Bonjuor ! Bonjour ! bonjour ! Kata itu masih terngiang dalam benakku. Ah, cita-cita itu sering kali membuka lembaran-lembaran usang yang tak sengaja terekam dalam fikiranku. Sungguh, bukanlah kemauanku menjadi tukang pengayuh becak, apalagi pada umurku yang relative sangat muda ini. Setiap hari, bahkan setiap detik. Lelah ! itulah kata yang pantas ku sandang untuk melukiskan kisah hidupku. Aku hanyalah tukang becak muda ! Ku katakan kata itu setiap hari pada diriku sambil terus ku ayuhkan sandal jepitku pada pedal-pedal kemiskinanku.

Tapi, inilah takdir yang sengaja menjumpaiku. Semenjak kepergian ayah, kini akulah yang menjadi tulang punggung keluarga. akulah satu-satunya laki-laki  yang tersisa di rumah reyot ini. Aku layaknya kapas, yang dengan mudahnya terbang jika terkena angin dan sudah pergi entah kemana. Aku juga sempat iri pada angin ribut ! Mereka tahu jalan yang akan dituju. Sedang aku? Aku terbengkalai di antara rerumunan rakyat-rakyat miskin lainnya. Impianku pun terbang, impianku hilang, impianku sirna, impianku terlunta, dengan meninggalkan bekas luka tak berdarah dalam relungku yang membara.

Inilah aku yang sekarang, lorong jalan gelap menerjal sudah menjadi teman akrabku, kala senja malam perlahan datang. Sebuah surau mungil di ujung bukit penuh bara oncor di sekelilingnya, saat itulah ku tapakkan sandal jepitku melewati jalanan penuh lumpur. Mereka tampak serasi kurasa. Sandal jepitku dengan lumpur telah menjadi teman akrab. Lagi-lagi aku harus sampai pada surau, melelahkan memang, tapi aku harus mencapainya. Di tempat itulah akan ku pejamkan mataku dengan semburat cairan bening yang keluar dari dalamnya. Seakan hatiku telah luruh pada tempat itu, ku giling satu persatu tasbih peninggalan ayahku. Inilah tempat yang sunyi, sejuk, damai.

Akulah pemeran utamanya, aku tak perlu memakai topeng lagi untuk mengaduhkan segala kesedihanku yang ku tahan seharian penuh tadi. Bulan menjadi satu-satunya saksi peraduanku dengan Tuhanku. Sesekali kunang-kunang ikut larut bersamaku. Di tempat inilah, tempat yang dimana aku dapat merasakan bagaikan di atas menara yang sangat indah yang termasyhur di dunia ini. Jika ku pandang dari jarak gubuk reyotku yang tepat di bawah bukit. Sering kali aku terlelap di depan rumah, berharap paginya aku menatap menara yang sangat termasyhur itu. Tapi, itu hanyalah sebuah khayalanku belaka ! Surau tetaplah surau. 

Ku rasa, hidup ini bagaikan berjalan menuju surau, walau berkawan lumpur tapi akan terasa damai saat kaki sudah menginjak di tanah surau. Hanya saja, hidupku baru saja di mulai. Sempat asaku menjadi raja dalam hidupku. Hampir saja pisau ku goreskan pada nadi di pergelangan tanganku. Hampir saja usaha-usaha itu mulus terlaksana saat telingaku sudah lelah mendengarkan bisikan-bisikan warga tentang ayahku yang pergi dengan meninggalkan hutang-hutang yang berserakan kemana-mana. Ah. Jika aku harus memilih, aku tak mau punya ayah sakit sakitan. Atau bahkan aku tak perlu punya ayah sekalipun daripada punya ayah yang menyusahkan, sudah meninggal pun masih meninggalkan kami hutang. Kebencianku pada ayah sudah mengakar. Ayah ada memang untuk menyengsarakan kita. Ayah lah pembawa nasibku menjadi pengayuh becak sepertinya. Andai saja, aku mau ikut kakek waktu itu, pasti setiap hari pun aku bisa menginjakkan kakiku pada negeri paris yang ku impi-impikan itu, bahkan untuk menuntut ilmu disana sangatlah hal yang mudah, jika aku ikut kakek. Aku tak perlu susah-susah berjalan menuju surau. Hidupku pasti mulus. Tapi, aku masih teringat kedua adikku dan ibuku. Aku tak mungkin meninggalkan mereka seperti ayah. Aku masih punya tanggung jawab atas itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

****

Bonjour ! Allo …. Salut! Cava ? pardon monsieur… suara itu membuyarkan lamunanku. Senja paris kali ini membuatku meneteskan kembali air di mataku. Aku sangat bersalah pada dugaan-dugaan besar dalam hidupku kala itu. Aku sekarang disini, dan itu karna usaha ayahku. Surat pengubah nasibku tak henti-hentinya ku baca dengan linangan air mata karena rasa bersalah ku pada ayah.

Anakku tersayang, Alif Adrian… kini sudah waktunya engkau meraih impianmu. Ku tau semangat belajarmu sangatlah besar. Waktu itu kamu masih menjadi bayi kecil yang sangat menggemaskan dengan mata berbinar-binar kau sempurnakan panggilan “Ayah” untukku. Tapi, seiring berjalannya waktu, kamu sering sakit-sakitan, beberapa kali Ayah dan Ibumu membawamu ke Rumah Sakit hingga berapa puluh juta ribu uang yang kami berikan pada Rumah Sakit demi kesembuhanmu. Kami terpaksa mencari hutang kesana kemari agar buah hati kami menjadi anak yang sehat sempurna. Tak terasa, sudah berbulan-bulan kamu hidup dengan bantuan selang. Dokter memvonis, umurmu tak lagi panjang anakku.. jika tak ada pendonor ginjal untukmu. Untuk itu, aku rela memberikannya untukmu. Ibumu pun tak tau hal ini. aku rasa, hidup dengan satu ginjal tak akan memberi dampak yang besar pada hidup kita. Ternyata firasatku salah anakku, seiring berjalannya waktu, kesehatan Ayah menurun. Selang infuslah satu-satunya penolong. Hingga ibumu memimjam uang kesana kemari tapi tak mendapatkannya. Akhirnya, Ayah memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sakit ayah masih meraja lela dalam diri Ayah. Ayah harus kuat mencari nafkah untuk kalian semua. Becak dari belas kasihan tetangga, Ayah gunakan untuk meringankan kesengsaraan hidup kita. Lagi-lagi Ayah hanya bisa bertahan sampai tertulisnya surat ini untukmu anakku. masih tersisa sedikit tabungan ayah. Gunakanlah untuk menemui kakekmu. Kakekmu akan mewujudkan impian besar dalam hidupmu. Ibu dan adik-adikmu juga akan tinggal di dalamnya. Ayah dan ibu dulunya menikah tanpa restu orang tua. Oleh karena itu, kakekmu sangat membenci Ayah. Tapi Ayah berusaha hidup tanpa kakekmu. Hingga waktunya datang, kakekmu luluh melihat kehidupan miskin kami. Berapa kali kakekmu menawarkan hidup yang lebih nyaman kami menolak. Hanya satu pintaku pada kakekmu, agar membahagiakan kalian semua semenjak kepergian ayah. Semoga kamu menjadi anak yang sholeh nak. Ayah sayang ananda…. Berlayarlah ke negeri paris. Tuntutlah ilmu disana. Kelak kepulanganmu dari sana, kamu akan menjadi manusia yang lebih bermanfaat.

                                                                                                                                    Ayahmu

            Saat itulah, kakiku melemas, tak kuasa menopang badanku. Hanya kata per kata terucap dari bibir tipisku “Engkau adalah Ayah terhebat yang pernah ada”.

*Nuris Salasatin Nikmah

Mahasiswi UNIPDU Semester 2