Oleh: Nur Indah Nailatur Rohmah*

Era digital membawa dampak derasnya keterbukaan informasi, memberi peluang siapa saja untuk berbagi. Pencarian jawaban persoalan agama, misalnya, secara instan seringkali kering dari kebenaran. Jawaban singkat, tidak tepat, banyak sekali dihidangkan. Benar yang Sayyidina Ali bin Abi Thalib ungkapkan, “Ajari anakmu berbagai ilmu masa depan, karena hidupmu dan hidupnya berbeda zaman”. Kemajuan zaman tidak bisa dibendung apalagi diberhentikan. Mengubah cara  masyarakat memperoleh wawasan. Begitu pula dengan perihal keagamaan. Jika dulu para ustadz di sana-sini menggelar berbagai macam pengajian, sekarang cukup mesin teknologi menjadi acuan sebuah rujukan.

Berbicara mengenai dunia digital, dunia kita saat ini diliputi oleh derasnya informasi sana-sini. Sulit kita bedakan mana yang haq (benar) dan mana yang hoax, kalau dalam bahasa hadistnya ungkapan mana yang dianggap shahih dan mana yang dianggap maudhu’. Hate speech (ujaran kebencian) bergulir tiada henti. Selalu mengitari tiap orang yang berbeda persimpangan dalam pemahaman. Simpang siur hukum keagamaan yang sulit diluruskan. Maka di sinilah para pegiat dakwah perlu mengambil peran.

Video-video penceramah di media sosial dalam jangka waktu hitungan menit dapat ditonton ribuan bahkan jutaan orang. Kemudian diviralkan ramai-ramai, membagikanya pada penjuru media sosial. Baik dari grup-grup di whatsapp, postingan di facebook maupun di instagram, repost (unggah ulang) di beberapa channel youtube tanpa melihat terlebih dulu latar belakang dari si penceramah tersebut.

Seorang penceramah merupakan publik figur yang harusnya dapat menjadi role model bagi setiap umat. Menelisik kitab Minhaj Al-atqiya’, Kiai Sholeh Darat memberikan syarat seorang publik figur yakni memiliki dasaran yang harus mumpuni utamanya yakni al-Quran dan hadits, menghindari hal-hal yang bersifat duniawi, mempunyai sanad keilmuan sampai kepada Rasulullah, memiliki akhlak terpuji dan membenci penindasan sebagaimana yang disebutkan di atas, yakni menolak sesuatu yang bersifat hoax dan mengembalikanya kepada kebenaran yang haq.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seorang santri sebagai “agent of change” sekaligus penerus tongkat estafet para ulama dari segala kemungkaran yang tengah diperdebatkan di kalangan masyarakat, memiliki tugas yakni berperan penting dalam hal tersebut. Melihat keilmuan yang sangat matang, penggemblengan moral dan metode pembelajaran yang di pesantren menjadi wujud dasar dari seorang santri untuk tampil di depan umum.

Akan tetapi karena minimnya penguasaan public speaking (seni berbicara didepan umum) bagi para santri menjadi sebuah kendala yang cukup signifikan. Tercatat oleh PDPP (Pangkalan Data Pondok Pesantren) jumlah pondok pesantren di Indonesia dalam sensus Kementrian Agama Republik Indonesia adalah 28.961. Namun banyak dari mereka yang belum memiliki kemampuan public speaking yang baik dan benar, karena rendahnya edukasi mengenai berbicara dan tampil di depan umum,

Melihat minimnya penguasaan public speaking di kalangan pesantren terkhususnya para santri, perlu adanya pengelolaan sumber daya manusia utamanya pada bagian public speaking agar para santri dapat speak up di depan umum dan dapat meluruskan dengan tegas segala perdebatan yang terjadi di tengah masyarakat dengan gaya bahasa yang mengena di khalayak ramai. Dimulai dengan adanya ekstrakulikuler yang berbau public speaking seperti pidato, moderator, MC, forum batsul masail yang mana menjadi wadah bagi para santri untuk lebih meningkatkan pola pikir dan mengembangkan pola komunikasi dengan lawan bicara sesuai dengan tata cara yang diedukasikan oleh pihak mentor dari ekstrakulikuler tersebut.

Menjamurnya medsos perlu mendapatkan perhatian khusus pula dari banyak pihak termasuk para ulama muda (santri), perlu kearifan untuk menyikapinya. Hal tersebut menjadi peluang bagi para santri untuk mengambil tempat di dunia media sosial dengan digitalisasi dakwah, adapun strategi yang ditawarkan adalah dengan mengelola akun social media yang berisi dengan dakwah sesuai dengan Islam Aswaja. Metode dakwah di era seperti masa kini harus dikembangkan agar tetap relevan dan mudah dicerna di kalangan masyarakat.

Sepanjang tahun ini, beberapa prediksi yang disampaikan Ericsson berhasil terbukti, dan salah satunya adalah perilaku streaming native yang kini populer. Jumlah remaja yang mengonsumsi layanan streaming video kian tak terbendung. Tercatat hingga 2011 silam hanya ada sekitar 7 persen remaja berusia 16-19 tahun yang menonton video melalui aplikasi Youtube. Riset membuktikan mereka menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar 3 jam sehari. Kemudian angka tersebut melambung empat tahun kemudian menjadi 20 persen dan tahun terakhir di 2020 ini hampir semua golongan usia menjadi pecandu aplikasi youtube tersebut.[1]

Penerapan live streaming pengajian merupakan penyajian dakwah yang cukup eksistensi di kalangan masyarakat utamanya pegiat pengajian media sosial. Dalam pengaplikasiannya, disiarkan langsung dan dapat dilihat banyak orang sekaligus fitur live chat yang memberi peluang bagi penontonnya untuk berkomentar. Penyampaian dakwah melalui konten medsos seperti ini dinilai sangat efektif, inovatif, kreatif dan mudah diterima pada kalangan masyarakat. Terlebih pendakwah dalam konten live streaming tersebut haruslah memiliki kemampuan public speaking serta keilmuan mendalam seperti yang telah disebutkan di atas.

Seorang santri adalah pelopor bagi agama dan negaranya memiliki peluang yang sangat luas, memiliki tantangan sebegitu dahsyat, dan tentunya memiliki harapan yang lebih besar dari peluang dan tantangan tersebut. Akan tetapi harapan yang begitu luas tidak akan tercapai tanpa bisa memanfaatkan peluang dari tantangan-tantangan tersebut. Berdakwah melalui media sosial merupakan salah satu seni penyampaian yang dianggap baik pada era digitalisasi ini.

Dengan ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa berdakwah dengan mengikuti perkembangan zaman akan lebih masif daripada bersikap pasif di lingkungan. Sebuah pohon yang kokoh berasal dari akar sebagai pondasinya. Begitu juga kokohnya agama Islam dapat dilihat dari eksistensi para ulamanya seberapa produktif mencetak generasi berperadaban dan bermartabat sebagai penerusnya.


[1] Reza Dzulqarnain Hamid ( Menjahid Peradaban Baru:Shafiyah Publisher) Hal 4.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari