KH. Salahuddin Wahid (Foto: Kopi Ireng).

Oleh: KH. Salahuddin Wahid

Nahdlatul Ulama (NU) telah mengalami perjalanan panjang sebagai organisasi, mendekati 100 tahun. Dalam perjalanan panjang itu NU telah memberi sumbangsih besar bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai organisasi tentu NU mengalami dinamika. Dari organisasi yang dilihat hanya sebelah mata dan dianggap ketinggalan jaman (underestimate), menjadi organisasi yang dianggap bagus tanpa cela (overestimate).

Dulu cendekiawan dalam dan luar negeri menganggap negatif NU dan pesantren. Menurut Fred R Von der Mehden, guru besar ilmu Politik Universitas Rice (1928-2017), pengaruh NU dalam pergerakan nasional lebih bersifat negatif dari pada bersifat positif. Kini banyak orang hanya menilai kebaikan NU tanpa melihat hal-hal negatifnya.

Masyarakat memahami keberadaan NU sebagai organisasi (jam’iyyah) dan komunitas (jama’ah). Dalam beberapa tahun terakhir masyarakat dan warga NU sendiri melihat bahwa organisasi NU dan komunitas tidak selalu sejalan. Ada kesenjangan antara NU struktural dan NU kultural.

NU Sebagai Ajaran

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saya memaknai NU dalam beberapa aspek. Pertama, NU adalah ajaran keagamaan Islam, yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun, yang disebut sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah an Nahdliyyah. Secara sederhana ajaran itu meliputi beberapa aspek. Dalam fikih, mengikuti salah satu dari empat Imam; Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Dalam akidah mengikuti ajaran Imam al Asy’ari atau Imam al Maturidi. Dalam tasawuf mengikuti ajaran Imam al Ghazali atau Imam Junaid al Baghdadi. Islam yang dianut oleh jama’ah NU adalah Islam yang wasatiyyah (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan i’tidal (tegak lurus). Islam yang mampu berdialog dengan budaya setempat dan lentur, tidak merasa benar sendiri.

Menurut saya, ajaran Aswaja an Nahdliyyah itu juga meliputi ajaran dalam siyasah (politik). Ajaran NU menanamkan kecintaan terhadap tanah air. Pesan “hubbul wathon minal iman” selalu disampaikan oleh para kiai NU.

Pesantren Tebuireng mengajarkan lagu Indonesia Raya sejak 1938. Para tokoh NU menginginkan negara berdasar  Islam pada 1945, tetapi tidak berhasil. Pada 1956-1959 dalam Konstituante, Partai NU bersama partai-parta Islam lain kembali memperjuangkan negara berdasar Islam. Upaya ini juga tidak berhasil. Ketika Konstituante menghadapi jalan buntu dan ada usul supaya Konstituante mengambil UUD 1945 sebagai UUD hasil produk Konstituante, NU menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan kedalam sila Ketuhanan. Akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945. Pada akhir 1984 Muktamar, NU mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap NU yang didasarkan pada kajian yang disusun oleh KH Achmad Siddiq itu, mengubah secara mendasar peta kepartaian di Indonesia.

NU memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian bahwa sila-sila yang lain harus sesuai dan tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan. Berdirinya Kementerian Agama bagi NU adalah wujud dari pengejawantahan sila pertama Pancasila. Menteri Agama Wahid Hasyim memaknai sila pertama itu dengan kebijakan membuat MoU dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1951) untuk mendirikan madrasah yang menjadi tonggak masuknya pendidikan Islam kedalam sistem pendidikan nasional. Penafsiran terhadap sila pertama itu diperkuat dengan lahirnya UU Perkawinan (1974), UU Peradilan Agama (1989), Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam (1991) dan sejumlah UU yang memberi ruang bagi apirasi umat Islam.

Menurut saya Aswaja an Nahdliyyah seyogyanya juga membahas ajaran ekonomi yang sesuai dan sejalan dengan ajaran ekonomi Islam. Sebenarnya itu sudah diakomodasi oleh pasal 33 UUD 1945 yang asli. Sayang sekali banyak UU dan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan pasal tersebut. Dalam kenyataan, NU belum banyak terlibat dalam masalah di atas. Dalam proses mendirikan Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia, NU tidak terlibat.

Pesantren dan Warga

Pada 1926 Jam’iyyah NU didirikan oleh para ulama pesantren sebagai wujud dari gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan dipimpin oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Sering didengar ungkapan bahwa NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Jadi NU identik dengan pesantren dan tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia mencapai sekitar 28.000 dengan jumlah murid sekitar 4 juta.

NU juga saya maknai sebagai warga dan anggota NU. Warga NU adalah keturunan dari anggota NU atau orang yang mengikuti ajaran NU, tapi tidak menjadi anggota NU. Data dari survei di Jawa Timur akhir 2017 menunjukkan bahwa sekitar 70-80% rakyat Jawa Timur merasa mempunyai afiliasi ormas dengan NU. Ketua PDIP Jombang mengatakan bahwa sekitar 80-90% pemilih PDIP di Jombang adalah warga NU. Untuk tingkat nasional, data pada 2009 menunjukkan bahwa sekitar 42% muslim merasa menjadi warga NU. Pada pemilu 1955, jumlah pemilih Partai NU mencapai 18,4 persen.

Warga NU adalah mereka yang mengikuti paham keagamaan NU atau merupakan keturunan dari anggota NU. Mereka tidak menjadi anggota organisasi NU dan juga tidak mengikuti kebijakan organisasi NU. Yang merupakan keturunan anggota NU belum tentu mengikuti paham keagamaan NU. Jadi pengertian siapa “orang NU” itu bersifat cair dan tidak kaku.

Warga NU itu kebanyakan adalah kalangan menengah ke bawah. Para TKW dari Jatim sebagian besar adalah warga NU. Para dhuafa juga kebanyakan adalah warga NU. Beberapa puluh tahun lalu warga NU masih dianggap terbelakang dan tidak banyak yang memperoleh pendidikan tinggi didalam keilmuan non  agama. Kini banyak sekali warga NU yang mengenyam pendidikan tinggi dan menduduki posisi strategis di berbagai bidang kehidupan. Didalam kabinet Kerja ada beberapa warga NU menjadi menteri.

Organisasi NU

Pengertian NU sebagai organisasi adalah sesuatu yang terlintas dalam pikiran masyarakat ketika mendengar atau membaca kata “NU”. Ketiga pengertian tentang NU yang dikemukakan di atas hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran masyarakat. Organisasi NU didirikan untuk menjaga dan mengembangkan ajaran, membantu pengembangan pesantren dan juga untuk melindungi kepentingan warganya.

Dalam perjalanan kersejarahan yang panjang, organisasi NU mengalami transformasi. Didirikan pada 1926 sebagai ormas, NU lalu bergabung di dalam Partai Masyumi pada 1945. Pada 1952 NU mengubah dirinya menjadi Partai NU dan secara tidak diduga muncul sebagai pemenang ke 3 pemilu 1955.  Pada 1973 Partai NU melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada Muktamar 1984 NU menyatakan tidak terikat dengan partai manapun.

Pada 1998 tokoh-tokoh utama organisasi NU tingkat nasional mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Tokoh-tokoh daerah juga terlibat dalam membentuk PKB di daerah masing-masing. Puncak keterlibatan organisasi NU di dalam kehidupan politik ialah terpilihnya Gus Dur menjadi Presiden. Setelah Gus Dur lengser, PKB mengalami proses kemerosotan yang dimulai dengan berdirinya PKNU dan berujung pada munculnya dua PKB; di bawah Gus Dur dan di bawah Muhaimin. Pada 2008 Mahkamah Agung memutuskan bahwa yang sah adalah PKB di bawah Muhaimin. Struktural NU tidak bisa menempatkan organisasi NU berdiri diatas semua partai, bahkan oleh tokoh NU di berbagai tempat dianggap menjadi sub-ordinat PKB.

Organisasi NU mempunyai beberapa badan otonom (banom) dan lembaga. Banom terbaik di dalam lingkungan NU adalah Muslimat NU yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa. Tata organisasi Muslimat NU di tingkat nasional bahkan lebih baik dibanding tata organisasi NU sendiri. Muslimat NU mempunyai banyak PAUD, TK, panti asuhan, klinik dan RS. Muslimat NU juga  mempunyai ribuan majelis taklim. Banom lain di dalam NU lebih fokus pada kegiatan pengkaderan dan tidak banyak melakukan kegiatan sosial yang nyata seperti yang dilakukan oleh Muslimat NU.

Pada saat Kongres  Perempuan 1928 diselenggarakan,  Muslimat NU tidak ikut
karena organisasi Muslimat NU baru didirikan pada 1946. Yang menarik, organisasi wanita yang aktif dalam Kongres tersebut, saat ini banyak yang sudah tidak ada lagi atau tidak menonjol perannya. Peserta Kongres Perempuan yang kini masih aktif dan mempunyai kegiatan yang menonjol ialah Aisyiah. Muslimat NU bersama Aisyiyah adalah dua ormas perempuan yang betul-betul hidup secara nasional dan sampai tingkat akar rumput.

NU identik dengan pesantren. Yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat ialah bahwa sekitar 28.000 pesantren yang berdiri di seluruh Indonesia, didirikan oleh warga NU, bukan oleh organisasi NU. Kebanyakan madrasah juga tidak didirikan oleh organisasi, tetapi oleh warga NU. RS dan universitas didalam kalangan NU juga bukan milik organisasi NU, tetapi milik warga NU.

Tantangan Masa Depan

Kita menyaksikan  bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam yang usianya sudah tua dan menjadi kekuatan sosial politik yang menentukan masa depan Indonesia. Muhammadiyah dan NU serta ormas Islam lain telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengawal NKRI, melakukan kampanye anti kekerasan, promosi toleransi dan melindungi minoritas. Masyarakat dan negara amat berharap peranan ormas-ormas tersebut terus ditingkatkan. Dari segi jumlah pengikut, NU lebih besar. Dari segi organisasi, harus diakui bahwa Muhammadiyah lebih baik. Dalam masalah politik, sebagai organisasi, Muhammadiyah lebih bisa menjaga jarak terhadap parpol dibanding NU. Paradigma parpol masih terasa kuat di dalam organisasi NU. Ini mungkin akibat NU pernah menjadi parpol selama 32 tahun.

Seorang tokoh PP Muhammadiyah yang sudah tidak aktif lagi mengatakan kepada saya bahwa ruh ijtihad di dalam lingkungan Muhammadiyah sudah hampir hilang. Menurutnya, ruh ijtihad di dalam lingkungan NU lebih besar dari pada di dalam Muhammadiyah. Saya tidak tahu sejauh mana kebenaran pendapatnya itu. Menurut pengamatan saya, di dalam kalangan NU, lebih banyak jumlah tokoh konservatif dari pada tokoh progresif. Apa lagi di daerah.  Syuriyah PWNU Jatim sebagai kekuatan terbesar NU Indonesia, berbeda pendapat dengan Syuriah PBNU dalam menyikapi keberadaan Syi’ah.

Tetapi baik tokoh NU yang progresif maupun yang konservatif, jumlahnya tidak terlalu banyak dibanding jumlah tokoh yang berada di dalam arus pemikiran kelompok pertengahan. Kelompok pertengahan itu adalah mereka yang mengikuti pemikiran para pendahulu mereka. Mereka yang mengikuti pemikiran konservatif maupun yang progresif/liberal tidak bisa dilarang. Yang harus dijaga ialah jangan sampai mereka mengubah penafsiran ajaran para pendahulu yaitu pemikiran kelompok pertengahan.

Kelemahan NU adalah pada pengelolaam organisasi yang kurang baik di tingkat nasional dan di sejumlah daerah. Amal sosial organisasi NU masih kurang dibanding potensi yang dimiliki.  Perlu disyukuri bahwa banyak sekali amal sosial yang dilakukan warga NU di berbagai daerah sehingga dapat menutupi kekurangan organisasi NU.

Organisasi yang besar sering kali kurang kompak dan sulit untuk mencapai kata sepakat. Organisasi NU pun mengalami masalah itu. Munculnya beberapa tokoh NU dalam pilgub Jawa Timur sudah dimulai sejak 2008. Dalam pilgub 2008 ada dua tokoh NU yang menjadi cagub dan dua tokoh NU yang menjadi cawagub. Dalam Pilgub 2013, ada satu tokoh NU yang menjadi cagub dan satu tokoh NU yang menjadi cawagub. Dalam pilkada 2018, ada dua tokoh NU yang menjadi cagub.

Contoh di atas menunjukkan bahwa para tokoh NU tidak mampu belajar dari pengalaman tidak baik yang pernah dialami. Pada awal 2013 bersama sejumlah kiai saya bersilaturrahim dengan PWNU Jawa Timur guna mencegah munculnya dua tokoh NU muncul sebagai cagub Jatim. Kami mengusulkan supaya mempertemukan Khofifah dan Saifullah Yusuf untuk tujuan tersebut. Ternyata PWNU Jatim tidak bisa melakukan apa yang diharapkan. Masalah tersebut di bawa ke PBNU dan ternyata PBNU juga tidak bisa melakukan apa-apa.

Ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk bermusyawarah sehingga bisa mencegah munculnya dua cagub Jatim, diulangi lagi pada 2018. Kita berharap bahwa kekompakan dan keutuhan jama’ah NU dan keutuhan jama’ah Muslimat NU bisa dijaga supaya tidak menjadi lebih buruk. Para tokoh NU dan Muslimat NU Jatim pendukung kedua cagub itu perlu bermusyawarah untuk mencegah terjadinya kampanye negatif.


*Tulisan ini adalah versi lengkap (tidak dipotong) dari tulisan yang dimuat di Harian Kompas pada Jumat (02/02/2018). Dimuat kembali untuk kepentingan pendidikan.