DSCI1865Oleh: Cholidy Ibhar*

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menjadi sosok teladan bagi para santri Pesantren Tebuireng. Tidak cuma alim, tetapi juga piawai menuliskan pemikirannya. Sebaiknya, santri tidak cukup sekedar memiliki kemampuan komunikasi lisan, mesti pula mempunyai kecakapan komunikasi lewat karya tulis. Bahkan kultur ini diwarisi oleh dzuriyah Hadratussyaikh lewat figur penulis seperti Kiai Wahid Hasyim, Gus Dur, Gus Sholah dan Gus Ishom.

Diteruskan pula oleh santri-santri Pesantren Tebuireng antara lain, sebutlah misalnya Kiai Tholhah Hassan, Prof. Nur Kholish Setiawan, Prof. Dr. Ridwan Nasir, Prof. A’la, Dr. Lukman Hakim, Dr. Marhumah, Mas’ud Adnan, Dr. Shofiyullah, Dr. Zuhri dan tentu Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub sendiri.

Terus terang, saat di Pesantren Tebuireng, Ustadz Ali Musthofa belum terlihat potensinya sebagai penulis. Walau dari segi keilmuannya, sejatinya tinggal dikembangkan. Materinya sudah tersedia, yang tersisa kemauan untuk menulisnya. Apalagi, di Pesantren Tebuireng kepustakaannya memadai untuk mengembangkan gagasan dan kreatifitas santri.

Sesungguhnya, saat ini santri Tebuireng sangat beruntung. Memiliki media Majalah Tebuireng, penerbitan dan sanggar penulis. Belum lagi, sarprasnya boleh dibilang memadai untuk mengelola budaya tulis-menulis dan melahirkan karya-karya jempolan dan bernas dari kalangan santri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jujur, saya iri dengan fasilitas Pesantren Tebuireng sekarang ini. Maka sejatinya, tidak ada argumen yang kokoh dari pangkuan Pesantren Tebuireng tidak bermunculan dan berkecambah penulis-penulis kreatif yang lahir dari rahim Pesantren Tebuireng.

Memori saya jadi melesat dan tertumbuk almarhum Mas Ragil Pragolopati, yang pernah melatih santri-santri Pesantren Tebuireng di bidang jurnalistik dan membuat karya tulis populer. Bersamanya saya juga pernah bermitra “thawaf” dan “door to door” pesantren di Jawa Tengah mengembangkan budaya tulis-menulis di lingkungan santri.

“Menulis itu mudah, karena menulis itu menerjemahkan yang bersemayam dalam pikiran, gagasan dan yang hilir mudik dalam pandangan menjadi karya tulis. Padahal siapa saja memiliki sesuatu yang hendak dinyatakan, “we have something to say”, tutur Mas Ragil, memompa semangat santri.

Ustadz Ali Musthofa meyakini betapa tingginya makna kemampuan menulis dan membuat karya tulis. Sehingga muncullah kredo miliknya yang populer dan banyak dijadikan sandaran, “Wala tamutunna illa waantum katibun”!


*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen