Sumber gambar: tribunnews.com

Oleh: Nur Rohmad*  

Apakah Nabi Pernah Sesat? Tafsir ayat ووجدك ضالا فهدى

Baru-baru ini, tersebar video mengenai penafsiran surat adh-Dhuha ayat 7 yang begitu menghebohkan. Dikatakan oleh penafsirnya bahwa berdasarkan ayat tersebut, Nabi Muhammad ﷺ pernah sesat sebelum diangkat menjadi Nabi, lalu Allah memberinya petunjuk. Yang tidak kalah memantik polemik di kalangan publik adalah lanjutan ceramahnya yang mengaitkan “kesesatan” Nabi itu dengan peringatan hari lahir Nabi yang populer disebut perayaan maulid di kalangan umat Islam. Dia menegaskan bahwa peringatan maulid sama halnya dengan memperingati kesesatan Nabi. Na’udzu billahi min dzalik.

Meski yang bersangkutan telah meminta maaf secara terbuka, namun hal itu tidak menyurutkan niat penulis untuk menjelaskan kepada publik bahwa ayat tersebut tidaklah mengandung makna seperti apa yang ia katakan. Patut ditekankan dan ditegaskan bahwa Nabi yang kita cintai serta sosok yang segala tindak-tanduknya kita teladani, tidak pernah mengalami fase tersesat dari jalan yang benar.

Berikut ulasan singkatnya. Semoga bermanfaat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penting dipahami bahwa menurut para ulama Ahlussunnah dan para ahli tafsir terkemuka yang mu’tabar, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah mengalami kesesatan.

Imam an-Nasafi, salah seorang ulama tafsir terkemuka mengatakan dalam Tafsir an-Nasafi, 4/39:

ولا يجوز أن يفهم به عدول عن حق ووقوع في غي فقد كان عليه الصلاة السلام من أول حاله إلى نزول الوحي عليه معصوماً من عبادة الأوثان وقاذورات أهل الفسق والعصيان

“Ayat tersebut tidak boleh dipahami bahwa Nabi Muhammad pernah menyimpang dari kebenaran dan terjatuh dalam kesesatan, karena beliau sejak awal sampai turunnya wahyu kepadanya ma’shum (dijaga oleh Allah) dari perbuatan menyembah berhala serta perbuatan-perbuatan hina para pelaku kefasikan dan ahli maksiat.”

Al-Qadli ‘Iyadl dalam asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mushthafa, 2/109 mengatakan:

والصواب أنهم معصومون قبل النبوة من الجهل بالله وصفاته والتشكك في شيء من ذلك

“Pendapat yang benar bahwa para nabi ma’shum sebelum menjadi nabi dari ketidaktahuan mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya dan juga dari keragu-raguan dalam hal itu.”

Syekh Abdullah al-Harari menegaskan dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, hlm 12 :

وَتَجِبُ لَهُمُ الْعِصْمَةُ مِنَ الْكُفْرِ وَالْكَبَائِرِ وَصَغَائِرِ الْخِسَّةِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا

“Para nabi itu pasti terjaga (ma’shum) dari kufur, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang menunjukkan kehinaan jiwa, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya.”

Penafsiran Para Ulama Tafsir

Secara tekstual, surat adh-Dhuha ayat 7 tersebut seakan-akan bermakna bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah sesat. Di sinilah arti penting talaqqi atau belajar ilmu agama dari para ahlinya. Ilmu agama, lebih-lebih yang berkaitan dengan tafsir Al Quran, tidak cukup diperoleh hanya dengan cara menelaah Quran terjemahan, artikel di internet atau buku-buku bacaan tanpa bimbingan seorang guru yang tepercaya dan memiliki mata rantai sanad keilmuan yang bersambung sampai dengan Rasulullah. Jika hal itu dilakukan, maka sangat rentan terjadi gagal paham, salah paham, tidak paham, kurang paham dan seterusnya, yang berujung kepada ajaran yang menyimpang, aneh, nyleneh, menyempal, keluar dari arus utama, bertentangan dengan mayoritas umat Islam dan seterusnya. Jadi sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bahwa Al Quran tidak bisa dan tidak boleh diterjemahkan secara tekstual. Andai pemaknaan tekstual itu dibenarkan, maka akan banyak sekali pertentangan antara sebagian ayat dengan sebagian yang lain (contoh-contohnya sangat banyak. Sengaja tidak ditampilkan di sini supaya tulisan ini tidak terlalu panjang). Yang bisa dan boleh dilakukan adalah menerjemahkan makna ayat-ayat Al Quran, atau menerjemahkan tafsir Al Quran.

Apa makna dan tafsir ayat tersebut?

Disarikan dari kitab-kitab tafsir mu’tabar, seperti ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi, an-Nasafi dan lain-lain, bahwa ayat tersebut ditafsirkan para ulama tafsir dengan beberapa penafsiran, di antaranya :

Pertama, bahwa Nabi ﷺ pada awalnya, sebelum diturunkan wahyu kepadanya, tidak mengetahui rincian penjelasan terkait syari’at. Lalu Allah memberikan petunjuk kepada beliau mengenai hal itu dengan menurunkan wahyu kepadanya.

An-Nasafi berkata dalam tafsirnya:

{ وَوَجَدَكَ ضَالاًّ }

 أي غيرعالم ولا واقف على معالم النبوة وأحكام الشريعة وما طريقه السمع { فهدى }  فعرفك الشرائع والقرآن

“Dan Allah mendapatimu (dengan ilmu-Nya yang azali), wahai Muhammad dalam keadaan tidak mengetahui tanda-tanda kenabian dan hukum-hukum syari’at serta perkara-perkara yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu, lalu Allah memberitahukan kepadamu (dengan menurunkan wahyu) mengenai syari’at dan Al Quran”.

Dalam tafsir al-Jalalain disebutkan:

ووجدك ضالا ” عما أنت عليه من الشريعة ” فهدى ” أي هداك إليها

“Dan Allah mendapatimu (dengan ilmu-Nya yang azali) dalam keadaan tidak mengetahui (rincian) syari’at, lalu Dia memberitahukan hal itu kepadamu.”

Kedua, bahwa Nabi ﷺ sewaktu masih kecil pernah tersesat jalan di jalanan area perbukitan Mekah lalu Allah menunjukkan jalan kepadanya dan mengembalikannya kepada kakeknya, Abdul Muththalib.

Al-Qurthubi menyatakan dalam tafsirnya:

وقيل:” ضالا” في شعاب مكة، فهداك وردك إلى جدك عبد المطلب

“Dikatakan oleh sebagian ahli tafsir bahwa Nabi ﷺ (sewaktu kecil) tersesat jalan di jalanan area perbukitan Mekah, lalu Allah menunjukkan jalan kepadanya dan mengembalikannya kepada kakeknya, Abdul Muththalib.”

Dan masih banyak lagi penafsiran-penafsiran lain dari para ulama tafsir.

Sebenarnya, jauh sebelum video “ngustadz milenial” itu viral, salah seorang tokoh besar Wahhabi (aliran menyimpang) yang bernama Nashiruddin al-Albani juga pernah mengatakan hal yang sama. Bedanya, kalau “ngustadz milenial” itu mengaitkan ayat tersebut dengan pengharaman perayaan maulid, sedangkan Albani mengaitkan ayat itu dengan pengkafiran para pelaku tawassul dan tabarruk. Keduanya memiliki gen yang sama : “Nyleneh dan Sok Nyunnah”.


*Tim Aswaja NU Center PCNU Kab. Mojokerto, Jawa Timur