Salah satu aktivitas perempuan adalah belajar dan berdiskusi.

Jujur saja, setiap kali menyaksikan perdebatan tentang tubuh perempuan dalam Islam, hati saya selalu dipenuhi rasa gundah. Seperti ada pergulatan yang tak berkesudahan, di mana aturan berpakaian, aurat, dan peran gender terus diperdebatkan. Fatwa-fatwa keagamaan, alih-alih memberi pencerahan, malah seringkali terasa seperti sebuah kekuasaan yang mendikte dan membatasi kehidupan perempuan. 

Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang pantas menentukan bagaimana seorang perempuan harus mengelola tubuhnya sendiri? Apakah hak mereka untuk memilih dan mengambil keputusan harus dirampas atas nama dogma dan interpretasi yang bias?

Saya ingin mengajak Anda menelusuri perdebatan rumit seputar tubuh perempuan dan fatwa ini. Bersama-sama, kita akan menguji otoritas keagamaan, menggali makna agensi perempuan, dan mencari perspektif yang lebih adil serta berimbang. Mari kita bedah isu ini, menyingkap ketidakadilan yang tersembunyi, dan merintis jalan menuju pembebasan.

Fatwa: Petunjuk atau Sangkar? 

Dalam pandangan saya, fatwa seharusnya menjadi petunjuk jalan, bukan vonis. Ia selayaknya menjadi penerang, bukan penjara yang membatasi ruang gerak. Namun, realitas acap kali berbeda. Banyak fatwa yang justru mengurung perempuan dalam jeruji dogma, alih-alih membebaskan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Proses pembuatan fatwa seringkali didominasi oleh perspektif laki-laki. Suara perempuan, aspirasi, dan pengalaman hidup mereka seolah diabaikan. Akibatnya, fatwa-fatwa yang dihasilkan cenderung bias gender dan melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan.

Sebagai contoh, fatwa yang membolehkan poligami tanpa syarat yang ketat, jelas merugikan perempuan. Fatwa ini mengabaikan dampak psikologis yang dialami perempuan akibat poligami, seperti rasa cemburu, ketidakamanan, dan kehilangan harga diri. Belum lagi fatwa yang membatasi kesaksian perempuan dalam persidangan, misalnya dalam kasus pemerkosaan, di mana kesaksian perempuan seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan kesaksian laki-laki.

Di samping itu, ada pula fatwa yang mewajibkan izin suami bagi perempuan yang ingin bekerja atau bepergian, yang membatasi kemandirian dan kebebasan perempuan. Fatwa-fatwa semacam ini jelas membatasi hak-hak perempuan dan menempatkan mereka pada posisi subordinat terhadap laki-laki.

Padahal, otoritas keagamaan, meski memiliki peran penting dalam membimbing umat, bukanlah tanpa batas. Ijtihad, sebagai upaya untuk menafsirkan secara independen, seharusnya membuka peluang bagi lahirnya fatwa-fatwa progresif yang berpihak pada keadilan.

Sayangnya, ijtihad seringkali terhalang oleh tembok kokoh tradisi dan interpretasi literal. Banyak ulama yang enggan keluar dari zona nyaman karena takut dicap “liberal” atau “sesat”. Alhasil, fatwa-fatwa yang dihasilkan cenderung stagnan dan tidak responsif terhadap perkembangan zaman.

Oleh karena itu, kita membutuhkan ulama-ulama perempuan yang berani dan berwibawa untuk menafsirkan teks-teks agama dengan perspektif yang lebih adil. Suara mereka sangat penting untuk menyeimbangkan wacana keagamaan yang selama ini didominasi oleh perspektif laki-laki.

Lebih jauh lagi, menurut hemat saya, kajian-kajian kontemporer, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi, perlu diintegrasikan dalam proses ijtihad. Dengan demikian, fatwa-fatwa yang dihasilkan akan lebih relevan dengan konteks sosial dan kebutuhan zaman.

Tubuh Perempuan: Arena Perebutan Makna 

Tubuh perempuan, sejak zaman dahulu, selalu menjadi arena perebutan makna dan kekuasaan. Ia direduksi menjadi objek, simbol, dan alat untuk melanggengkan dominasi. Fatwa-fatwa yang mengatur tubuh perempuan, baik yang berkaitan dengan pakaian, aurat, maupun peran gender, seringkali menjadi instrumen untuk mengontrol dan mengekang.

Saya teringat akan kisah seorang perempuan muda yang dipaksa menikah di usia belia karena sebuah fatwa yang menyatakan bahwa perempuan yang telah dewasa secara fisik dianggap siap untuk menikah. Haknya untuk mengenyam pendidikan, mengejar cita-cita, dan menentukan masa depannya sendiri dirampas begitu saja.

Kasus seperti ini bukanlah kejadian langka. Di berbagai belahan dunia, perempuan masih terbelenggu oleh fatwa-fatwa diskriminatif yang merampas hak-hak dasarnya. Fatwa yang mewajibkan perempuan untuk menutup aurat secara ketat, misalnya, seringkali menjadi alat untuk membatasi ruang gerak mereka di ruang publik.

Di balik fatwa-fatwa tersebut, tersembunyi ketakutan terhadap seksualitas perempuan. Tubuh perempuan dianggap sebagai sumber fitnah dan godaan yang harus dikontrol dan disembunyikan. Pandangan ini jelas merendahkan martabat perempuan dan mengabaikan potensi mereka sebagai manusia seutuhnya.

Saya meyakini bahwa setiap perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri, termasuk dalam hal yang berkaitan dengan tubuhnya. Agensi perempuan, yaitu kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara mandiri, harus dijunjung tinggi. 

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, seharusnya memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri, bebas dari kungkungan patriarki.

Baca Juga: Perempuan dan Semua Rahasia Kemuliaan yang Allah Berikan

Media: Antara Sensasi dan Edukasi 

Di era digital ini, media memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk opini publik. Media dapat menjadi corong untuk menyebarkan fatwa-fatwa progresif, tetapi juga bisa menjadi alat untuk menyebarkan interpretasi patriarkal.

Kita sering menyaksikan bagaimana media terjebak dalam sensasionalisme dan bias gender. Fatwa-fatwa kontroversial, terutama yang berkaitan dengan tubuh perempuan, acap kali dieksploitasi untuk menarik perhatian publik. Hal ini justru dapat memperkeruh suasana dan menghambat dialog yang konstruktif.

Namun, di sisi lain, media juga dapat berperan sebagai platform untuk mengkampanyekan kesetaraan gender dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Saya mengapresiasi media-media yang berani menyuarakan kebenaran, mengkritik ketidakadilan, dan memberi ruang bagi perempuan untuk bersuara.

Baca Juga: Agar Tidak Salah Kaprah, Baca Pemahaman Kesetaraan Gender

Media memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang isu tubuh perempuan dan fatwa. Media dapat membantu publik untuk memahami kompleksitas isu ini, mendekonstruksi stereotip gender, dan mendorong dialog yang konstruktif.

Sayangnya, tidak semua media memiliki keberanian dan integritas untuk menyuarakan kebenaran. Banyak media yang justru ikut memperkuat stereotip gender dan melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan.

Oleh karena itu, kita perlu mendorong media untuk lebih bertanggung jawab dalam memberitakan isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Media harus menghindari sensasionalisme dan bias gender, serta memberi ruang yang lebih luas bagi suara perempuan.

Merajut Keadilan, Merangkul Kemanusiaan 

Isu tubuh perempuan dan fatwa merupakan isu yang kompleks dan multidimensional. Isu ini menuntut kita untuk berpikir kritis, menjauhi fanatisme, dan merangkul nilai-nilai kemanusiaan.

Saya memimpikan hari di mana fatwa-fatwa keagamaan tidak lagi menjadi alat untuk menindas perempuan, melainkan menjadi panduan yang membebaskan. Hari di mana perempuan dan laki-laki hidup berdampingan dalam kesetaraan, saling menghormati, dan menghargai.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, kita perlu membangun dialog yang konstruktif antara ulama, feminis, dan media. Kita perlu mengkaji ulang interpretasi-interpretasi patriarkal, menggali nilai-nilai keadilan dalam Islam, dan menciptakan wacana keagamaan yang inklusif.

Dialog ini harus melibatkan semua pihak, termasuk perempuan. Suara perempuan harus didengar dan dihargai. Pengalaman hidup, aspirasi, dan perspektif mereka harus menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan.

Penguatan pendidikan tentang gender dan kesetaraan juga merupakan hal yang krusial. Pendidikan dapat membantu kita memahami akar dari ketidakadilan gender, mendekonstruksi stereotip, dan membangun kesadaran akan pentingnya kesetaraan.

Baca Juga: Al-Qur’an Mengakui Kesetaraan Gender

Pendidikan ini harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Anak-anak perlu diajarkan tentang nilai-nilai kesetaraan, menghormati perbedaan, dan menolak segala bentuk diskriminasi.

Ada yang mungkin berpendapat, “Untuk apa membahas hal ini? Lebih baik fokus beribadah saja.” Namun bagi saya, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan juga merupakan bagian dari ibadah. Kita diajarkan untuk menjadi manusia yang adil dan berakhlak mulia.

Menuju Fajar Baru 

Perjalanan menuju keadilan gender memang masih panjang dan penuh tantangan. Namun, saya optimistis. Semakin banyak perempuan yang berani bersuara, semakin banyak ulama yang terbuka terhadap gagasan kesetaraan, dan semakin banyak media yang berpihak pada kebenaran.

Saya percaya Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam mewujudkan keadilan gender. Mari kita bersama-sama bergandengan tangan, merangkul nilai-nilai kemanusiaan, dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.



Penulis: Fadhel Fikri, Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu


Referensi: Wadud, Aminah. Quran Menurut Perempuan : Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1999.
Barlas, Asma. Cara Quran membebaskan perempuan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.