Sumber gambar: http://www.nu.or.id

Oleh: Silmi Adawiya*

Kurban yang sering kita lihat itu barawal dari kata “qaruba” yang bermakna menghampiri atau mendekati. Namun kurban yang dimaksud dalam ajaran Islam itu binatang ternak yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah, pelaksanaannya tidak lain pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyrik (11,12, dan 13 Dzulhijjah).

Ajaran kurban tersebut telah jelas dikemukakan langsung oleh Al Quran dengan firman-Nya:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayat yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan hanya untuk Allah. Begitupun dalam melaksanakan kurban harus murni karena Allah. Begitu pula dengan QS Al-An’am ayat 162 yang menyatakan bahwa segala ibadah sepanjang hidup hingga mati adalah karena Allah. Lebih spesifik lagi, Ibnu Qutaibah Az Zajaj mengatakan bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.

Tafsir yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengungkapkan makna kurban dari ayat tersebut adalah menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha, karena itu disebut juga dengan “al ‘udhhiyah” sesuai dengan pelaksanaannya yang mendekatkan diri pada Allah di hari raya Idul Adha.

Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah kurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Termaktub dalam QS Al-Hajj sebagai berikut:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” 

Dari ayat di atas jelas sudah bahwa maksud dari bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari kurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih.

Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridha-Nya.” Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berkurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih kurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.