Oleh: Ikmaluddin Fikri*
Ketika saya mendengar nama Afrika Selatan, tentu hal yang menghinggap di benak saya adalah Nelson Mandela, Piala Dunia 2010, dan tempat penuh satwa-satwa menarik seperti gajah, singa, jerapah, dan lain-lain. Menariknya, tidak hanya itu yang seharusnya kita ketahui dari Afrika Selatan. Di tempat ini terjadi sejarah menarik penyebaran agama Islam, dan tokoh yang cukup dikenal disana merupakan orang Indonesia. Dia adalah Qadhi Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam atau masyarakat Afrika Selatan lebih mengenalnya sebagai Tuan Guru.
Masa Kecil
Tuan Guru merupakan anak dari seorang Qadhi Kesultanan Tidore, Maluku Utara. Beliau lahir pada tahun 1100 Hijriah atau 1712 Masehi dari pasangan Qadhi Abdussalam dan Boki. Selama masa kecilnya, Tuan Guru dikenal sebagai seorang yang cerdas yang hidup dalam kehidupan keluarga yang taat pada Agama. Ia berhasil menghafalkan Al Quran ketika umurnya masih belia, 12 tahun. Dan memahami banyak ilmu-ilmu lain seperti fikih dan tasawuf. Sehingga tidak heran, pada masa dewasanya, selain dikenal sebagai Qadhi dan imam, dia juga dikenal sebagai sufi, bahkan mujahid.
Perjuangan Tuan Guru di Tidore
Perjuangan Tuan Guru melawan penjajah Belanda sangat dirasa. Kemampuannya dalam orasi dan menggalang massa dari mimbar ke mimbar, membuat Belanda kewalahan. Hal demikian dilakukannya karena ketidak relaannya menjadi budak di negeri sendiri dibawah pemerintahan kolonial yang dzalim.
Kehebatannya sebagai pemimpin juga dirasa ketika dia menjadi panglima dalam perang menghadapi Belanda. Belanda kewalahan, dan banyak dari mereka yang berguguran. Semangat perjuangannya ini juga meluas ke wilayah-wilayah lain. Dari sinilah dia menjadi musuh utama Belanda.
Kebencian Belanda yang sangat mendalam kepadanya membuat dia dijuluki sebagai Baditen Rollen atau seorang bandit. Banyak cara dan upaya yang Belanda lakukan untuk menumpasnya. Upaya-upaya itu kebanyakan tidak menemukan hasil. Hingga pada suatu saat pada tahun 1763 di Tidore, dia ditangkap bersama ketiga saudaranya, Abdul Rauf, Badaruddin, dan Nurul Imam.
Belanda tentunya bisa saja menjatuhinya hukuman yang sangat berat. Bisa saja dia dieksekusi mati ataupun disiksa. Namun banyak pertimbangan yang mereka pikirkan karena posisinya yang sangat kuat di masyarakat Tidore. Sehingga apabila mereka membunuhnya, tentu saja akan ada perlawanan dan bekas gejolak yang sangat besar pada para pengikutnya dan masyarakat Tidore umumnya. Karena itulah dia dibawa ke tempat yang sangat jauh dan tidak dikenalnya sebelumnya.
Perjuangan Tuan Guru di Afrika Selatan
Belanda membawanya ke Tanjung Harapan atau Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope), di Afrika Selatan dan dipenjara di Pulau Robben (Robben Island) selama dua belas tahun. Tempat yang sama dimana Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan dan tokoh revolusioner antiapartheid, dipenjara selama dua puluh tujuh tahun. Di penjara inilah dia menghabiskan waktunya dan berhasil menulis Alquran dengan tulisan tangan dari hafalannya. Tulisannya terbukti akurat dan tidak ditemukan kesalahan satu pun dengan Alquran yang telah dicetak. Subhanallah.
Setelah dua belas tahun dipenjara di Pulau Robben, akhirnya Tuan Guru dibebaskan. Tuan Guru hidup bersama orang-orang Afrika Selatan di Cape Town yang kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang Islam, hanya saja banyak dari mereka adalah budak dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama Islam. Mereka memeluk Islam secara tertutup menurut kepercayaan mereka dan hanya mempraktekan ajaran agama di rumah, tetapi tidak bisa mempraktekannya di depan Pemerintah Kolonial.
Hal ini karena peraturan Pemerintah Kolonial Pada saat itu yang sangat kejam. Pemerintah Kolonial Belanda melarang pelaksanaan ritual keagamaan apapun kecuali kristen. Dengan hukumannya yang sangat berat jika dilanggar.
Karena itulah tidak terdapat masjid di sana dan tidak dilaksanakan pula shalat Jumat. Hal ini membuat Tuan Guru sangat marah. Dalam hatinya dia merasa hal ini salah dan harus diluruskan. Bagaimana bisa salah jumat tidak dilaksanakan, padahal banyak orang Islam di sana. Sebagai seorang imam yang hebat, Tuan Guru mengerahkan massa untuk melaksanakan salat jumat untuk pertama kalinya di lapangan. Banyak di antara mereka yang ikut, ada pula yang masih merasa takut dan hanya melihat dari kejauhan. Takbir dikumandangkan dan salat dilaksanakan. Hal ini membuat Belanda tidak nyaman. Polisi dikerahkan untuk menangkapnya dan mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Tuan Guru dengan entengnya menjawab, “tapi hukum Tuhanku lebih besar daripada hukummu.” Tuan Guru ditangkap dan dipenjara, untuk kedua kalinya.
Hasil yang Manis
Setelah Pemerintahan Belanda berakhir, Inggris datang dan memerintah Afrika Selatan. Berbeda dengan Belanda yang melarang pelaksanaan ritual keagamaan secara umum, Inggris memperbolehkan pelaksanaan ritual keagamaan apapun. Selain itu, Pemerintah Kolonial Inggris juga memandang Tuan Guru sebagai pahlawan. Mereka menawarinya hadiah sebagai keberaniannya melaksanakan salat jumat, dengan memberinya tanah untuk didirikan rumah. Hal ini ditolaknya, baginya, hal terpenting untuk saat itu adalah masjid, dia lebih rela tidak memiliki tempat tinggal, daripada tidak memiliki rumah Allah. Ajaibnya, pemerintah kolonial mengiyakannya.
Masjid pun dibangun dan ibadah dilaksanakan disana. Masjid inipun diberi nama “The Auwal Mosque” atau masjid Auwal atau bisa diartikan lagi sebagai masjid pertama. Dari sisnilah peribadatan umat Islam dilaksanakan dengan bebas dan tanpa ketakutan sedikitpun.
Peninggalan
Selain membangun masjid, Tuan Guru juga mendirikan madrasah sebagai tempat menempa ilmu dan pendidikan. Tuan Guru tidak memilih-milih murid di madrasah ini, siapa saja bisa belajar di tempat ini, bahkan non muslim. Sehingga banyak orang-orang non muslim yang belajar di madrasah ini. Hal ini karena budak dan orang-orang kulit hitam pada waktu itu tidak diperbolehkan belajar di sekolah. Karena inilah banyak diantara mereka yang akhirnya memeluk Islam.
Apa yang diperjuangkan oleh Tuan Guru merupakan bukti bahwa perjuangan atas nama Allah tidak akan pernah bisa dikalahkan. Ketika Tuan Guru tidak bisa memperjuangkan kebebasannya di Tidore, Allah memindahkan arah perjuangannya di tempat lain. Begitulah bagaimana perjuangan seorang mujahid sejati di mata Allah. Subhanallah.
*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.