Oleh: Fatimatuz Zahroh*
Bulan penuh berkah telah hadir hadir, bulan suci yang dinanti sebagai waktu berlomba-lomba mencari pahala melalui berbagai ibadah termasuk salah satunya malam seribu bulan, Lailatul Qadar. Tidak sekedar ibadah yang ada namun banyak pula tradisi yang mengiringinya. Masyarakat muslim Negara kita, Indonesia, memiliki banyak tradisi dalam menyambut mengisi bulan Ramadan.
Sebagaimana dapat kita lihat pada penentuan awal Ramadan dengan tradisi Rukyatul Hilal dan melakukan Hisab. Selain itu, media massa baik media sosial maupun elektronik membanting setir dalam pembahasan serta penyajiannya selama bulan Ramadan seperti menawarkan aplikasi Religi baik berupa layanan tausiyah, jadwal imsakiyah, hingga layanan pemesanan tiket online sekaligus penawaran paket liburan lebaran yang mempermudah pemakai gadget. Dalam tayangan televisi dapat kita lihat acara-acara religi serta berbagai iklan yang dikemas khusus selama bulan Ramadan.
Tradisi lain yang tidak bisa dilepaskan selama bulan Ramadan ialah ngabuburit, menunggu waktu berbuka, yang diisi dengan jalan – jalan sore sekedar melihat keramaian ataupun mencari menu takjil. Ada pula cara ngabuburit dengan mengikuti pengajian kitab kuning secara kilatan yang banyak dilaksanakan di masjid maupun surau selama bulan Ramadan.
Ada satu lagi tradisi menarik di negera kita ini dalam menyambut ramadhan yaitu ziarah kubur, dilanjut dengan kenduri besar yang disebut megengan yang memiliki ikon kue apem. Apem yang konon berasal dari kata dalam bahasa arab afwan yang berarti maaf atau ampunan adalah kue tepung beras adalah lambang dalam filosofi Jawa untuk meminta ampun dalam bulan penuh berkah ini. Sedangkan megengan adalah berasal dari kata megeng yang memiliki menahan, menahan diri dari hawa nafsu dalam bulan ramadhan.
Namun, tidak hanya Indonesia yang punya tradisi-tradisi unik dalam menyambutnya. Di barat wilayah Islam, Lengkingan suara Nefar (semacam terompet ramping dan panjang) ditiupkan di berbagai sudut kota-kota di Maroko. Negeri Ibnu Batutah itu punya cara unik untuk menyambut Ramadhan. Setiap keluarga mencuci karpet-karpet yang mereka punya. Selain itu, para ibu memasak masakan tradisional seperti harirah (semacam bubur dari tepung dengan aroma rempah-rempahan, bubur harira sangat kental dengan rasa tomat segarnya). Harira Disajikan bersama telor rebus dan sedikit jintan.
Di Turki dikenal tradisi Mahya. Masyarakat Turki menghiasi masjid-masjid dengan lampu-lampu warna-warni, membersihkan kampung dan menghiasi rumah dengan ornamen-ornamen khas Turki yang cantik dan menarik. Tradisi ini sudah ada sejak masa Dinasti Utsmani, yaitu masa Sultan Ahmad abad 16-an. Tak hanya di Indonesia saja yang ada patrol sahur, di Turki kegiatan sejenis juga dilakukan oleh warga khususnya para pemuda memukul-mukul drum untuk membangunkan warga lainnya sahur.
Negara Muslim di Eropa, misalkan Albania juga memiliki cara khusus untuk menyambut Ramadhan. Tradisi menabuh musik juga ada di Negara yang pernah porak-poranda akibat perang antar agama itu. Tradisi itu disebut dengan Lodra. Beduk yang ditabuh terdiri dari dua jenis, satu terbuat dari kulit kambing, satu lagi dari kulit domba. Stik yang dipakai memukul juga terapat dua jenis yang berbeda sehingga irama yang muncul bervariasi. Lodra tidak sendirian, ia ditemani perkusi dan musik tiup yang lainnya.
Di Mesir dan Palestina berbeda dalam manyambut Ramadhan. Para warga memasang lampu-lampu unit di setiap rumah. Lampu-lampu yang dipasang adalah lampu-lampu tradisional yang disebut dengan Fanus. Tradisi memasang Fanus ini ada sejak zaman Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Jepang, negera dengan muslim minoritas di Asia Timur yang dikenal sebagai negara yang unggul dalam kemajuan teknologinya, juga memiliki beberapa gawe besar dalam menyambut Ramadhan.Dalam menyambut bulan Ramadhan umat Islam di Jepang membentuk kepanitiaan untuk berbagai kegiatan selama bulan Ramadan seperti kepanitiaan dialog keagamaan, majlis taklim, salat tarawih berjamaah, menerbitkan buku-buku Islami dan segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Ibadah puasa. Selain itu, panitia juga menerbitkan jadwal puasa dan mendistribusikannya ke rumah-rumah warga muslim dan restoran halal. Untuk penetapan awal puasa, di Jepang dilakukan dengan Rukyatul Hilal. Apabila ketika dalam penetapan tidak terlihat hilal maka Jepang mengikuti penetapan negara islam terdekatnya seperti Negara Malaysia.
Begitu banyak tradisi yang tercipta baik dalam penyambutan maupun mengiringi bulan Ramadan penuh berkah ini. Namun dibalik kebahagiaan menyambutnya, ada sebagian asa susah di berbagai tempat bagi masyarakat muslim. Menjadi minoritas memang susah. Seperti saudara kita di Thailand, Myanmar, dan China. Antara diakui dan tidak sebagai warga negara, isu antoleran disematkan pada Islam namun tak bisa dipungkiri ini, Islam juga bagian dari korban antoleran kelompok lain.
Maka dengan begitu, dalam moment Ramadhan ini mari bersyukur kepada Allah, kita masih bisa menyambutnya dengan senyuman, minimal tak ada yang melarang kita untuk beribadah. Selamat datang bulan Ramadan dan selamat berlomba dalam kebaikan. Fastabiqul Khairat!
*Penulis adalah alumnus Fakultas Tarbiyah UNHASY dan kini aktif sebagai pendidik