ilustrasi: www.google.com

Oleh: Silmi Adawiyah*

Sifat cinta sang pecinta kepada Allah adalah kebebasan. Cinta yang tidak terikat ruang dan waktu. Cinta yang tidak memerlukan ungkapan atau kemasan. Cinta sang pecinta kepada Allah adalah sebuah perjalanan menuju suatu tempat abadi yang tidak berubah-ubah dan melampaui segala dimensi. Cinta kepada Allah ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya hati itu hendaklah cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lain.

Dalam QS At Taubah ayat 24, Allah memperingatkan kita untuk menjadikan cinta kepada Allah dan RasulNya ditempatkan pada tingkat pertama, serta mampu mencintai Allah melebihi segala apa yang dimilikinya. Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa jika tidak demikian (mencintai Allah dan RasulNya melebihi segala apa yang dimilikinya), maka tunggu sajalah siksaan dan pembalasanNya yang akan menimpa di kemudian hari. ayat tersebut berbunyi:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَاأَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

 “Katakanlah, ‘Jika bapak, anak, saudara, istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan putusanNya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dimana ketika ditanyakan kesungguhan cinta kita kepada Allah, disitulah kita akan menyadari seberapa kecil atau seberapa besar cinta kita kepadaNya. Sebab cinta adalah ketika sifat-sifat yang dicintai itu ditiru dan dikerjakan oleh orang yang mencinta, sebagai ganti dari sifat-sifat pecinta itu sendiri. Dengan demikian, sudahkah kita mencinta Allah dengan sebenar-benar cinta? Mengenai perihal mencintai Allah, ada hal menarik dari kitab Al Muhadzab min Ihya Ulumuddin:

إذا قيل لك أتحب الله تعللى؟ فاسكت فإنك أن قلت لا كفرت وأن قلت نعم فليس وصفك وصف المحبين فاحدر المقت

“Jika kau ditanya “apakah kau mencintai Allah?”, maka diamlah. Sebab jika engkau menjawab tidak, kau tidak bersyukur kepada-Nya. Namun jika menjawab iya, sifatmu tidak seperti para pecinta.”

Tidak hanya dibuat diam seribu bahasa, tetapi ungkapan tersebut seakan menyeret pada jurang keniscayaan. Sebab apa-apa yang ada pada diri kita masih jauh dari sifat para pecinta yang mencintai Allah dengan segenap cinta. Para pecinta Allah terus meniru akhlak atau perilaku dan sifat mulia yang dimiliki Allah. Artinya, sifat, hobi, dan kebiasaanya sendiri justru ia tanggalkan, untuk kemudian bermanuver serta menggantinya dengan mengerjakan sifat-sifat dari sang kekasih yang dicintainya.

Maka, akhlak-akhlak Allah yang pantas untuk kita tiru dan aplikasikan seperti pemaaf, welas asih, murah hati, dermawan, penuh kasih sayang, lemah lembut, dan lainnya, idealnya juga kita tiru dan terapkan dalam perilaku kita sehari-hari. Semoga kita termasuk satu dari sekian pecinta Allah yang mencintaiNya di atas segalanya dengan segenap cinta.

*Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.