ilustrasi istri shalihah

Dalam Islam kedudukan perempuan sangat penting sebab itu, beberapa tangung jawab ada di sisi kaum perempuan. Istri memiliki peran utama. Baik mengatur, memastikan, mengarahkan agar rumah menjadi sebuah hunian yang nyaman bagi seluruh keluarganya. Bahkan melihat peran yang begitu penting, di dalam Al-Quran ada nama khsusus untuk kaum hawa yaitu Surat an-Nisa.

Al-Quran dengan kemukjizatannya telah memposisikan perempuan dengan hormat. Al-Quran dengan detail menyampaikan dalam Surat Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi:

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

Ayat tersebut penekanan pesan konteks di mana perempuan harus memiliki karakter yang baik sebelum ia keluar rumah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada ayat 34 yang berbunyi:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ لَطِيْفًا خَبِيْرًا 

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”.

Ibnu Kastîr mengatakan ayat tersebut memerintahkan untuk beramal dengan apa yang Allah turunkan melalui kitab suci-Nya. Ditambah dengan mengkaji sunnah/perilaku Nabi SAW di rumah-rumah mereka.

I’jaz al-Quran dalam menunjukkan bahwa kepemilikan rumah itu atas istri. Ada beberapa ayat dalam al-Quran yang memiliki makna yang sangat kuat bahwa ‘rumah adalah milik istri’. Ini yang tidak banyak dipahami oleh banyak orang.

Bahkan ayat- ayat yang terkait dengan itu misalnya  ولا تخرجت من من بيتوهن   dan وقرنا في بيوتهن   Larangan perempuan keluar rumah, banyak kalangan berpandangan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah padahal sebenarnya kemukjizatan kata ‘buyut’ itu adalah menunjuk kepada hak perempuan memiliki rumah suaminya jika bercerai.

Di antaranya hak tentang kiprah sosial perempuan di luar domestik rumah tangga, dalam konteks pertama apakah perempuan harus tetap tinggal di rumah? Kedua, apakah perempuan boleh bekerja di luar rumah? Termaktub dalam Q.S. Al-Ahzab: 33. Mufasirin yang berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut sehingga sering terjadi interpretasi yang kontradiktif terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu diperlukan metodologi yang tepat dalam menafsirkan ayat tersebut.

Membatasi Perempuan Untuk Keluar Rumah

Surat al-Ahzab ayat 33 tidak mutlak membatasi perempuan untuk keluar rumah. Jika ayat tersebut dipahami secara teks. Maka yang terjadi banyak perempuan yang tidak produktif dalam kehidupan mereka. Produktif artinya mereka berkarya untuk kehidupan mereka. Islam jelas mengajak umatnya unutk produktif dalam bekerja atau beramal. Bahkan Islam menyuruh umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan atau fastabiqul khoirot.

Termasuk kaum perempuan untuk membuat mereka produktif hak-hak perempuan harus diberikan sesuai dengan porsinya. Karena masih sering terjadi bahwa perempaun tidak mendapatkan hak-haknya ketika ditinggal suami seperti dalam masalah perceraian.

Quraish Shihab menambahkan bahwa fokus masalahnya adalah bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja tetapi bahwa Islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, di mana pekerjaan tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. Kondisinya menjadi berbeda apabila kondisi ekonomi suatu keluarga yang bisa dikatakan kurang dari cukup, maka perempuan pun tidak keliru apabila bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

Dalam Surat Ath-Thalaq yang berbunyi sebagai berikut:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Q.S. At-Talaq ayat 6)

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. At-Talaq ayat 7)

Kedua ayat tersebut memberikan perhatian yang besar terhadap kemakmuran kaum hawa. Terutama setalah mereka diceraikan dengan baik. Agar para mantan suami memberikan kehidupan yang cukup untuk mereka. Bahwa para mantan suami dilarang mempersulit mereka. Bahkan setiap jerih payah perempuan yang mengandung anak mantan suami harus diberikan jasa pemabayaran yang setimpal. Bahkan suami dilarang memaksa istri keluar rumah dari rumah yang telah ia tempati. Karena mengingat tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu yang begitu besar.

Dalam Islam kewenangan kepada perempuan untuk menyingkap harta yang dimilikinya dan juga memberikan otoritas penuh untuk menggunakan harta miliknya, baik keadaannya sebagai ibu, istri, anak saudara perempuan, ia berhak memperoleh penghasilan dari berkerja atau hak waris kerabatnya.

Di zaman dulu ada seorang bernama Aus ibn Sâmit al-Ansârî di saat wafat ia meninggalkan istri dan anak perempuan. Keluarganya yang bernama Suwaid dan’Urfatah, sepupu laki-laki Aus harta warisan milik hak ibu dan anak tidak berikan hanya karena ia berjenis perempuan. Hal tersebut diadukan kepada Rasulullah Saw maka turunlah ayat 6 surat An-Nisa yang berbunyi sebagai berikut:

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْاۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.

Maka dapat dipahami bahwa kepemilikan perempuan atas harta baik barang niaga, termasuk harta warisan dari keluarga atau suaminya dijamin kepemilikannya oleh Al-Quran.

Di Indonesia dalam memperjuangkan hak para perempuan, Muhammadiyah dan NU mendirikan Aisyiah dan Muslimat di mana aspirasi para perempuan diperjuangkan. Perempuan diberikan hak yang sama dalam berkompetisi. Jadi sudah tidak ada perempuan yang termarjinalkan karena mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakatnya.


Ditulis oleh: Al Firdaus, Mahasiswa doctoral Pascasarajana Univ PTIQ Jakarta dan Wakasek SDTQ.