Untuk membahas masalah ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan hal-hal yang terkait dengan “Maqaashid Asy-Syairi’ah” (tujuan pokok ajaran Islam), yakni terwujudnya “Ald-Dlaruuriyaat Al-Khams” (lima hak asasi): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (hak Beragama, hidup, berpendapat, reproduksi, dan memilik). Jika eksistensi kelima hak tersebut terancam , maka untuk mempertahankanya boleh ditempuh “hampir” segala cara, sampai kalaupun harus melanggar hal-hal yang dilarang , karenadia anggap dalam keadaan darurat. Hal ini didasrkan pada banyak dalil dan kaidah fiqhiyah, anatara lain firman allah dalam surat al-baqarah ayat 173. Dan kaidah fiqh yang populer “keadaan dharurat itu menyebabkan bolehnya dilakukan hal-hal yang dilarang”.
Nah terkait dengan terapi/berobat memakai darah atau produk olahan berbahan darah, maka hal ini dapat dikaitkan dengan eksistensi jiwa(nyawa), artinya orang yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karena itu harus berobat/terapi sebagai upaya penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi jiwanya. Maka dari itu para ulama sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib. Mengenai cara yang ditempuh pengobatan suatu penyakit, maka boleh dengan cara apa saja asal tidak melanggar ketentuan pokok ajaran Islam, yakni tidak menempuh jalan syirik.
Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua Muslim mengerti dan pada dasarnya harus menyakini bahwa nabi Saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT. menurunkan penyakit dan obatnya. Dan menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka berobatlah kamu tetapi jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi ). Jadi, prinsip ini yang harus dipedomani terlebih dahulu. Tetapi jika ternyata ada penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan baru diketahui “obat” yang justru dari barang haram, maka hal ini tentu masuk kategori perkecualian. Kebebasan cara tersebut tentu harus dengan tetap mematuhi prosedur pengobatan yang secara medis di anggap wajar.
Artinya, siapapun muslim yang sakit maka harus berobat dengan acara-cara yang halal menurut ketentuan ajaran Islam. Tetapi apabila berbagai cara yang halal menurut ketentuan Islam. Tetapi apabila berbagai cara yang halal sudah ditempuh dan ternyata belum sembuh juga, maka jiak ada acara lain yang diyakini dapat menjadi perantara kesembuhanya, walaupun cara itu haram seperti memakai darah maka diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa ada seseorang yang sakit pada zaman nabi SAW diperbolehkan meminum air kencing onta sebagai obat (HR. Ahmad dan Abu Daud), padahal dalam keadaan normal kencing onta itu jelas aharam diminum. Juga didasarkan pada kaidah fiqhiyah diatas.
Tetapi jika penggunaan darah itu untuk “suplemen” atau “penyegar kondisi tubuh” dan sejenisnya sekedar mencegah penuan atau berhias, maka jelas tidak diperkenankan karena tidak termasuk dalam kondisi dharurat. Jadi jelasnya hanya keadaan daruratlah yang dapat “menghalalkan” sesuatu yang mestinya diharamkan. Walaupun andai suatu waktu ada penelitian akurat, bahwa darah amat bermanfaat bagi kesehatan, maka menurut saya hukumnya tetap haram karena keharaman darah itu seberat dan seketat haramnya khmar, bangkai dan babi.
Memang bagi fuqaha’ yang menjadikan berhias (termasuk mencegah penuan dini) itu sebagai masalah khajiiyaat (kebutuhan penunjang/skunder) dapat menggunakan kaidah fiqhiyah: “al-Khajaatu Tanzilu Manzilatadl Dlaruurah” (kebutuhan penunjang itu dapat menduduki kebutuhan pokok; tegasnya keperluan penting itu dapat juga dianggap darurat) sehingga berhias dapat disejajarkan dengan berobat. Jika paradigma ini yang dipakai, maka memakai “suplemen” dan sejenisnyayang terbuat dari darah dapat diperbolehkan.
Tetapi menurut saya “suplemen” dan sejeninya itu tetaplah masuk kategori tachsiiniyat (kebutuhan pelengkap/tersier), bukan chajiiyaat (kebutuhan penunjang/ sekunder) apalagi dlaruuriiyat (kebutuhan pokok), sehingga tidak diterapkan ke 2 kaidah fiqh diatas. Karena itu bahan baku maupun pelengkap produk “suplemen” dan sejenisnya haruslah suci dan halal. Dengan demikian penggunaan darah atau produk olahan berbahan darah hukumnya adalah haram, kecuali jika penggunaanya berdimensi pengobatan karena darurat. Wallahu a’lam.
Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA. Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Fiqh Majalah Tebuireng