Oleh : Rif’atuz Zuhro*

Tipologi Islam Indonesia

Perbincangan terkait teologis memang tidak akan ada habisnya, sebab semangat teologis itulah yang hingga kini membuat umat manusia terus berafiliasi dengan dalil-dalil ilahiah pada dimensi kehidupan ini. Sejak turunnya agama-agama sebelum Islam, yakni Yahudi dan Nasrani yang sering disebut di dalam Al Quran (Agama Samawi), dijelaskan jika semangat ketuhanan itulah yang mempengaruhi pola interaksi, pola sosial, dan pola politik. Akan muncul sentimen tinggi ketika pada masa transisi kepercayaan Nasrani setelah Yahudi, juga Nasrani dengan Agama Islam.

Sebagai insting manusia secara alami, akan muncul pemberontakan ide, dan tindakan atas usikan tentang kepercayaan nenek moyang mereka yang diperbarui dengan kepercayaan baru yang dibawa oleh nabi baru yang diutus untuk membaharui atau menyempurnakan agama sebelumnya.

Islam di Indonesia ialah Islam yang damai, ramah dan toleran. Sebab, Islam sendiri datang ke Nusantara dengan berbagai hal yang unik, termasuk perdagangan dan dakwah damai yang telah terakulturasi dengan budaya setempat. Berbeda dengan wajah Islam yang berada di Tanah Hijaz, sebab berdasarkan historinya saja sudah berbeda, yang mana Islam Timur Tengah berkembang dengan sebuah “penaklukan”, meskipun pada awal datangnya Islam, Rasulullah sendiri tidak pernah memakai cara-cara kekerasan untuk melakukan Islamisasi terhadap umatnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tidak banyak kalangan yang mau menerima representasi nilai-nilai teologis dalam bentuk negara demokratis, seperti Indonesia. Bahkan Indonesia dihadapkan dengan ancaman-ancaman NKRI, salah satunya pemahaman dini terkait konsep ketuhanan.

PMII Benteng Radikalisme di Kampus

Dengan semangat perpaduan Islam dan Indonesia, PMII hadir sebagai organisasi intelektual kemahasiswaan keIslaman satu-satunya yang mengakui “Pancasila” sebagai asasnya. Itu disebabkan PMII tidak bisa dipisahkan dari organisasi masyarakat (Ormas) Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi kiblat haluan pergerakan kader PMII. PMII secara kultural dan historis memiliki hubungan harmonis dengan NU sejak zaman pendirian organisasi kaderisasi kemahasiswaan tersebut.

Munculnya gerakan-gerakan radikal dan anti toleran dengan garang menunjukkan keberadaan dan kedikdayaannya adalah dinamika mempertahankan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan membentengi masyarakat dari radikalisme agama adalah tugas dan tanggung jawab bersama dalam menjaga keutuhan NKRI yang susah payah telah dibangun oleh ulama-ulama nasionalis, khususnya untuk kader-kader PMII yang menjamur di Kampus-Kampus berbasis UIN, IAIN, dan STAIN.

Wajah Islam yang ramah, sengaja dipermainkan menjadi Islam yang berwajah buram, kasar, dan penuh amarah, bahkan teroris yang jauh dari visi dan misi ajaran Islam itu sendiri. Disinilah fungsi PMII sebagai organisasi kaderisasi bangsa, PMII lekat dengan identitas aktivis dan kurang harmonis dengan status akademisnya. Padahal fungsi dari pada kader PMII di kampusnya masing-masing sangat diperlukan sebagai benteng gerakan-gerakan radikal yang sudah mulai mengakar khususnya di kampus-kampus umum di Indonesia.

Berkat bidikan yang tepat sasaran organisasi kemahasiswaan yang merupakan underground dari organisasi (politik) masyarakat radikal, secara istiqomah memanfaatkan ruang-ruang kecil yang tidak dilirik sebagai tempat berjuang oleh kader-kader PMII. Seperti, lembaga dakwah kampus, lembaga dewan pers kampus, dan lain sebagainya. Kader PMII sudah terlalu lama tersihir oleh perlakuan politik praktis sesama warganya untuk menduduki posisi yang terlihat strategis namun tidak syarat esensi dan fungsinya.

PMII yang erat dengan asahan pemikiran kiri, juga harus diimbangi dengan sikap moderat yang menjadi asal muasal produk pemikiran Nahdliyin, mempertahankan esensi dan eksistensi Aswaja di kampus merupakan salah satu tanggung jawab kader PMII. Oleh sebab itu, kader PMII tidak harus anti musholah/masjid kampus, namun harus merebut kembali untuk menguasai tempat-tempat strategis dakwah yang ada di kampus.

Penguasaan Aswaja di Kampus Umum

Langkah perubahan tidak harus dimulai dengan langkah-langkah yang besar, dengan hal yang sederhana perubahan itu berawal. Begitu juga dengan cara kader PMII untuk menembus benteng-benteng pertahanan dari kampus umum yang telah memblocking terhadapa ajaran dan amaliah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu sendiri.

Pertama, menguasai organisasi intra kampus. Sejak dini penting ditanamkan jiwa kepemimpin dan mengorganisir massa, sebagai bentuk fitrah bahwa setiap manusia adalah pemimpin, sehingga tidak ada hal yang mustahil dan dipertentangkan apabila mahasiswa-mahasiswa NU mulai menjajaki organisasi intra kampus seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sikap apatis terhadap proses pergolakan kampus akan semakin memberikan kesempatan pihak-pihak lain untuk menempati posisi-posisi strategis yang ada di kampus.

Kedua, membentuk Small Group Discussion Aswaja kampus. Hal ini sangat penting, apalagi jika diterapkan di kampus-kampus umum dengan mengundang tokoh-tokoh yang mahir tentang pemikiran Islam (Aswaja) guna membentengi dan menarik mahasiswa dan akademisi kampus dengan doktrin Islam Aswaja.

Ketiga, menguasai lembaga pers kampus. Beberapa tahun terakhir, lembaga pers, penalaran dan penyiaran media kampus di perguruan tinggi lebih didominasi oleh mahasiswa yang di bawah tangan organisasi tidak moderat. Tentu hal ini disebabkan minimnya minat dan bakat mahasiswa NU untuk berkecimpung di dalam dunia literasi dan media. Kajian keaswajaan yang dilakukan terbilang jarang dimediakan. Sehingga kajian-kajian yang mewarnai kampus justru datang dari ajaran non Aswaja, non Nahdliyin.

Ketiga hal di atas adalah sekadar kiat-kiat penulis, dan masih bisa bersifat dinamis dalam penerapannya karena situasi dan kondisi setiap perguruan tinggi akan berbeda, maka berbeda pula solusi dan strategi dalam mempertahankan dan menyebarluaskan faham Islam Aswaja.


*Kru Tebuireng Online