13164195_1213455852012892_4714430818332439914_nOleh: Hilmi Abedillah*)

“Tidak ada peradaban yang bangkit jika peradaban itu tidak bangga pada dirinya,” kata Muhammad Asad dalam Islam at The Crossroad.

Indonesia Sudah Merdeka?

Jika menilik sejarah, dua hal yang berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah kelahiran organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Konon, bangsa Indonesia dikekang oleh penjajah selama lebih dari 350 tahun. Sungguh waktu yang lama hingga bisa menghabiskan tiga generasi.

Sebelum itu, bangsa Indonesia berperang melawan penjajah tanpa persatuan. Satu kelompok menyerang di suatu tempat, kelompok lain bertempur di tempat lain. Seakan-akan setiap daerah ingin membebaskan dirinya sendiri-sendiri. Tidak ada kesadaran untuk membuat bambu runcing persatuan yang bisa menerabas seluruh penjajah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baru pada awal 1900-an, kesadaran bahwa bangsa Indonesia sedang dijajah muncul. Akhirnya, pergerakan dilakukan secara terorganisir. Bangsa Indonesia, senasib seperjuangan bersama-sama bersatu mengusir penjajah yang akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945. Lamanya perjuangan dilalui dengan penuh tumpah darah di daerah-daerah.

Kini, apakah Indonesia masih merdeka?

Sejak dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Soekarno, Indonesia mulai mengukir peradaban di era kemerdekaan. Banyak prestasi yang dicapai, banyak pula hal-hal yang masih membuat kita sedih.

Indonesia tetaplah merdeka secara de facto, secara resmi. Banyak pula yang bilang Indonesia tidak sedang merdeka. Penjajah masih berdiam di negeri permai ini. Menjelma sebagai wujud yang lain: pembodohan, kejahatan, kemiskinan, dan segala hal yang membuat kita terjerat.

Bentuk Penjajahan Masa Kini

Apakah hal-hal tersebut bagian dari penjajahan? Kita tentu setuju dan tidak menolak. Orang kaya dan terkenal berujar, dan tiada fans yang menolak. Itulah bagian dari penjajahan. Seorang bocah diperkosa dan dibunuh oleh sekerumun pemuda. Itulah bagian dari penjajahan. Tetangga bekerja seharian namun tiada bayaran yang cukup untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Itulah bagian dari penjajahan. Siswa mencotek saat Ujian Nasional. Itupun bagian dari penjajahan.

Beberapa penjajahan masih kita rasakan sedemikian rupa yang membuat kita prihatin. Masing-masing orang tidak betah dengan kehidupannya yang sekarang. Ingin menjadi manusia yang bebas. Bebas bersuara, bebas bergerak, dan bebas berbuat apa saja.

Kita selalu ingin keluar dari penjara penjajahan yang tersebutkan di atas. Tiada yang bilang semua itu kenyamanan yang bisa membuat hidup kita bertambah baik. Siapa sih yang tidak ingin bebas dari pembodohan, kejahatan, dan kemiskinan?

Daur Ulang Kebangkitan Nasional

Harus ada kebangkitan nasional lagi, jika kita memandang semua penjajahan adalah kekangan. Karena mungkin saja, penjajah itu adalah apapun yang kita banggakan. Dan kita tidak menyadari.

Hal terpenting adalah menyadari. Sebagaimana yang telah terjadi pada pejuang kebangkitan nasional yang telah lalu. Bila tidak ada kesadaran, kita tak akan merdeka. Bila tidak ada kesadaran, kita hanyalah babi yang mengunyah-ngunyah kotorannya sendiri tanpa menyadari bahwa itu kotor. Apabila babi mampu menyadari, merefleksikan diri, dan mengevaluasi, tentu hidup mereka tidak akan sama dengan kehidupan pendahulunya. Mungkin mereka bisa hidup lebih bersih daripada kucing rumahan.

Setelah berakhirnya perang dingin, kira-kira ada 8 peradaban di bumi ini yang masih eksis, yaitu peradaban Islam, Barat, China, India, Rusia, Afrika, Latin, dan Jepang. Perdaban Indonesia sendiri tidak memiliki kewibawaan di mata dunia, kecuali membonceng Islam. Seluruh peradaban bersaing untuk menjadi yang terdepan dan menguasai dunia. Misalnya dalam bahasa, sekarang Bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional yang digunakan untuk berkomunikasi, apabila seseorang tidak memahami bahasa lawan bicaranya. Dari segi teknologi, mungkin Amerika Serikat sedang menguasai. Dari segi religiusitas, dari segi intelektualitas, dari segi sejarah, dan entah dari segi apalagi. Dan Indonesia, bisakah menjadi kiblat untuk salah satu (saja) dari segi-segi itu?

“Tidak ada peradaban yang bangkit jika peradaban itu tidak bangga pada dirinya,” kata Muhammad Asad. Penjajahan yang semakin kompleks harus kita sadari. Kita tidak boleh lengah dan terpana dengan peradaban yang diimpor dari luar negeri. Apapun yang terjadi, orang Indonesia harus tetap bangga dengan Indonesianya.

Kehilangan Jati Diri

Sayup-sayup kita dengar, seorang pembaca berita lebih suka memilih kata “kapabilitas” daripada “kemampuan”. Universitas dan lembaga-lembaga lebih bangga merayakan dies natalis daripada ulang tahun atau hari jadi. Belum hilang di ingatan kita saat Timnas Indonesia bertanding melawan Timnas Belanda, dan entah mengapa ada banyak sekali warga Indonesia yang mendukung Belanda. Padahal Belanda juga mantan penjajah negeri ini.

Sebagian kekayaan Indonesia telah digelapkan oleh penjajah masa lalu. Untung saja, kita masih bisa melihat dan mempelajari sejarah peradaban Indonesia ketika masih jaya. Namun, apakah kita masih melihat, orang-orang bersarung batik dan mengenakan blangkon melintas di jalan raya? Apakah kalian masih menemukan orang tua yang menakut-nakuti anaknya dengan wewe gombel di waktu maghrib?

Kini perayaan tahunan kita bertambah banyak, dengan adanya setoran dari luar negeri. Saat kita masih kecil dulu, pasti tak ada perayaan yang bernama hari Valentine, malam Halloween, ataupun April Mop. Perayaan semacam itu justru bisa menasional dengan dibantu publikasi oleh media massa. Sampai-sampai anak kecil kita bisa mengingat tanggal berapa hari Valentine dirayakan. Membandingi itu, justru perayaan-perayaan seperti sedekah bumi, sekaten, grebeg, atau mungkin pagelaran reog yang sama seramnya dengan halloween tidak pernah menjadi perayaan nasional. Padahal semua itu jelas-jelas milik kita sendiri.

Oleh karena itu, bisa dikatakan kalau peradaban Indonesia masih sulit menguasai dunia, kendati Bahasa Indonesia telah dipakai sebagai bahasa resmi ASEAN. Jika bangsa Indonesia tidak bangga dengan apa yang mereka miliki, budaya mereka sendiri, tetapi malah lebih memilih budaya yang kini sedang berkuasa, maka sama saja kita sedang berteman dengan penjajah kita sendiri. Masih bisakah kita bangkit?


*) Mahasantri Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari