Oleh: Abror Rosyidin*

Penulis pernah berdiskusi dengan KH. Musta’in Syafi’i di kediaman beliau di daerah Ngelaban Cukir Jombang. Saya saat itu bersama seorang doktor muda dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Dr. Anang Firdaus. Ada satu ungkapan Kiai Ta’in yang cukup menarik saat itu, yaitu Kiai Hasyim itu, bukan ilmuan ancish, tapi aktivis. Hal itu didasarkan pada kitab-kitab karangan beliau yang tidak mendalam dalam kajiannya, khususnya kitab yang mengarah pada fan tertentu.

Contoh saja, Adab al Alim wa al Muta’allim, sebuah kitab saku yang ditulis tipis saja oleh Kiai Hasyim, tidak bertele-tele dan sangat singkat. Bahkan mungkin banyak kutipan-kutipan dari kitab lain. Dalil-dalinya pun tidak disarahi dengan mendalam. Etika yang disampaikan berbentuk poin-poin, dan tidak semua didukung dalil dan kalimat penjelas yang panjang.

Contoh lagi, kitab Dhau’ al Mishbah fi Bayani Ahkami an Nikah, di dalamnya Kiai Hasyim sangat singkat dan padat dalam membahas seputar pernikahan, khususnya masalah hukum, adapun bonusnya di belakang ada hak dan kewajiban suami dan istri. Dalil yang dipaparkan beliau tidak sarahi secara mendalam, bahkan hadist yang dianggap banyak orang adalah fan beliau, tidak dibahas mendalam kondisi hadis itu seperti apa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berbeda dengan beberapa kitab yang dikarang beliau sebagai jawaban atas problematika tertentu yang memang real terjadi di masyarakat. Hal-hal itu menjadikan beliau gundah gulana, dan akhirnya menuliskan pembahasan mendalam tentang problem-problem tersebut. Jadi ketika ada tokoh, penulis menulis sesuatu yang sifatnya kasuistik, berbabasis problem di tengah masyarakat, maka kemungkinan paling besar, tokoh itu berangakat dari jiwa-jiwa aktivis, di mana kebutuhan masarakat lebih menjadi perhatinnya daripada sekedar menemukan teori, menjadi ilmuan, lalu mengarang kitab.

Contoh saja dilihat kitab at Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ al Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, Kiai Hasyim menjelaskan tentang satu problem yang terjadi di era lampau, di sekitar Madiun, di mana setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak.

Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.

Satu lagi, misalnya problem kentongan, Kiai Hasyim menulis dalam kitab al-Jasus fi Bayani Hukm Naqus. Kitab ini adalah hasil silang pendapat antara Kiai Hasyim yang kontra kentongan, dengan Kiai Faqih Maskumambang yang pro kentongan. Lalu selang beberapa pekan, Kiai Faqih pun membantah argumen itu dengan risalahnya yang berjudul Hazzur Ru’us fi Radd Jasus ‘an Tahrim Naqus.

Satu lagi, persoalan Jihad, kebutuhan dalil akan fatwa mengangkat senjata melawan sekutu yang hendak menjajah kembali negeri yang baru saja merdeka saat itu. Kiai Hasyim menganalogikan atau meng-qiyas-kan penjajahan usaha Sekutu kepada Indonesia sama dengan usaha Sulaiman dan kerajaannya menginvasi kerajaan Bilqis. Lah, Sulaiman adalah seorang nabi, kok bisa-bisanya disamakan dengan Belanda? Ini tentu kecerdasan Kiai Hasyim, pola pikir Kiai Hasyim fokus pada Sifat Tashbih atau dalam persoalan apa dua hal itu bisa disamakan, yaitu penyerangan atau invasi, bukan pada siapa dan bagaimana itu disamakan.

Dalam perspektif Bilqis, Sulaiman antagonis, jahat, dan akan mengganggu kekuasaannya, wilayahnya, rakyatnya, dan tanah airnya. Tapi, bagi Sulaiman hal itu adalah perintah Tuhan dan harus dilakukan agar mempermudah syiar ajaran Allah. Begitu pula dengan penganalogikaan jarak wajib militer saat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 itu dengan masafatul qashri, yaitu jarak tempuh diperbolehkannya meringkas shalat.

Dalam bahasa Kiai Ta’in, itu merupakan bukti kealiman Kiai Hasyim. Alim tak selalu harus menjadi ilmuan secara utuh, tapi alim juga bisa ditunjukkan dengan kecerdasan mentransformasikan persoalan lintas konteks dan bermanfaat bagi masyarakat. Kecerdasan itu tidak bisa didapatkan jika kepekaan sosial tidak terbentuk dan tertanam dalam diri sang Alim.

Maka, setelah penulis pikir-pikir, stetemen Kiai Ta’in itu, sangatlah masuk akal dan bisa dicerna pembaca-pembaca Kiai Hasyim. Penulis juga merasakan sendiri saat menulis skripsi tentang pemikiran Kiai Hasyim dalam hal pernikahan, membutuhkan referensi yang sangat banyak untuk menjabarkan apa yang beliau tulis, hingga tak terasa tebal skripsi itu 111 halaman.

Berbeda dengan ulama Jawa lain yang bisa dikategorikan sejaman, misal Kiai Ihsan Jampes. Kiai Ihsan tidak banyak bergulat terhadap kehidupan sosio-kultural, tapi lebih fokus pada kelimuan secara utuh, sehingga menghasilkan karya-karya ilmiah yang fenomena. Karya-karyanya seperti Manahij al Imdad fi Syarh Nashaih al Ibad, Tashrihul al Ibarat fi Syarhi Natijat al Miqat, Irsyadu al Ikhwan fi Bayani Hukmi Syurb al Qahwah wa ad Dukhon, dan satu karya agung yang diakui dunia, Siraju at Thalibin.

Semua kitab itu ditulis Syaikh Ihsan dengan sangat komprehensif, basisnya teoritis, bukan praktis. Berbeda dengan Kiai Hasyim yang kebanyakan fokus pada tataran praktis, untuk itu dibuat sederhana dan tidak mbulet. Keterlibatan Syaikh Ihsan dalam organisasi dan pergerakan juga tidak sebanyak Kiai Hasyim. Makanya Kiai Hasyim tidak sempat menulis kitab yang tebal-tebal dan mendalam, intinya substansi tersampaikan dan dapat menjadi panduan, begitu saja cukup bagi masyarakat saat itu.

Mungkin tepat jika Gus Sholah menyebut langkah Kiai Hasyim itu dengan penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat saat itu, sehingga jutaan orang dapat mengikuti beliau, bukan karena berarti bangunan intelektual beliau yang cetek dan kurang kredibel, sehingga menyebut karya-karya beliau basih, sudah tidak relevan, dan sejenisnya.

Terlebih lagi fakta bahwa beliau memang seorang kiai aktivis susah dibantah, betapa beliau benar-benar hadir di antara masyarakat. Mengajak bertani, mempekerjakan banyak pegawai untuk ladang, sawah, bangunan, kolam, peternakan, dan dagang. Dalam pengakuan Kiai Karim Hasyim sang putra, dalam buku Akarhanaf, juga dijelaskan betapa masyarakat sekitar menyaksikan kedermawanan Kiai Hasyim kepada tetangga sekitarnya.

Keikutsertaan dalam berbagai organisasi juga dirasa sangat menunjang aktivitas beliau dalam dunia pergerakan dan pemerintahan, misal di dalam NU, MIAI, Masyumi, Shumubu, dll. Walaupun keberadaan organisasi yang merupakan bentukan Jepang, seperti Masyumi dan Shumubu dianggap beberapa pihak sebagai jalan pintas Jepang meluluhkan umat Islam Indonesia.

Tapi disadari atau tidak, organisasi-organisasi itu dimanfaatkan betul oleh Kiai Hasyim sebagai kendaraan menuju kemerdekaan. Termasuk juga Hizbullah dan Sabilillah, laskar Kiai Santri yang menjadi latar belakang perjuangan umat Islam melawan Sekutu.

Aktivitas Kiai Hasyim selain mengajar adalah bersosial. Lebih suka bergaul dengan masyarakat sekitar dari pada bepergian jauh berhari-hari. Almarhum Gus Zaki pernah menegaskan itu, bahwa KH. Hasyim tidak terlalu suka bepergian jauh, apalagi sampai berhari-hari, tanpa ada urusan yang urgen, karena meninggalkan tugas dan pekerjaan di Tebuireng sangat berat bagi beliau, baik itu berhubungan dengan pesantren, masyarakat dan bisnisnya.

Itulah, waktu untuk menulis kitab yang berjilid-jilid, tebal, dan mendalam beliau tak sempat. Karena sangat padatnya jadwal beliau. Mungkin berbeda, jika dulu memutuskan untuk menetap di Mekkah dan mengajar di sana, seperti guru-guru beliau Syaikh Mahfudz at Tarmasi, Syaikh Khatib al Minangkabawi, dan pendahulu keduanya, Syaikh Nawawi al Bantani.

Waktu beliau-beliau memang ansich untuk ilmu, mengajar, kajian, diskusi ilmiah, meneliti kitab-kitab, dan lain-lain. Hal itu tentu sangat menunjang beliau-beliau menjadi ilmuan yang ansich, total. Sementara Kiai Hasyim harus membagi waktunya untuk masyarakat, rakyat, santri, bisnis, politik kebangsaan, organisasi, perjuangan pergerakan, dan kesatuan umat. Kalau saja Kiai Hasyim memilih untuk meniti jalan sunyi bersama ilmu saja, mungkin ya berbeda lagi faktanya soal kiprah beliau. Semua sudah dibagi perannya masing-masing.

Kita, sebagai santri, kadang terbutakan oleh fanatisme kesantrian kita, dengan selalu mentendensikan segala yang baik kepada Kiai kita. Itu bagus jika proporsional. Terkadang berlebihan hingga mengalahi fakta dan mengabstrakkan kemampuan intelektual kita dalam menilai. Maka pujian kita terhadap kiai kita harus didasari atas pengetahuan, bukan dugaan, asumsi sejenak tendensi buta data, dan fakta.

Maka, santri Kiai Hasyim walaupun tak harus mendalam, harus membaca riwayat dan kiprah beliau. Rajin memunculkan pertanyaan siapa Kiai Hasyim sebenarnya, agar ada keinginan untuk terus mempelajarinya.

Fanatisme dan keterlibatan emosional memang terkadang sangat mempegaruhi pola pikir seseorang, sehingga menjadi sangat tendensius dan subjektif. Makanya, karangan yang komprehensif soal Kiai Hasyim, kebanyakan ditulis oleh orang-orang di luar Tebuireng. Mereka cenderung lebih subjektif dan tidak ada beban mengatakan A, B, C, dan seterusnya.

Maka agar penulisan karya dan literatur soal Kiai Hasyim yang masih sangat minim ini, perlu diteruskan oleh santri-santrinya. Tentunya harus objektif dan tidak sekedar fokus pada fakta bahwa mentang-mentang penulisnya adalah santri Tebuireng, tapi harus ditepatpahami, bahwa kegiatan menulis dan riset tentang beliau didasari atas keinginan menyebarluaskan pemikiran dan sejarah hidup beliau.