Oleh: Yuniar Indra*

Hari Kesehatan Nasional (HKN) diperingati setiap tanggal 12 November. HKN diawali oleh oleh Presiden Soekarno saat menyemprotkan insektisida dichlorodiphenyl trichloroethane (DDT) pada 12 November 1959 di desa Kalasan, Yogyakarta. Insektisida tersebutu digunakan untuk mengatasi dan mencegah Malaria yang menjadi fokus kesehatan waktu itu. Tahun 2022 ini sudah yang ke-58 diperingati HKN dengan tema “Bangkit Indonesiaku Sehat Negeriku”. (Opini Kompas, 12/11/22)

Peringatan HKN ini dapat menjadi ajang peningkatan Indeks Ketahanan Kesehatan Global (IKKG). Yoyok Bekti Prasetyo dalam opininya di Kompas menyebutkan ada enam pilar yang diperlukan untuk transformasi kesehatan, yakni pencegahan, deteksi dan pelaporan, kecepatan merespons, sistem kesehatan, pemenuhan terhadap standar nasional, dan risiko lingkungan. Enam hal itu merupakan penilaian yang digunakan untuk mengukur Indeks Ketahanan Kesehatan Global (IKKG). Di tahun 2021 angka IKKG Indonesia adalah 50,4, peringkat ke-13 antara negara G20.

Global sudah mencanangkan peningkatan kualitas kesehatan dunia sejak usai Word War II. Setidaknya ada tiga tonggak penting dalam upaya tersebut, yaitu Kesehatan untuk Semua (Health for All/HFA) tahun 1978-2000. “People everywhere, including top-level political and spiritual leaders, from north and south, east and west, are acknowledging over and above all their differences that health is good for all people and essential for human progress; that there is both economic value and social justice in health. Surely we must all recognise that health is not everything, but that there is nothing without health. In the interest of the human race there must be Health for All and All for Health”[1]. Begitu kata dr. Halfdan Mahler Director-Pimpinan World Health Organization dalam majalah WHO tahun 1998.

Dilanjutkan dengan MDGs (Millenials Development Goals) tahun 2000-2015 dan SDGs (Suistainable Development Goals) tahun 2015-2030. Gol MDGs bidang kesehatan waktu itu ialah menurunkan angka kematian anak, meningkatnya kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria serta penyakit menular lainnya. Sementara gol SDGs di bidang kesehatan adalah Zero Hunger (Nol kasus kelaparan), Good Health and Well-Being (Peningkatan Kesehatan dan Kesejahteraan) memastikan kesehatan hidup dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua pada semua usia, dan Clean Water and Sanitation (Air bersih dan sanitasi).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di atas adalah beberapa upaya pengembangan dan peningkatan kesehatan secara global. Lalu apakah upaya meningkatkan kesehatan itu baru dilakukan setelah perang dunia? Tentu tidak. Upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, termasuk oleh Dinasti-dinasti Islam sejak abad ke-7 M. Salah satu usaha dalam bidang kesehatan yang sudah tersistem diprakarsai oleh Khalifah Al-Walid ibn Abd Malik-Dinasti Umayyah dengan nama Bimaristan pada tahun 706 M. Bimaristan merupakan bentuk dari bahasa Persia, “Bimar” berarti sakit, “Satan” berarti tempat.

Sejarawan Islam Ahmad Isa Beik dalam Al-Bimaristan fi al-Islam mengatakan bahwa sebenarnya model rumah sakit atau Bimaristan sudah ada sejak zaman Nabi. Yakni ketika Sa’ad ibn Mua’dz terluka usai perang Khandaq. Muhammad SAW mendirikan tenda di dekat masjid dan meminta Rufaidah merawat Sa’ad ibn Mu’adz. Jadi dapat dikatakan tenda Rufaidah merupakan rumah sakit pertama dalam sejarah Islam.

Bimaristan mulai menjadi perhatian serius dan dikembangakan mulai sejak dinasti Islam usai wafatnya Rasul. Yang paling besar dan masyhur adalah Bimaristan Jundaisabur yang berdiri selama 3 abad. Letaknya di kota Jundaisabur, Khuzistan (dekat Baghdad). Kebesaran nama Bimaristan Jundaisabur sangat tinggi dalam sejarah Islam, sebab dari sana banyak memunculkan dokter-dokter, serta awal mula perkembangan ilmu kedokteran daerah jazirah Arab setelah itu.

Ahmad ibn Thulun juga mendirikan Bimaristan di Mesir, dan rumah sakit itu menjadi yang pertama di Mesir. Dengan nama Bimaristan Al-‘Atiq, Bimaristan tersebut terletak di Fustath sejak tahun 872 M. Selain itu di Mesir juga terdapat beberapa Bimaristan, yaitu Zaqaqul Qanadil, Al-Ma’arif, Qasyasyin, Siqqityhin, Al-Nashiri, dan Iskandariyah.

Pada masa pemerintahan Mansur Al-Qalawun (kerajaan Mesir) tahun 1200-an ia membuat rumah sakit megah dengan berbagai macam fasilitas. Rumah sakit tersebut membedakan ruang pasien laki-laki dan perempuan, juga ruang perawat laki-laki dan perempuan, ruang perawatan jenazah, ruang operasi, ruang kepada rumah sakit, musalla, dan lain-lain.

Di Irak ada banyak Bimaristan yang didirikan. Yakni Bimaristan Al-Rasyid yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid pada tahun 786 M. Diikuti oleh wazirnya, Yahya ibn Khalid Barmakhi juga mendirikan Bimaristan[2].

Dan masih banyak lagi Bimaristan/Rumah Sakit yang dikembangkan ketika dinasti-dinasti Islam. Di sana selain terdapat fasilitas kesehatan juga menjadi tempat pendidikan bagi para dokter. Sehingga dalam Bimaristan dilengkap dengan tempat kuliah bagi mereka, sekaligus perpustakaan kedokteran.

Jadi upaya dalam bidang kesehatan telah menjadi fokus dalam Islam sejak era Dinasti Umayyah sejak abad ke-6 M, hingga jatuhnya pemerintahan Ottoman. Mereka mengembangkan falisitas kesehatan, kualitas pendidikan dokter, penanganan pasien, administrasi rumah sakit, dan sebagainya.


[1] Orang-orang di mana pun, termasuk para pemimpin politik dan spiritual tingkat atas, dari utara dan selatan, timur dan barat, mengakui di atas semua perbedaan mereka bahwa kesehatan itu baik untuk semua orang dan penting bagi kemajuan manusia; bahwa ada nilai ekonomi dan keadilan sosial dalam kesehatan. Tentunya kita semua harus menyadari bahwa kesehatan bukanlah segalanya, tetapi tidak ada apa-apa tanpa kesehatan. Demi kepentingan umat manusia harus ada Kesehatan untuk Semua dan Semua untuk Kesehatan.

[2] Ahmad Isa Beik, Al-Bimaristan fi al-Islam. Dar Ra’id Al-‘Araby-181. Hal 18


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari