Oleh A. Mubarok Yasin *) 

Mayoran berasal dari bahasa Jawa yang artinya “makan bersama”. Di dunia pesantren, khususnya pesantren salaf atau kombinasi salaf-modern, mayoran sudah menjadi tradisi atau bahkan ”ritual wajib” pada hari-hari tertentu, misalnya seusai acara jamiyyah kamar atau setelah ujian semester berakhir.

Mayoran umumnya dilakukan oleh sekelempok santri yang berasal dari kelas, kamar, asrama, atau dari daerah yang sama. Mereka memilih menu bersama-sama, berbelanja bahan makanan bersama, mencari kayu bakar bersama, memasak bersama, lalu makan bersama. Bahkan nampan tempat makannya (Jawa: talam), juga dibersihkan bersama-sama, kecuali jika mereka makan beralaskan daun pisang.

Mayoran ala pesantren tidak memandang menu makanan atau minuman, karena yang ditekankan adalah kebersamaan. Bahkan, sebagian besar kegiatan mayoran justru memilih menu yang sangat sederhana, misalnya sambel tomat atau terong bakar. Kalaupun ada yang memilih menu agak istimewa, paling banter cuma tahu tek, tempe penyet, sayur lodeh, atau jangan tewel (buah nangka muda yang dimasak sebagai kuah).

Peserta mayoran biasanya mengolah menu makanan di dapur umum milik pesantren. Dapurnya kotor, becek, apek, dan dindingnya menghitam karena jarang dicat. Meski demikian, peserta mayoran menikmati suasana itu dengan riang gembira. Uniknya lagi, tidak ada koki khusus; semua peserta mayoran adalah koki (koki dadakan).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski menunya sederhana dan kokinya keroyokan (otomatis hasil masakannya semrawut), tapi peserta mayoran tetap makan dengan lahap. Jarang ada sisa makanan. Mereka merasakan kelezatan bukan dari menu atau bumbunya, melainkan dari kebersamaannya. Canda-tawa peserta mayoran bahkan bisa bertahan hingga larut malam. Mereka ngobrol setelah makan, sambil menikmati teh panas atau es teh yang masih tersisa. Mayoran menjadi semacam pesta paling mewah di jagat pesantren.

***

Tradisi mayoran ini jarang mendapat perhatian dari para peneliti pesantren. Tidak ada referensi khusus tentang mayoran, karena mayoran memang bukan kegiatan ilmiah. Meski demikian, tradisi ini sebenarnya mengandung filosofi yang sangat dalam, terkait dengan pentingnya pendidikan kesederhanaan dan kebersamaan.

Telah kita maklumi, pesantren tidak hanya mengajari santri tentang ilmu teoritik (what), tapi juga kenapa ia belajar (why) dan bagaimana caranya (how). Santri diajari memahami hakikat dirinya dan bagaimana seharusnya dia mendidik dirinya sendiri. Hal itu dilakukan untuk membentuk mental dan karakter si santri, agar kelak siap hidup bermasyarakat.

Pesantren mengajarkan santri untuk terbiasa sederhana. Bahkan, saking sederhananya, banyak santri yang kurang memperhatikan penampilan dan kesehatan. Contohnya kamar santri (Jawa: gothakan) yang rata-rata sempit, pengap, dan tanpa ventlasi yang memadai, harus dicarikan cara agar cukup dihuni oleh puluhan orang. Lemarinya juga kecil. Tidurnyapun biasanya di lantai, tanpa bantal, terkadang tanpa alas dan selimut. Bahkan di sejumlah pesantren salaf, banyak santri yang terpaksa tidur di masjid, musholla, kelas, atau di depan asrama, karena kamarnya sudah penuh. Dalam kondisi yang serba memprihatinkan itu, mayoritas santri—anehnya—bisa tidur dengan lelap dan sulit dibangunkan. Mereka juga jarang mengeluh atau merasa menderita.

Di kamar yang sempit itu, mereka menjalankan aktivitas rutin seperti kegiatan jamiyyah, latihan pidato, tahlil, sekaligus tempat bercengkrama sesama warga kamar. Kamar adalah tempat mereka bersosialisasi, hidup berkeluarga tanpa mengenal sekat usia, harta, kelas, apalagi latarbelakang keluarga dan jabatan orangtua. Mereka hidup bersama sebagai manusia biasa, sederhana, bersahaja.

Kemudian sarana MCK di pesantren juga seadanya. Kamar mandinya kecil. Kalaupun agak besar, biasanya hanya berupa kolam (Jawa: blumbang), sungai, pancuran, atau sumur. Tidak peduli dia anak kiai, anak orang kaya, atau anak pejabat; semuanya mandi di tempat yang sama. Anak pejabat mandi dengan menimba di sumur, adalah hal yang lumrah di pesantren. Bandingkan dengan—sebagian—pejabat yang gemar mencari popularitas dengan makan nasi pecel di warung pinggir jalan.

Ini belum menghitung tradisi tirakat di pesantren, seperti puasa Senin-Kamis, Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), ngrowot (tidak makan nasi), atau mutih (hanya berbuka dengan nasi putih tanpa lauk). Semua jenis tirakat ini bukan hanya mengajarkan kesederhanaan, tapi juga pola hidup prihatin dan siap menderita.

Disiplin juga sangat ditekankan di pesantren. Mulai sebelum subuh hingga subuh lagi, semuanya sudah terjadwal. Bahkan jadwal memasak nasi, mencuci baju, mengatur keuangan, semuanya harus diatur seoptimal mungkin. Kedisiplinan seperti ini tentu saja berpengaruh dalam membentuk karakter santri.

***

Di tengah kondisi yang demikian, tradisi mayoran seakan-akan mengisi 3 (tiga) ”ruang hidup santri” selama mondok di pesantren. Pertama, ruang kedisiplinan. Di tengah-tengah padatnya aktivitas yang menuntut kedisiplinan tinggi, para santri dapat melepaskan rasa capek dan pusing dengan ngobrol sambil mayoran. Berarti, mayoran adalah pelepas kepenatan.

Kedua, ruang kesederhanaan. Dengan menu seadanya, kegiatan mayoran laksana pelengkap sekaligus bukti kesederhanaan santri. Karena mayoran di pesantren tidak mengenal tradisi potong tumpeng. Kalapun ada yang dipotong, paling-paling hanya mengiris buah jengkol.

Ketiga, ruang kebersamaan. Mayoran adalah pelengkap tradisi kebersamaan yang memang sudah ada di pesantren, seperti tidur bersama, mandi bersama, kerja-bakti bersama, mengaji bersama, lalaran bersama, dst. Mayoran mampu membentuk jiwa santri untuk mencintai kerukunan, persaudaraan, dan kesederhanaan. Itulah sebabnya, jarang terdengar berita tawuran antar-santri atau tawuran antar-pesantren, karena kerukunan di antara mereka sudah terbangun dari dalam. Bandingkan dengan tawuran antar pelajar atau tawuran antar-mahasiswa, bahkan ”tawuran”—maaf—antar anggota DPR, yang sudah menjadi tontonan umum sehari-hari.

So, tradisi mayoran perlu dilestarikan di pesantren, agar para santri tetap hidup rukun. Mayoran juga bisa ditawarkan kepada anggota DPR, agar mereka belajar hidup rukun.

 

*) pernah nyantri di Lirboyo dan Tebuireng,