Manik. Hal ini membuat Manik turut andil memperjuangkan dan berusaha mengungkap misteri di balik 2 pusaka itu.

Nyai Cundrik Arum sampai ke tangan Wigati melalui seorang pemuda, Hidayat Jati namanya. Ialah yang mengantar pusaka itu karena bapaknya yang mengemban amanah untuk menyimpannya dan memberikannya kepada Wigati. Beliau adalah salah satu murid seorang empu bernama Ki Suronggono (Kakek Wigati). Namun kala itu Maniklah yang menemui Jati saat ia menyerahkan patrem itu.

Sayangnya kehadiran keris itu justru membuat Wigati tampak sedih karena ia seperti teringat pada sebuah kisah yang panjang. Hari demi hari hubungan persahabatan Wigati dengan Manik semakin erat, hingga tiba saatnya liburan Wigati mengirimkan sesuatu kepada Manik yang ternyata isinya adalah buku harian milik mama dan eyang putrinya. Dalamnya berisi ungkapan dan cerita masa lalu mama Wigati yang begitu pilu, ayah kandung Wigati harus meninggalkannya sejak masih dalam kandungan Mamanya, ini sungguh ujian berat untuk Wigati, mamanya harus terluka karena cintanya dan ia pun sejak lahir belum pernah bertemu ayahnya. Sedangkan di buku harian eyang putrinya tertuliskan sebuah petunjuk bahwa Wigati akan didatangi keris Nyai Cundrik Arum (keris milik kakeknya) dan keris itu dengan keris Kiai Rajamala akan menunjukkan siapa ayahnya yang sebenarnya.

Seorang santri bernama Wigati ini harus dilanda kegundahan dan kesedihan saat, eyang putrinya meminta ia mencari tahu tentang siapa ayah kandungnya sedangan mamanya meminta agar membiarkan kisah kelam ini terpendam. Namun suatu hari pemuda Hidayat Jati menyampaikan pesan bahwa ayahnya ingin bertemu langsung dengan Wigati. Dari sinilah pencarian untuk mempertemukan keris Nyai Cundrik Arum dan keris Kiai Rajamala dimulai, Maniklah yang setia mendampingi dan menemani Wigati dalam perjalanan ini.

Saat tibanya di rumah kang Jati, begitu Manik memanggilnya. Ayahnya memberitahukan bahwa Kiainya Jati yang disupirinya setiap hari adalah ayah Wigati. Ayahnya memang memerintahkan Jati untuk mondok di sana agar bisa terus memantau keris Kiai Rajamala buatan Ki Suronggono itu, yang diamanahkan kepada beliau. Mendengar itu, Wigati lemas tak berdaya, dengan kalimat istighfar yang diucapkannya.

Manik melihat kisah dan cerita sahabatnya yang seperti itu, ia berusaha keras membantu Wigati agar sampai bertemu pada ayahnya, mulai dengan cara berkompromi dengan kang pondok untuk mengundang Ayah Wigati untuk mengisi pengajian di pesantren, namun rencana ini justru tak terkabul menjadi momen pertemuan ayah dan putrinya.

Kala itu Wigati kabur meninggalkan pesantren, dalam sepucuk surat yang ditinggalkan untuk Manik ia bilang bahwa ia akan menyusul kakeknya yang sudah meninggal itu. Mengetahui itu, Manik tak tenang, hingga menyusulnya ke Kota Salatiga itu dengan ditemani kang Jati. Dari sela perjalanan ini, sebuah kisah cinta dimulai, sebenarnya Manik sudah diam-diam mengagumi kang Jati sejak awal bertemu, hingga kini di sebuah momen ia ditemani dan diantarkan kang Jati untuk mencari keberadaan Wigati, perhatian dan sikap Jati nampaknya membuat Manik semakin terkesima hingga tak sadar bahwa Jati pun punya rasa yang sama terhadapnya yang lalu diungkapkan langsung di hadapannya.

Berlanjut pada pencarian Wigati yang akhirnya mereka menemukannya di sekitar area makam kakeknya. Esok harinya datanglah 2 santri utusan Ayah Wigati bahwa Wigati harus bertemu denganya. Yang ternyata Jati telah memberitahukan juga pada Kiainya itu bahwa Wigatilah putrinya. Dengan segala bujukan dan rayuan Manik, akhirnya Wigati berangkat ke Probolinggo untuk menemui ayahnya yang dalam keadaan sakit.

Sampainya di sana benarlah apa yang dikatakan eyang putri Wigati, di sanalah Keris Nyai Cundrik Arum dan Kiai Keris Rajamala bertemu, saat itulah pertemuan pertama antara ayah dan putrinya. Ayahnya sakit dan saat itu juga beliau berwasiat kepada Jati santri kepercayaannya itu untuk menjaga dan menikahi Wigati. Sebuah kesedihan yang harus menimpa Manik sahabat Wigati, di satu sisi dia bahagia karena sahabatnya sudah bertemu dengan ayahnya namun di sisi lain ia harus merelakan cintanya untuk sahabatnya.

Novel ini menceritakan sebuah kisah hidup, persahabatan, dan cinta. Penyajiannya yang unik  memadukan budaya Jawa dan pesantren yang dikemas dengan bahasa menarik dilengkapi dengan glosarium untuk memudahkan istilah-istilah yang belum dipahami pembaca.


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari