Oleh: KH. Salahuddin Wahid*
Dalam sejarah bangsa Indonesia, Umat Islam dan tokohnya banyak melakukan tindakan yang berhasil menjaga persatuan Indonesia. Pertama saat para tokoh Islam menyetujui penghapusan 7 kata Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) ketika dibaritahu oleh Bung Hatta bahwa kaum Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan RI kalau sila pertama Pancasila tidak diubah.
Kedua adalah Resolusi Jihad pada Oktober 1945 yang mampu mendorong pemuda muslim di Jawa Timur untuk berjuang membantu tentara Indonesia menghadapi tentara sekutu. Ketiga, pada Nopember 1945 sejumlah kiai mengusulkan berdirinya Kementerian Agama yang kelak menjadi lembaga pemerintah yang memperkuat persatuan Indonesia.
Keempat, pada 1951 Menteri Agama dan Menteri Dikbud membuat nota kesepahaman untuk mendirikan madrasah sebagai nomenklatur baru dunia pendidikan Indonesia. Kelima, ketika Kartosuwiryo mendirikan DI/TII, tokoh-tokoh Islam memihak kepada RI. Seorang kiai diutus oleh PM Natsir untuk membujuk Kartosuwiryo supaya bersedia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Upaya itu gagal karena TNI tidak tahu bahwa ada upaya perdamaian, sehingga mereka menembak anggota TII.
Keenam, ketika PKI berontaj pada 1948 dan 1965, umat Islam berdiri sepenuhnya di belakang pemerintah. Ketujuh, tokoh-tokoh Islam berhasil meyakinkan Pak Harto supaya UU Perkawinan menerima ketentuan syariat Islam didalamnya. UU ini lalu diikuti oleh banyak UU yang menampung aspirasi umat Islam didalamnya. Ini memperkuat persatuan Indonesia. Kedelapan ialah keputusan Muktamar NU untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi ormas dan parpol di Indonesia.
Pada saat terjadi huru hara pada Mei 1998 di Jakarta, banyak warga Tionghoa yang dilindungi umat Islam. Dalam menangani konflik di Ambon, tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh Kristen di Jakarta bekerja sama untuk membantu mengakhiri konflik. Ketika terjadi peristiwa teror bom Bali, banyak tokoh Islam di sana membantu menyelamatkan korban.
Sejumlah contoh diatas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai modal sosial yang besar, berupa sikap toleran, gotong royong, penghormatan terhadap kebhinekaan, saling percaya, mudah bekerja sama, saling menghormati dll.
Menjelang pilgub DKI 2017 terjadi polarisasi dalam dua kubu. Yang menarik ialah dalam kedua kubu terdapat tokoh-tokoh Islam yang saling berhadapan. Kedua kubu saling menyerang, saling mengejek, saling memaki. Buya Syafii Maarif menulis bahwa ada sejumlah makian yang dilontarkan padanya karena dia membela Ahok secara terbuka. Daftar makian itu adalah: orang tua gila, pembela penista, si tua, sudah bau tanah, kecebong, koplaxx, antek, tai kucing, semakin tua semakin sesat, si pikun utek liberal, kerak neraka, tobat orang tua, makin tua makin kehilangan akal, agen PKI kedok ulama, ulama syu’, berbicaranya lantang tapi telinganya tuli dan pandangannya buta, intelek kok guoblok.
Menjelang pilpres, suasana gaduh dan bising itu kian menjadi. Hoaks menjadi makanan kita sehari-hari. Masyarakat dengan mudah tanpa berpikir, mengirim pesan yang mereka terima melalui twitter, WA atau Facebook. Mereka tidak berpikir untuk memeriksa terlebih dulu benar tidaknya pesan itu. Masyarakat tidak berpikir apakah pesan mereka menyinggung perasaan orang lain.
Hoaks paling banyak beredar melalui media sosial: twitter, WA, facebook dll. Tetapi banyak juga berita yg belum tentu benar disampaikan oleh tokoh masyarakat dalam ceramah atau pengajian yang oleh para hadirin dianggap benar. Ceramah tadi lalu disebarkan melalui media sosial. Misal ceramah oleh orang yang disebut sebagai Ahmad Dani yang mengatakan bahwa kini ada Nasakom baru yaitu kerja sama antara NU dengan PDIP yang banyak anggotanya adalah keturunan PKI. Berita ini spekulatif, tidak benar. Keturunan PKI kan bukan anggota PKI. Ini sama tidak benarnya dengan ceramah bahwa kalau Prabowo yang menang maka RI akan menjadi khilafah. Prabowo adalah letjen purnawirawan yang 25 tahun aktif sebagai anggota TNI. Tentu dia setia pada Pancasila. Benar bahwa mantan anggota HTI mendukung Prabowo. Tapi itu tidak berarti bahwa Prabowo pendukung gagasan khilafah.
Modal sosial kita ternyata kurang berdaya menghadapi hiruk pikuk dan sumpah serapah melalui medsos. Umat Islam terbelah, warga dan tokoh NU dan Muhammadiyah juga terbelah, tetapi hiruk pikuk di dalam kalangan NU seperti biasanya tentu lebih ramai dan terbuka dibanding konflik didalam Muhammadiyah. Persatuan Indonesia hanya bisa terwujud apabila umat Islam bersatu. Karena itu persatuan umat Islam dan persatuan tokoh Islam harus segera diwujudkan secara bertahap.
Terakhir saya akan bacakan Seruan Pilpres Damai dari para seniman yang tergabung dalam Jarungan Seniman Nusantara. Penerimaan pada keberagaman harus didasari pada pengakuan bahwa yang berbeda itu memiliki nilai yang sederajat dengan kebenaran “kita”. Dengan itu, maka yang berbeda bukanlah musuh yang harus dibasmi atau dikalahkan.
Semua pihak diharap mulai menghentikan tindakan fitnah, caci maki, saling tuduh, dan semacamnya yang menyebabkan perpecahan dan dendam tak berkesudahan diantara semua anak bangsa. Pihak-pihak yang sedang dalam posisi sebagai pengayom, pencerah dan teladan, ikut serta bertindak konkrit untuk meredam situasi perpecahan yang semakin mencemaskan ini, dan bukan malah ikut membakar semangat permusuhan.
Pihak-pihak yang saling berkompetisi, termasuk seluruh jaringan pendukungnya, ikut bertanggung jawab atas situasi yang memprihatinkan ini dan harus memikirkan dampak lanjutan yang berakibat buruk bagi bangsa ini. Jangan hanya karena demi kemenangan maka menghalalkan segala cara.
Kepada semua warga negara Indonesia di manapun berada yang memiliki hak pilih, sebaiknya memanfaatkan hak pilih tersebut sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, dimana kepala negara memiliki peran penting dalam kehidupan kita ke depan dalam berbagai sektor.
Kita berdoa semoga pasca pilpres kondisi pertentangan antar kelompok itu dapat secara bertahap diredam. Kita berharap modal sosial bangsa Indonesia dapat menyembuhkan luka sosial yang cukup parah itu. Diperlukan adanya sekelompok orang yang tidak ikut kedua kubu, yang muncul untuk mendekatkan kembali kedua kelompok yang saat ini bertentangan.
*Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.