Oleh: Yayan Mustofa*
Oktober 2017 ada kekasih Allah SWT yang dipanggil ke hadiratNya. Wali mastur (yang disembunyikan) itu terhitung muda, baru 24 tahun di dunia ini, tapi Allah SWT sudah kangen berat ingin menyandingnya.
Banyak beban yang ia emban dan belum tentu bisa ditanggung oleh manusia awam lain. Terutama beban psikologi yang hampir saja mendorong ke arah jurang kehinaan. Untung si ibu selalu mendekap hangat sehingga dapat menyelamatkannya.
Pemuda mastur itu lumpuh sejak akhir Madrasah Ibtidaiyah. Ntah apa penyebab pastinya, tidak diketahui. Sudah diusahakan penyembuhan ke berbagai rumah sakit sampai ke orang pintar. Hasilnya nihil. Sejak saat itulah si pemuda mulai uzlah di kamar, di atas tempat tidur, tanpa pergi kemanapun lagi.
Nah, pada suatu waktu, datanglah bisikan hams yang merongrong keimanan dalam perjalanan spiritualnya. Dia putus asa karena terhasut hams bahwa hidupnya kini dan esok hanya akan menyusahkan ibu, tanpa memberikan manfaat. Dari pagi, ibunya memandikan, mewudui, mengganti pakaian sehingga ia bisa shalat. Ketika buang air besar, ibu yang menyucikannya. Kebutuhan lainnya pun selalu ibu.
Untung sifat istifta’ (selalu konsultasi) kepada ibu masih refleks menjadi kebiasaan. Ia tidak langsung membuat keputusan tindakan apapun ketika berpikir, terpikir, mendengar, atau terbayang sesuatu. Seandainya putus asa itu menguasai dan pemuda tadi ceroboh mengambil tindakan, maka akan menjadi sinetron TV yang berakhir bunuh diri.
Ibu yang bijaksana, sabar, dan murah senyum itu membesarkan hati sang anak. Ia membagi pengetahuan dan pengalaman hidupnya pada anak tercinta. Bahwa kesalehan menuju Allah itu tidak hanya untuk orang yang sehat fisiknya. Allah juga menyediakan banyak fasilitas untuk hambaNya yang lemah, seperti puasa, shalat, membaca Al Quran, selalu mendoakan keluarga dan saudara, serta menghibur orang di sekeliling. “Ibu pun mendapatkan pahala karena membantumu beribadah dan membantumu berbuat baik,” jelas ibu sebisanya.
Penjelasan singkat ibu langsung ditangkap akal cerdas-tradisionalnya. Bahwa dalam hidup lebih terasa ringan jika berbagi tugas dan peran, termasuk dalam mendekat kepada Allah SWT. Si bapak mencari nafkah, ibu menyelesaikan kewajiban rumah, sedangkan dirinya bagian mendoakan keselamatan keluarga di dunia sampai akhirat khususnya, dan orang yang terikat hubungan dengannya pada umumnya. Tentu, untuk doa yang makbul membutuhkan mujahadah yang serius, waktu yang tepat, atau tempat yang mustajabah.
Dimanfaatkanlah diskon kondisi fisik dan waktu luangnya secara optimal. Hampir tiada sunnah yang terlewat. Shalat sunnah, apalagi puasa sunnah yang hampir dikerjakan tiap hari. Pengajian radio siap sedia menambah keluasan pengetahuan sehingga tetap bisa mengikuti guyonan saudara-saudarinya yang sekolah sampai jenjang tinggi. Rutinitas ini dijalani dengan spirit dan harapan bahwa kemesraan keluarga tidaklah berbatas waktu dunia. Satu kesatuan keluarga harus terus harmonis sampai di kehidupan berikutnya. Pemuda inilah yang kebagian melobi Tuhan dengan segenap mujahadahnya.
Aktivitas harian itu sampai pada suatu masa di mana setiap manusia akan mengalami. Hari Kamis ketika adzan Maghrib dikumandangkan, ibu menawari buka puasa (sunnah) dengan menu apa. Sang pemuda menjawab, “Sambal terong enak kayaknya.” Setelah siap, ibu mendekat untuk menyuapi seperti biasanya. Ternyata, pemuda itu sudah terpejam, berseri-seri, dan tersenyum. Sebuah tanda menikmati kebahagiaan. Bahagia menjelang berbuka dan bahagia masuk surga.
*Tim Pustaka Tebuireng.