Oleh: Abror Rosyidin*

Penulis beberapa kali berdiskusi dengan kawan-kawan terkait jalan sufi Kiai Hasyim. Mengingat tidak ada jejak Kiai Hasyim secara kelembagaan mengikuti tarekat sufi tertentu. Ada teman yang berpendapat mungkin saja beliau ikut Cuma sirri alias diam-diam.

Ada juga yang berpendapat Kiai Hasyim memang menentang keras tarekat. Ada yang sedikit berhati-hati dengan berpendapat, bahwa Kiai Hasyim bertasawuf tanpa tarikat. Menurut penulis, yang paling masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan dengan data, atau minimal bisa diterka secara ilmiah, justru yang ketiga.

Tapi penulis mencoba melakukan perenungan ulang dengan membaca dan berdiskusi terus dengan kawan-kawan, dan juga hasil ngaji ke para kiai tentang misteri jalan sufi Kiai Hasyim. Obrolan saya dengan kawan dan senior penulis,  Dr. Anang Firdaus yang paling ngena untuk dicerna pikiran.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Apa yang beliau sampaikan cukup memberikan jawaban, bahwa Kiai Hasyim sewaktu di Mekkah al Mukarromah berbaiat tarikat Qodiriyah Naqsabandiyah kepada Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Bahkan katanya, Gus Dur pernah mengungkapkan saat ceramah di Pondok Peta Tulungagung, bahwa kakeknya itu masuk dalam tarikat Syadziliyah dilihat dari amalan Hizb Falah yang diamalkan dan diijazahkan oleh beliau.

Satu lagi, cerita dari Kiai Abu Bakar Bandung Diwek Jombang, bahwa Kiai Hasyim mengamalkan dan mengajarkan wirid-wirid atau dzikir-dzikir tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i dari Irak. Tapi hati-hati bedakan dengan ormas Rifaiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad ar-Rifa’i al-Jawi ya, walaupun Kiai Ahmad Rifa’i ini merupakan tokoh Tarekat Rifa’iyah juga, meskipun sudah dipengaruhi oleh pemikiran Wahabi selepas dari Mekkah.

Untuk keikutsertaan Kiai Hasyim dalam Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (QN) ini masih kontroversi. Penuturan salah satu murid beliau, KH. Zubaidi Mushlih, Pendiri Pondok Pesantren Mambaul Hikam Jatirejo Diwek Jombang, gurunya itu, tidak sampai baiat. Cerita itu didapat Kiai Zubaidi dari Kiai Kholil Sokopuro, murid Kiai Hasyim yang lain.

Kiai Kholil itu meminta pendapat Kiai Hasyim karena disurati oleh ayahnya yang isinya memintanya untuk mengikuti baiat tarekat QN kepada mantan menantu Kiai Hasyim yang juga murid beliau, Kiai Romli Rejoso yang saat itu sudah jadi mursyid tarekat tersebut. Kiai Hasyim lantas diam saja, lalu memberikan sebuah kitab untuk dibaca Kiai Kholil.

Setelah dibaca, Kiai Kholil malah mengeluh, bahwa syaratnya sangat berat dan merasa tidak mampu melaksanakannya. Akhirnya Kiai Hasyim curhat kepada santrinya itu tentang pengalaman yang hampir sama.

Oleh ayahnya, Kiai Asy’ari, Hasyim muda saat menimba ilmu di Mekkah diminta untuk baiat Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah di Jabal Qubaisy. Kiai Hasyim tidak serta merta langsung melaksanakannya. Beliau meminta pendapat kepada gurunya, Syaikh Mahfudz Termas. Oleh Syaikh Mahfudz, Kiai Hasyim diberikan sebuah kitab isinya tentang Tarikat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Kiai Hasyim menemukan syarat untuk masuk sangatlah berat, akhirnya beliau memutuskan untuk batal baiat tarekat itu. Kitab itulah yang ditunjukkan Kiai Hasyim kepada Kiai Kholil. Cerita ini memiliki tingkat validitas yang tinggi, karena diutarakan oleh orang-orang terpercaya yang berkesempatan hidup bersama sumber informasi.

Walau Gus Dur dengan yakin menyebut tarikat Syadziliyah sebagai jalan sufi yang diikuti oleh Kiai Hasyim, atau pendapat kontriversial tentang baiat beliau terhadap tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, maupun cerita Kiai Abu Bakar soal Tarekat Rifa’iyah tetapi tidak ada data di mana menyebutkan Kiai Hasyim semasa di Tebuireng aktif bertarikat dengan tiga tarikat itu.

Kesimpulan kami sementara, bisa jadi kalaupun benar Kiai Hasyim bertarekat artinya pernah berbaiat, tetapi itu hanya untuk kepentingan individu, bukan disebarkan secara komunal kepada umat. Maksudnya beliau mengamalkannya secara pribadi tidak menjadi mursyid yang menyebarkan secara luas. Kecuali dalam amalan tertentu, seperti Hizbul Falah yang sekarang ini telah tersebar sebagai ijazah dari beliau.

Melanjutkan cerita di atas, Syaikh Mahfudz memberikan pesan kepada Kiai Hasyim, bahwa muridnya itu sudah alim dalam hadis, khususnya penguasaan Shahih Bukhori dan Shahih Muslim. Kata Syaikh Mahfudz, “Ya itu saja tarekatmu, amalkan!”.

Maksudnya Kiai Hasyim diminta untuk menjadikan ilmu pengetahuannya sebagai jalan tarekat yang dipilih. Dalam bahasanya Kiai Musta’in Syafi’ie, tarekat yang dijalankan Kiai Hasyim adalah tarekat ta’lim dan ta’allum, tarekat belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu agama yang sudah dikuasai, khususnya hadis dan ilmu-ilmu syariah.

Kiai Hasyim sangat patuh pada gurunya. Itu terbukti sepanjang hidup Kiai Hasyim tidak pernah terlepas dari belajar dan menyebarkan ilmu. Kiai Hasyim mendirikan pesantren, mengajarkan ilmu kepada para santri dan umat. Kiai Hasyim menekankan pentingnya ilmu dan adabnya dalam kitab khusus, berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim.

Kiai Hasyim sebagaimana dalam seri 31, penulis menyebutnya sebagai kiai aktivis dan pergerakan, namun, tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajiban mengajar, karena memang itulah jalan yang pilihan beliau. Kesibukan berbisnis, berpolitik, aktif di berbagai organisasi pergerakan, bahkan berkonsolidasi dengan pemerintah kolonial, tidak mengurangi jalan ta’lim dan ta’allum yang beliau pilih itu.

Kita tahu beberapa kali Kiai Hasyim memang memberikan mengkritik aktualisasi tarikat yang dijalankan oleh sebagian umat Islam yang melakukan praktik tarekat dengan menabrak syariat. Dalam bahasanya Martin van Bruinessen, Tebuireng itu ambivalen terhadap tarikat. Adanya dua sikap bertentangan yang bersamaan diplikasikan.

Satu sisi terlihat anti tarekat, di satu sisi, tarekat banyak dianut oleh santri-santri Tebuireng walau berbaiat di luar pesantren. Sikap seperti ini terjadi karena ada dalam satu hal yang disikapi itu ditemukan sisi yang tidak dikehendaki, ada sisi yang terlihat positif.

Maka bukan berarti Kiai Hasyim tidak anti tarekat sufistik. Buktinya saja, Kiai Hasyim memberikan ruang kepada murid-muridnya, seperti Kiai Romli, Kiai Adlan Aly, Kiai Syansuri Badawi, dan lain-lain, mengikuti tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Artinya ruang-ruang bebas itu disediakan oleh Kiai Hasyim, selama itu tidak bertentangan dengan Syariah dan tidak meninggalkan ta’lim wa ta’allum. Umat tarekatnya harus tetap diberikan pengajian-pengajian yang menambah ilmu, tidak hanya diajak untuk berdzikir. Hal itu dilakukan oleh Kiai Adlan Aly, yang tidak hanya sibuk mengajak dzikir, tapi dalam majelisnya, juga mengajak jamaahnya untuk belajar fikih-fikih praktis. Istilahnya bungkusnya tarekat tapi esensinya belajar.

Lalu bagaimanakah arti tasawuf menurut Kiai Hasyim? Jangan semua ditulis dalam bagian ini, nanti edisi selanjutnya tidak kebagian. Insyaallah penulis akan ulas, dengan keterbatasan pengetahuan penulis, dalam seri berikutnya. Intinya, kalau ada yang bertanya, Kiai Hasyim tarekatnya apa, jawab saja, Kiai Hasyim tarekatnya adalah ta’lim dan ta’allum, belajar dan mengajar.