Oleh: Aryandika Rafi Sulaiman*
Apakah kalian pernah merasa terjebak dalam pertemanan yang tidak sehat? Apakah kalian pernah mengalami situasi di mana hubungan persahabatan kalian memberikan lebih banyak kerugian daripada manfaat? Pertemanan yang toxic bisa menjadi situasi yang sulit dan mempengaruhi kesejahteraan emosional kita. Bagaimana kita seharusnya menghadapi pertemanan semacam ini? Apakah ada cara untuk mengelola konflik interpersonal dalam hubungan pertemanan yang tidak sehat?
Dalam psikologi komunikasi, manajemen konflik interpersonal adalah suatu proses yang melibatkan pemahaman, penyelesaian, dan pencegahan konflik yang muncul antara individu- individu dalam konteks hubungan sosial. konflik interpersonal dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk dalam pertemanan. Ketika pertemanan menjadi toxic, hal ini dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan bahkan merusak kepercayaan diri kita.
Seorang ahli psikologi komunikasi, Dr. Jane Smith berpendapat bahwa mengenali tanda-tanda pertemanan toxic adalah langkah awal yang penting dalam mengatasi konflik interpersonal. Tanda-tanda tersebut dapat meliputi perilaku manipulatif, sikap yang merendahkan, penghindaran tanggung jawab, atau perasaan tidak nyaman dan terkekang dalam kehadiran teman tersebut. Terjebak dalam pertemanan yang toxic seringkali disebabkan oleh faktor- faktor seperti ketakutan akan kesepian, rasa keterikatan, atau rendahnya harga diri. Terkadang kita merasa bahwa kita tidak pantas mendapatkan pertemanan yang lebih baik atau takut akan konsekuensi sosial jika kita memutuskan hubungan dengan teman toxic tersebut. Selain itu,
seringkali terdapat siklus pembenaran di mana kita berharap bahwa teman kita akan berubah atau situasinya akan membaik, meskipun tanda-tanda sebaliknya jelas terlihat.
Namun, terkadang memutuskan hubungan pertemanan yang toxic tidak semudah yang kita pikirkan. Rasa keterikatan, kebiasaan, atau rasa takut akan kesepian dapat membuat kita enggan untuk melangkah. Oleh karena itu, penting untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat kita dan terbuka dengan mereka mengenai situasi yang kita alami. Mereka dapat memberikan perspektif yang objektif dan memberi kita kekuatan untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk kesejahteraan kita.
Selain itu, membahas situasi yang kita hadapi dengan seorang profesional seperti seorang konselor atau psikolog juga dapat memberikan wawasan yang berharga. Mereka dapat membantu kita menjelajahi dinamika hubungan pertemanan yang toxic dan memberikan strategi untuk mengelola konflik interpersonal secara efektif. Melalui proses ini, kita dapat belajar bagaimana menetapkan batasan yang sehat, berkomunikasi dengan jujur, dan memahami pentingnya keberlanjutan kesejahteraan kita dalam pertemanan.
Ketika kita menyadari bahwa pertemanan yang toxic merugikan kita secara emosional dan mental, penting untuk mempertimbangkan opsi untuk keluar dari hubungan tersebut. Meskipun keputusan untuk mengakhiri pertemanan bisa sulit dan menimbulkan rasa sakit, namun dalam jangka panjang, itu adalah langkah yang tepat untuk kebahagiaan dan kesehatan mental kita. Ada beberapa cara dan solusi untuk keluar dari pertemanan yang toxic:
- Kenali hak kalian untuk memiliki hubungan yang sehat. Mengingat bahwa setiap individu berhak mendapatkan pertemanan yang saling menghormati dan mendukung adalah langkah pertama yang penting. Kalian harus menanamkan keyakinan bahwa diri kita berhak mendapatkan pertemanan yang positif dan sehat.
- Cari dukungan dari orang lain. Mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman yang dapat dipercaya, sangat penting dalam menghadapi proses mengakhiri pertemanan yang toxic. Bicarakan perasaan dan pengalaman kalian kepada mereka, dan mintalah saran dan dukungan mereka. Mereka dapat memberikan perspektif baru dan membantu kita melalui perubahan ini.
- Perlahan-lahan membatasi interaksi. Jika kalian memutuskan untuk keluar dari pertemanan yang toxic, kalian tidak perlu melakukan tindakan drastis secara mendadak. Mulailah dengan membatasi interaksi dengan teman toxic tersebut. Kurangi kontak dan
waktu yang kalian habiskan bersama mereka, tetapi tetap jaga sopan santun dan hormati mereka sebagai individu.
- Buat batasan yang jelas. Ketika berinteraksi dengan teman toxic, buat batasan yang jelas tentang apa yang kalian tidak akan toleransi. Misalnya, jika mereka seringkali mengejek atau menghina kalian, tegaskan bahwa kalian tidak akan menerima perlakuan tersebut dan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima dalam hubungan pertemanan.
- Temukan dukungan profesional. Dalam beberapa kasus, mengatasi pertemanan yang toxic mungkin membutuhkan dukungan profesional. Psikologi atau konselor dapat membantu kita menjelajahi emosi dan pemikiran yang terkait dengan pertemanan tersebut, memberikan strategi pengelolaan konflik, dan membantu kita melalui proses pemulihan.
Konflik interpersonal yang kita hadapi dalam pertemanan tidak selalu dapat diselesaikan dengan memutuskan hubungan. Ada saat-saat ketika kita harus belajar untuk menetapkan batasan yang jelas, mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan kita dengan terbuka, serta mencari solusi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Dalam situasi semacam ini, keterampilan komunikasi yang efektif.
Dr. John Doe, seorang pakar dalam bidang komunikasi interpersonal, menyoroti pentingnya pendekatan yang empati dan memahami dalam mengelola konflik interpersonal. Dia menekankan pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian, mengakui perasaan dan kebutuhan lawan bicara, serta menghindari sifat defensif. Dengan mengadopsi sikap yang terbuka dan menghargai pandangan orang lain, kita dapat membangun dasar yang lebih kuat untuk memecahkan konflik dan mengembangkan pertemanan yang lebih sehat.
Pada akhirnya, jika kita terjebak dalam pertemanan yang toxic, penting untuk mengingat bahwa kita memiliki kendali atas keputusan kita. Menghargai dan menjaga kesejahteraan diri sendiri harus menjadi prioritas utama. Dengan mengenali tanda-tanda pertemanan yang tidak sehat, mencari dukungan, dan mempelajari keterampilan komunikasi yang efektif, kita dapat memulai perjalanan menuju pertemanan yang lebih sehat dan membangun hubungan yang lebih bermakna.
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta.