ilustrasi: perempuan dan hujan

Ekspansi Bramocorah

Oleh: Hizbullah*

Aku datang, untuk kenyang. Semua harus serba di bawah kekang, yang kukuasai. Malu? Itu bagi yang melihat saja. Tak ada kata malu, semboyan hidupku adalah: apa pun yang menurutku ‘nyaman’ akan kulakukan, biarpun di kampung orang.

Mengenai ocehan, komentar orang lain, bukan urusanku. Lebih-lebih kalau masih ada yang mengingat kata-kata bijak atau manis, yang dahulu pernah kulontarkan, seakan orang berpekerti saja.

Tak lagi kupedulikan saran-saran kebaikan yang bagiku mengusik cara pikir dan pandangku, yang sangat monopoli satu arah. Bukan urusanku, kalau aku mau, aku akan dengar dan ikuti, kalau tidak mau, ya sudah tidak. Kurasa tak mau tak butuh penjelasan panjang, kecuali bagi kepala yang tak ada otak di dalamnya.

Kesampingkan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pendatang, oleh pekerja yang bekerja. Kalau selagi bisa sesuka hati, mengapa tidak, yang merasa memiliki tempat pun tak bergerak, bebas lah sudah. Kerja sedikit tapi gaji tetap, atau bahkan kalau bisa tak kerja tapi dapat uang itu lah yang harus lebih diseriuskan, “Jadilah pribadi tangguh. Yang tetap pendirian, tak bekerja tapi gaji tetap masuk ke rekening.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayam ayam saja hidup, biarpun tak tentu rumah di mana, anak-anaknya pun banyak. Kalau sekedar kegiatan ekspansi bramocorah dari satu tempat ke tempat lain, itu masih terhitung ringan. Gigitan semut malah terasa masih lebih jauh menyakitkan.

Pamulang-270124, 05.27, halub©


Keras Kepala di Tempat yang Tepat

Salat berjamaah tak wajib, yang penting salat. Ngomong elit, praktek melilit. Banyak bicara, banyak juga tidurnya. Menumpang di kampung orang, malu terbuang, apa pun kehendak nafsu—terlalu sering diterjang.

Peringatan halus, tersembunyi, dianggap tak memahami kondisi. Dibiarkan, geram melihatnya. Datang sesuka hati, berkelakar semaunya saja. “Malu, malu.” Hanya untaian omong kosong.

Memaksakan ideologi pribadi di tempat orang lain, ditegur, marah. Siapa yang salah, siapa yang marah. Krisis kewarasan. Tentang makan, jangan sungkan. Selagi bisa ditelan, buat apa pura-pura. Jiwa buas beringas dipelihara.

Padahal jelas, “Di mana kaki berpijak, di situ lah langit dijunjung.” Namun, berkelakar rasanya lebih nikmat. Melihat orang-orang berang. Memaki sekuat-kuatnya. Berteriak banyak macam umpatan.

Di situ lah, aku bodo amat. Makin marah mereka, makin meriah lah. Nanti setelah berpura-pura terkesima, tidur saja lagi, bangun tidur, makan langsung, buat teh hangat. Begitu lagi terus terus, mau kiamat tujuh puluh kali pun, emang siapa yang peduli. Begitulah watak busukku.

Bila tiba waktunya main-main, apa pun itu; jalan-jalan, ngobrol apa saja, main bola, nonton, o jelas! Aku yang berbaris paling awal. Sebab, untuk itu lah, hanya untuk itu lah aku ada dan diciptakan di dunia ini.

Hah! Omong-omong tentang suatu etika yang harus dilaksanakan di tempat tertentu, itu sih urusan mereka yang punya tempat. Aku sih, lebih ke bodo amat. Emang buat apa pusing-pusing ngikutin budaya setempat. Biar pun aku hanya pendatang, tapi ya suka-suka aku lah!

Pamulang, Ahad 280124, 05.50, halub©


Bramocorah Hijrah

Langkah gontai ini surut, menyangkut di persimpangan jalan. Aku sudah menemukannya di suatu surau. Di sana, mulanya aku begitu dipuja. Namun, seiring berjalannya waktu, kini aku dicampakkan. 

Setelah perenungan panjang. Ternyata aku dapati, diri sendiri lah penyebabnya. Ketika rapat, aku tak merapat. Sedang di belakang, aku lah master of master, core of corenya pengumpat. 

Kalau dipikir ulang. Aku ini bodoh keparat. Aku yang datang, menumpah di kampung orang. Eh tapi, malah aku yang menuntut agar mereka yang mengikuti apa pun kemauan pusarku.

Padahal. Kalau saja, sedikit mau, aku menilik ulang keadaan di kampung sendiri. Aku di sana, terpuruk. Tak banyak uang yang bisa kudapatkan. Maka, aku harus hijrah ke tempat hijau nan basah. 

Sayang sejuta sayang, aku maunya digaji tanpa harus bekerja. Inginnya banyak bicara, 0 implementasi. Kehendakku mereka para pengganjiku tunduk padaku. Betapa pandirnya otakku ini. Gimana caranya penggaji nurut pada pekerja.  

Jangan-jangan, aku sudah mendekat ke drajat g-i-l-a. Arrgghhh!

Pamulang, Ahad 280124, 05.59, halub©