Tampak dari kiri Prof. Philips Buckley, Pdt. Simon Flantopa, Aan Anshori, dan Akhol Firdaus sebagai pembicara dalam diskusi Masa Depan Toleransi di Indonesia, Ahad (02/3/2014).
Tampak dari kiri Prof. Philips Buckley, Pdt. Simon Flantopa, Aan Anshori, dan Akhol Firdaus sebagai pembicara dalam diskusi Masa Depan Toleransi di Indonesia, Ahad (02/3/2014).

tebuireng.online – Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi(PKPD) Pondok Pesantren Tebuireng kembali mengadakan diskusi berbobot berskala international, Ahad (2/3/2014). Diskusi bertajuk “Masa Depan Toleransi di Indonesia dan bedah buku Pledoi Tajul Muluk” yang diadakan di Gedung Yusuf Hasyim lantai 2 sebagai bentuk kepedulian Tebuireng kepada masa depan toleransi di Indonesia.

Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber berbobot, yaitu Prof. Philips Buckley ahli multikulturalisme McGill University Canada, Akhol Firdaus editor buku “Quod Revelatum?” Pledoi Ust Tajul Muluk, dan Pdt. Simon Flantopa tokoh lintas agama Jawa Timur. Selain itu dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan mulai dari santri Tebuireng, Mahasiswa, tokoh Gusdurian Jombang, tokoh lintas agama dan beberapa pendeta. Dengan di moderatori oleh Kordinator Gusdurian Jawa Timur terkemuka Aan Anshory, acara ini berjalan menarik.

Acara yang dimulai pukul 13:10 WIB ini di awali dengan prakata dari Direktur PKPD Pesantren Tebuireng, Mas Roy Murtadho. Dalam kesempatan tersebut,  Pak Roy menjelaskan pokok PKPD. Tugas PKPD adalah mengkaji tipologi pesantren. Ini muncul ketika ada tuduhan secara pincang bahwa pesantren adalah lembaga penyokong kekerasan di Indonesia dan memberi wajah islam yang intoleran. Padahal dalam kenyataanya sangat jauh dari tuduhan dan perlu untuk dikaji ulang secara mendalam, bahwa tidak semua pesantren menyokong radikalisme dan intoleranisme di Indonesia. Ada pesantren khusus hadist ada pesantren khusus fiqih dan lain sebagainya.

Prof. Philips mengungkapkan, bahwa perbedaan adalah sebuah keindahan tersendiri bagi kehidupan. Tidak ada indentitas tanpa ada deferensitas, tak ada golongan dan pelabelan sesuatu tanpa ada perbedaan. Bahkan menurut beliau tak ada agama tanpa perbedaan. Karena tuhan berbeda dengan hamba maka timbul agama. Bisa dibayangkan ketika setiap benda menjadi tuhan semua atau hamba semua, atau tuhan sama dengan hamba, maka tidak akan ada agama. Beliau menganalogikan sebuah perbedaan itu indah dengan hubungan manis kursi dengan meja. Bagaimana jika dalam satu ruangan hanya ada meja atau hanya ada kursi? Dengan perbedaan kursi dan meja timbul korelasi manfaat. Begitu juga dengan manusia yang multikurtural.

Menyambung Prof. Philips, Pdt. Simon Flantopa mengungkapkan bahwa kerapuhan intoleransi juga membayang-bayangi umat kristiani. Menurut beliau 200 aliran kristiani di seluruh Indonesia sebenarnya malah lebih berpotensi rapuh dari pada Islam. kesadaran menjadi minoritas membuat aliran-aliran itu tak terlalu bersinggungan negatif satu sama lainya. Kristen adalah saudara tua Islam dan saudara muda Yahudi, bagaimana mungkin kemudian berkecamuk konflik di belahan bumi diantara ketiga bersaudara itu. Beliau menyayangkan sikap Paulus yang mengumumkan ketuhanan Yesus ke khalayak dunia. Seharusnya disimpan saja untuk umat kristiani. Hingga tidak ada konflik yang berkepanjangan seperti ini. Untuk Islam, beliau setuju dengan stetemen Gus dur tentang kebutuhan Islam terhadap wajah baru berupa kampanye budaya untuk mempererat ukhuwah. Isu inilah yang diperbincangkan oleh OKI dan diterapkan sebagai uji coba di Uni Emirat Arab.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian, dilanjutkan dengan bedah buku dan ulasan hasil penelitian dan analisa intoleransi di Indonesia oleh Akhol Firdaus. Pak Akhos adalah salah satu dari tim pembela Ust Tajul Muluk, terdakwa kasus Kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang. Beliau menguaraikan data-data fakta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam berbagai kasus kekerasan dan intoleransi. Indonesia bersembunyi dibalik ketenangan kamunflase, terlihat damai dan bertoleransi tinggi. Ternyata pada faktanya terjadi banyak pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Katakanlah di Jawa Timur saja, pada tahun 2011 telah terjadi 108 kasus pelanggaran beragama dan berkeyakinan. Pada tahun yang sama 59% pelanggaran dilakukan oleh aktor Negara, 49% dilakukan oleh aktor sipil. Tahun 2012 64% dilakukan oleh aktor Negara, 35% dilakukan oleh aktor sipil, sedangkan pada tahun 2013 42% oleh aktor Negara, 12% oleh aktor sipil. Secara umum memang jumlah kekerasan menurun. Tapi jika kita amati diferensiasi prosentasi antara aktor Negara dan sipil semakin jauh. Ini menandakan bahwa peran Negara dalam mendorong intoleran semakin tinggi.

Akhol juga menyebutkan bahwa sebagian besar pelanggaran toleransi dilakukan oleh minoritas. Tetapi kaum minoritas ini mendapat tempat nyaman dalam melakukan tindakannya. Pemerintah memberikan ruang, sedangkan kaum mayoritas juga diam tak bertindak. Beliau menyebut ini dengan “Silent Majority”. Pada zaman orde baru pelaku kekerasan beranjak dari pemerintah menggunakan sipil untuk mencuci tangan, sedangkan sekarang terbalik sipil menggunakan Negara untuk melakukan tindakan intoleransi.

Setelah semua narasumber memaparkan presentasinya, beranjak ke pembukaan termin tanya jawab dan diskusi. Timbul berbagai pertanyaan dan komentar seputar intoleransi di Indonesia. Menurut Falah Falasif, Mahasantri Ma’had Tebuireng bahwa ini kemungkinan terjadi karena konspirasi USA-Yahudi Israel yang beberapa kali memanas di percaturan politik dunia. Tetapi disangkal langsung oleh Akhol dan Prof. Philips. Menurut beliau berdua, teori konspirasi hanyalah sebuah bentuk kemalasan orang untuk mencari tahu yang sebenarnya dan mana mungkin 2 pihak berkonspirasi di seluruh dunia sedangkan dunia ini sangat kompleks.

Sebelum menutup acara diskusi, Mas Aan Anshory melengkapkan tugasnya sebagai moderator dengan ungkapan bijak bahwa memang Islam mengajarkan kasih sayang, memang Islam adalah agama penebar cinta dan agama rahmatan lil alamin, tetapi pada kenyataan banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kaum muslimin.  Pak Akhol Firdaus menambahkan bahwa beliau mengajak teman-teman mendukung pembebasan Ust Tajul Muluk dan mendesak Presiden SBY memulangkan pengungsi Syiah kembali ke rumah mereka masing-masing, dengan memberi dukungan lewat Fanspage facebook “Free for Tajul”.

Acara ini ditutup oleh prakata singkat dari Mas Roy Murtadho, beliau membangun kembali optimistis setelah pesimistis yang dibawa oleh Akhol Firdaus dengan mengutip salah satu ayat dari kitab Mazmur tentang sebuah sikap bijak bertoleransi. Beliau juga menginformasikan bahwa PKPD punya beberapa agenda selanjutnya yang pastinya lebih menarik dan nyata. PKPD akan memposisikan diri sebagai lembaga yang menjadikan Tebuireng sebagai “Rumah” bagi toleransi dan perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Acara selesai tepat pukul 15.30 WIB yang kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam Sang Punggawa Pluralisme, Gus Dur.(ABR/tbi.org)