Seorang santri Pesantren Tebuireng membaca Majalah Tebuireng di Perpus Pesantren dan disampaingnya ada buku Belajar dari Realitas karya KH. Salahuddin Wahid pengasuh pesantren antrian buku untuk dibaca selanjutnya.
Seorang santri Pesantren Tebuireng membaca Majalah Tebuireng di Perpus Pesantren dan disampaingnya ada buku Belajar dari Realitas karya KH. Salahuddin Wahid pengasuh pesantren antrian buku untuk dibaca selanjutnya.

JAKARTA, tebuireng.online– Minat membaca anak seharusnya sudah dibiasakan sejak dini didalam keluarganya. Minat baca juga akan tumbuh apabila orang tua memberikan teladan bukan sekedar menyuruh.

“Orang tua merupakan pendidik terpenting, tetapi seringkali tidak siap,” kata cendekiawan Anies Baswedan dalam acara pembukaan pecan buku Islami di Istora Senayan, Jakarta, seperti dilaporkan Harian Kompas Jumat (28/2). Acara itu turut dihadiri, memberikan sambutan ketua umum dewan masjid Indonesia Jusuf Kalla dan penasihat perdana mentri Malaysia Tan Sri Dr Rais Yatim.

Keluarga ataupun lingkungan sangat berpengaruh pada minat membaca seorang anak. Orang tua atau sebuah instansi pendidikan bisa menstimulasi minat baca anak dengan berlangganan koran, majalah atau menjadi anggota perpustakaan. Selain itu peran mereka juga sangat menentukan perkembangan minat baca anak karena sejatinya keluarga dan lingkunganlah yang membentuk kepribadian seorang anak.

Toko-toko buku dan penerbit seyogianya mengajak para orang tua lebih aktif menanamkan minat baca kepada anak-anak mereka.

Anis mengatakan minat baca di Indonesia masih lemah secara umum. Padahal alat untuk kemajuan bangsa adalah masyarakat yang gemar membaca. “Kita jangan mengagungkan kekayaan alam saja tetapi juga harus memberdayakan kualitas manusia Indonesia,” ujarnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jusuf Kalla menyampaikan hal serupa, “Orang berilmu adalah orang mulia. Jika bangsa Indonesia ingin maju, kita harus banyak membaca.”

Kurangnya minat membaca ditunjukkan hasil survey berkala di 41 negara oleh organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (EOCD) yang mengambil sampel pelajar berusia 15 tahun. Indonesia berada diposisi kedua terbawah bersama Tunisia.

“Anak balita Indonesia tidak dibiasakan membaca. Anak-anak mulai mnyentuh buku ketika masuk SD. Itupun buku pelajaran yang rumit. Ahirnya mereka takut kepada buku,” kata ketua Ikatan Penerbit Indonesia Cabang DKI Jakarta E Afrizal Sinaro. Padahal buku-buku bersifat permainan untuk anak usia 0-7 tahun tersedia di pasaran.

Dikalangan masyarakat Indonesia, buku-buku ilmu pengetahuan, filsafat, biografi tokoh, dan sastra tidak memiliki banyak pembeli. “Buku yang laku biasanya buku rohani yang ringan seperti petunjuk membina rumah tangga atau cara mencapai hidup bahagia,” kata ketua IKAPI Pusat Lucya Andam Dewi.

Dalam kesempatan lain Pengasuh Pesantren Tebuireng KH. Salahuddin Wahid menyampaikan bahwa dari empat keterampilan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis hanya kedua pertama yang sering dilakukan bangsa kita. “Kita belum sampai pada keterampilan membaca apalagi menulis.”

Di Tebuireng keempat keterampilan itu benar-benar diasah secara seimbang. Berbagai fasilitas membaca ditingkatkan kualitasnya, perpustakaan mengadakan kegiatan rutin dan bisa diakses lebih lama.

Bulan Februari ini Keluarga Besar Pesantren Tebuireng akan menyelenggarakan Sekolah Menulis untuk para mahasiswa dan guru. Sebelumnya pelatihan serupa sudah siadakan secara berkala sejak beberapa tahun lalu.(AUL/A15)