sumber : islami.co

Oleh: Achmad Fathurrohman Rustandi

Logika Gender dan Sistem yang Dihasilkannya

Gender terkadang disalahpahami sebagai jenis kelamin. Padahal gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial dan kultural dalam waktu yang sangat panjang, yang akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang hakiki. Seperti anggapan perempuan lemah lembut dan emosional lalu laki-laki kuat dan rasional. Sedangkan jenis kelamin adalah pemberian Tuhan secara kodrati secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Gender sebagai perspektif harus memiliki landasan yang sangat kuat untuk menjadi sebuah wacana dan ilmu. Untuk itu perlu mengemukakan argumentasi yang kukuh dan komprehensif dari nas agama Islam. Bagaimana al-Qur’an memandang gender. Dan bagaimana para mufasir melihat persoalan gender. Bahasa Arab yang sangat membedakan gender yang mendistingsi antara mudzakar (laki-laki) dan muannats (perempuan), dalam seluruh konsep linguistiknya, ternyata tidak selalu ekuivalen terhadap kesadaran gender masyarakatnya.

Pada masa pra-Islam, laki-laki dan perempuan secara moral dianggap tidak sama. Perempuan dianggap sebagai lawan laki-laki yang lebih sempurna. Akhirnya laki-laki memiliki kuasa lebih untuk mendefinisikan yang layak bagi perempuan. Dalam waktu yang panjang logika berpikir gender seperti ini menjadi mapan dalam pikiran umat Islam. Cara berpikir ini sangat memengaruhi dalam produksi dan reproduksi tafsir yang terkait perempuan di dalam al-Qur’an dan pemilihan secara selektif Hadis.[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Farid Esack beranggapan bahwa al-Qur’an memperlakukan dan memberi ganjaran secara setara kepada laki-laki dan perempuan dalam masalah etika agama, tetapi akan tampak diskrimintif kepada perempuan ketika dalam urusan kewajiban hukum dan sosial.[2] Dari sini kita bisa menganalisis apakah berbagai diskriminasi politik, hukum, dan sosial kepada perempuan dalam masyarakat Muslim adalah prinsip universal ataukah merupakan akibat dari partikularisme yang terlalu banyak. Al-Qur’an diyakini egaliter terhadap gender, tetapi tafsirnya yang terkadang tidak egaliter gender.

Ayat al-Qur’an yang diyakini sebagai mendukung kesetaraan gender di antaranya adalah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. Al-Nisa [4]: 1)

إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 35)

قُلۡ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِي رَبّٗا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيۡءٖۚ وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرۡجِعُكُمۡ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS. Al-An’am [6]: 164)

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)

Prof. Etin Anwar dari ayat-ayat di atas menyimpulkan bahwa: Laki-laki dan perempuan berdasarkan kepada keberadaan di dunia adalah sama-sama makhluk Allah Swt. Keduanya sebagai pribadi dan anggota masyarakat, dan hamba Allah wajib saling menghormati. Keduanya akan menerima balasan sesuai amalnya. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk menebar kebaikan dan mencegah kemungkaran. Keduanya sebagai manusia, mitra, anggota masyarakat dan hamba Allah harus menjaga hak masing-masing agar mendapat pahala di akhirat kelak.[3]

Dari argumentasi ini menjadi dasar bagi manusia untuk memperlakukan orang lain secara setara, tidak mendiskriminasi orang lain karena perbedaan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Seperti ada kesenjangan antara yang diidealkan oleh al-Qur’an dengan realita di masyarakat. Sebagai contoh perbandingan status seorang janda dan duda sangat terasa berbeda. Janda memiliki tekanan yang lebih besar dari duda. Ketika seorang janda berdandan dianggap salah ketika tidak pun bisa jadi tetap salah. Keluar malam untuk bekerja dianggap salah, diam saja di rumah juga salah karena harus mencukupi kebutuhan hidupnya. Berbeda jika duda yang melakukan perbuatan tersebut akan dianggap normal saja.

Pembedaan sikap seperti di atas terkadang menggunakan basis argumentasi agama untuk menguatkan klaimnya. Bagi sebagian orang, perempuan diandaikan sebagai subordinasi dari laki-laki, dari tulang rusuk Nabi Adam a.s., karena tercipta dari diri Nabi Adam a.s. (laki-laki) maka perempuan adalah bukan manusia utuh seperti laki-laki, ia menjadi bagian dari laki-laki, konsekuensi logisnya adalah perempuan harus tunduk mutlak kepada laki-laki yang dianggap memiliki otoritas mutlak dalam tatanan sosial, masyarakat, dan keagamaan. Dalam konteks keagamaan, perempuan hanya dianggap setengah dari laki-laki, seperti dalam hal saksi, waris, aurat, dll. Pemahaman atas gender menjadi penting dikaji untuk memberikan pemahaman komprehensif bahwa perempuan sama sebagai makhluk Tuhan, yang hanya wajib tunduk secara mutlak kepada Tuhan.  Tidak ada ketundukan mutlak kepada selain Tuhan. Al-Qur’an memberikan pesan bahwa perempuan bukan hamba laki-laki, sebab keduanya adalah hamba Allah Swt. Laki-laki bukanlah patron perempuan karena keduanya adalah khalifah fil ardh.[4]

Memang ada perbedaan biologis dan reproduksi antara laki-laki dan perempuan. Ada hal yang dialami perempuan tetapi tidak dialami oleh laki-laki seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas. Namun, perbedaan sistem reproduksi tidak otomatis menunjukkan superioritas laki-laki. Sejarah sudah lama mendiskriminasi perempuan, yang akhirnya melahirkan gerakan feminisme. Hak semua orang untuk membela hak-haknya, termasuk perempuan berhak mengangkat martabatnya. Namun, perlu hati-hati memperjuangkan hak-hak perempuan dengan gaya feminisme Barat itu bisa bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia. Di Indonesia hari ini banyak sekali gerbong feminisme yang menyuarakan kesetaraan gender. Perlu diapresiasi sekaligus dikuatkan dengan ilmu pengetahuan yang memadai agar tetap memiliki akar argumentasi yang kukuh.

Partisipasi Perempuan di Ruang Publik

Perempuan sebagai makhluk Allah Swt. mengalami banyak tantangan yang tidak mudah ketika ingin berkarya di ruang publik. Hal yang dianggap biasa saja dilakukan oleh laki-laki terkadang menjadi masalah ketika dilakukan oleh perempuan. Sampai hari ini banyak sekali narasi yang mendeskripsikan bahwa perempuan adalah sumber fitnah, sumber khalwat, aurat, tidak boleh memakai parfum, harus ada mahram, shalat terbaiknya di rumah, jihadnya di dalam rumah, dan larangan memimpin negara. Hampir seluruh argumentasi yang disampaikan dalam narasi ini adalah dari al-Qur’an dan Hadis.

Umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam agama Islam. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, bukan makhluk, kontennya pasti benar dan tidak mungkin ada kekeliruan di dalamnya.[5] Namun, tafsir dan pemahaman seseorang atas teks keagamaan tidaklah absolut, kebenaran tafsir selalu relatif. Teks keagamaan pasti adil, tetapi pemahaman atas teks bisa jadi tidak adil, tergantung kacamata yang digunakan oleh seorang penafsir. Seperti dalam urusan partisipasi perempuan di ruang publik terkadang dipersulit bahkan dilarang dengan menggunakan argumentasi teks. Padahal menjadi keyakinan umat Islam, bahwa syariat fondasi dan dasarnya adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat adil, rahmat, dan kebijaksanaan seluruhnya. Kalau hal itu keluar dari keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan, maka bisa dipastikan itu bukanlah syariat.[6] Ibnu Qayyim memberikan standar yang jelas tentang syariah. Kalau sebuah aturan keluar dari keadilan, kebijaksanaan, dan welas asih kepada semua manusia, baik perempuan maupun laki-laki, maka itu bukan syariah.

Dalam membaca teks keagamaan, pembaca dan penafsir bisa memiliki pilihan untuk memaknai teks tersebut apakah mau menguatkan, menyejahterakan, meneduhkan, dan mendamaikan atau mau sebaliknya, tergantung bagaimana memaknai teks. Misalnya dalam masalah larangan khalwat dengan perempuan, aurat perempuan, dan perempuan sebagai fitnah. Kalau mau dipahami bahwa perempuan seperti itu bisa. Namun, perlu diingat bahwa ada atau tidak ada perempuan, setan akan tetap ada untuk menggoda, dan semua manusia memiliki potensi baik dan buruk. Dalam masalah khalwat perempuan dilarang dengan alasan berpotensi melakukan kemaksiatan. Tetapi laki-laki yang berbuat hal yang sama tidak dilarang. Ketika perempuan memiliki potensi buruk langsung dilarang perbuatannya, tetapi ketika laki-laki memiliki potensi buruk untuk melakukan hal yang sama tidak dilarang. Ini yang disebut belum adil dalam memahami teks. Seharusnya teks bisa berlaku adil kepada seluruh manusia baik perempuan maupun laki-laki.

Contoh lainnya ketika perempuan ingin bekerja dan berkarir di luar rumah dilarang, dengan alasan tempat terbaik perempuan di dalam rumah karena khawatir menjadi fitnah. Padahal Ummul Qusyairiyah pernah meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk berbisnis di pasar saat itu karena suaminya sedang uzur tidak bisa lagi mencari nafkah, lalu Nabi Muhammad Saw. memberikan izin. Dari kisah ini bisa ditarik kesimpulan bahwa perempuan boleh keluar rumah untuk mencari nafkah kalau membutuhkan untuk mencukupi hajat hidupnya dan keluarganya, yang terpenting tetap bertakwa, menjaga kehormatan, dan juga mendapat izin suami bagi yang sudah menikah. Begitu juga dalam hal menuntut ilmu pengetahuan. Narasi bias gender masih sering kita jumpai dalam beberapa isu. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sudah sangat maju dalam penghormatan dan pemenuhan hak perempuan, sejak dulu membolehkan perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik dengan mendirikan Muslimat, Fatayat, dan IPPNU.

Pesan Partikular dan Universal Al-Qur’an

Realita di masyarakat hari ini ada dua gelombang besar yang memahami gender dalam kitab suci al-Qur’an secara berbeda. Perbedaan dalam memahami teks tersebut didasarkan kepada metodologi yang dipakai untuk memahami teks, ada yang menggunakan tafsir sebagian lagi menggunakan takwil. Tafsir lebih berkaitan dengan riwayat, informasi, dan nukilan sumber berita, ia lebih dominan dengan mengutip dan mendengar pemaknaan literal. Sedangkan takwil lebih kepada dirayah (pemahaman), substansi berita, dan mengekplorasi pengetahuan dengan berijtihad. Takwil memerlukan pengetahuan tentang konteks suatu teks diturunkan. Tafsir lebih populer digunakan sarjana Islam.

Dari dua metodologi yang berbeda ini akan melahirkan produk hukum yang berbeda pula. Juga menyulut perbedaan pandangan dalam melihat dua kategori teks yang universal dan partikular. Teks universal adalah nas yang berisi pesan tentang kemanusiaan dan berlaku bagi setiap manusia di seluruh tempat dan waktu. Jenis teks universal ini termasuk ayat muhkamat, misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 256; QS. Al-Hujurat [49]: 12; QS. Al-Isra [17]:70; QS. Al-Maidah [8]: 42; QS. Al-Nisa [4]:9. Sementara kategori partikular adalah teks yang diturunkan pada kondisi tertentu yang biasanya sebagai respons sebuah peristiwa. Teks hukum biasanya partikular. Masalah kepemimpinan (qiwamah) laki-laki atas perempuan, perwalian perempuan, poligami, dan waris termasuk ke dalam isu partikular. Ayat dalam tema ini seperti memiliki beberapa kemungkinan makna dan bisa memiliki kesimpulan hukum yang berbeda.[7]

Dalam memahami dan mendudukkan ayat partikular Imam Asy-Syatibi memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama. Ia mengatakan bahwa aturan umum yang universal bersifat pasti dan normatif sedangkan petunjuk khusus bersifat relatif. Oleh karena itu, hukum umum yang universal harus diutamakan dan memiliki penekanan lebih besar daripada hukum partikular. Aturan khusus tidak bisa membatasi seluruh aturan umum kecuali pada hal tertentu dengan konteks tertentu.[8] Dengan kata lain, teks universal Al-Qur’an menegaskan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan jangan sampai tertutup oleh pesan partikular yang sejatinya memiliki pesan khusus untuk fenomena spesifik. Ini bisa menjadi kompas umat Islam dalam membaca dan memahami teks keagamaan di era milenial.

Pembagian tugas domestik tidak hanya dibebankan kepada satu jenis kelamin tertentu. Ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Istri dan suami dalam rumah tangga sama-sama berkewajiban dalam menjalankan tugas-tugas domestik. Karena tugas perempuan tidak hanya di dapur, sumur, dan kasur. Apalagi menganggap perempuan hanya berfungsi sebagai mesin pembuat anak. Pemahaman ini sudah mengakar lama dalam masyarakat dunia, untuk itu tugas bersama untuk mendengungkan wacana kesetaraan gender kepada seluas-luasnya manusia. Semoga diskusi ilmiah terus dilakukan para elit intelektual agar meresonansi dalam setiap langkah, perkataan, dan pemikiran Muslim Indonesia yang berdampak pada perubahan yang lebih baik. Wallāhu A’lam bish Shawāb.[]

Kediri, 2 Desember 2021

[1] Etin Anwar, Jati-Diri Perempuan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2017), hal. 50.

[2] Farid Esack, “Islam and Gender Justice” dalam John C. Reines and Daniel C. Maguire (eds), What Men Owe to Women (New York: State University of New York Press, 2001), hal. 192.

[3] Etin Anwar, Jati-Diri Perempuan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2017), hal. 57.

[4] Nur Rofiah, Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman (Bandung: Afkaruna.id, 2020), hal. 51.

[5] Abu Ja’far al-Thahawi, al-’Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1995), hal. 12.

[6] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lām al-Muwaqi’īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), juz 3, hal. 12.

[7] Husein Muhammad, Perempuan, Islam, dan Negara (Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016) hal. 125.

[8] As-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah), hal. 261.