Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Salahudin Wahid, dalam acara pelantikan Perma Pendis Indonesia di Pesantren Tebuireng. (foto: Inut Sukamoto)

Oleh: KH. Salahudin Wahid*

Pesantren pertama itu digagas oleh para wali, pesantren tertua yang kini masih ada adalah pesantren Sidogiri yang didirikan pada tahun 1740. Sedangkan sekolah Belanda, yang menjadi cikal bakal sekolah non agama Islam di Indonesia, berdirinya tahun 1860. Perkembangan pesantren, sama sekali tidak dibantu oleh Belanda. Nah sekolah-sekolah Belanda otomatis, seingat saya KH. Hasyim Asy’ari pernah ditawari oleh Belanda, tapi beliau menolak. Jadi sikap ini, mengatakan bahwa NU itu radikal, maksudnya radikal dengan Belanda, istilahnya bukan itu. Istilahnya mestinya nonkooperatif. Jadi yang tidak bekerja sama atau yang melawan Belanda itu bukan radikal tapi  bersikap non kooperatif.

Setelah kemerdekaan, seluruh sekolah Belanda itu, SD, SMP, SMA termasuk Universitas ada di Jogja, Jakarta, kemudian di Surabaya. Kemudian banyak alumni pesantren yang belajar di sekolah-sekolah umum, termasuk di perguruan ini banyak sekali. Bahkan sebagian besar, sehingga banyak santri mbah Hasyim yang jadi dokter, insinyur, tapi sedikit yang menjadi kiai. Sikap itu pada tahun 40an atau 50an. Tapi sekarang itu tidak tepat. Merasa perlu mendorong para santrinya mbah Hasyim. Peran pesantren menurut sekolah, sekolah-sekolah ini bermutu baik, karena gurunya adalah didikan Belanda. Guru saya SMA hampir semua didikan Belanda.

Pada tahun 1951 Menteri Agama KH. Wahid Hasyim, membuat yang mengatur berdirinya madrasah, ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Dan membuat aturan untuk memberikan pelajaran agama di sekolah negeri. Ilmu pendidikan di Indonesia, yang sudah ada pendidikan  non agama di sekolah-sekolah boleh, nah dengan adanya ini maka bagi sekolah yang sudah ada itu, pendidikan agama itu berkiblat pada kemenag, pendidikan agama non agama Islam berkiblat pada kemendikbud. Ini masih menjadi masalah, sehingga banyak pihak di dalam argumen ada pihak yang menyuruh supaya dijadikan satu.

Ketika kita membahas sistem RUU pendidikan nasional, partai demokrasi Indonesia perjuangan, satu-satunya partai meminta supaya dua ini digabungkan. Itu dari TMI, HMI, IMM, Muslimat, Ansor, NU, Muhamadiyah, dan lain-lain yang ada, sepakat untuk menolak usulan itu. Jadi mempertahankan dualisme yang ada itu sampai hari ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pesantren mengalami kondisi jalan di tempat, bahkan di sejumlah pesantren mengalami penurunan, pada akhir 1000-an jumlah pesantren mendekati 5 ribu, 90an jumlah pesantren mendekati 10ribu. 2010an jumlah menjadi mendekat, 2020an ini jumlahnya menjadi dari lima ke sepuluh ribu, kemudian sepuluh hampir mencapai tiga puluh ribu. Mengapa selama 56 tahun terjadi proses yang mendorong peningkatan jumah pesantren, dan peningkatan mengingat untuk masuk pesantren. Kini pesantren dipercayai untuk mendidik putra putri mereka. Di Tebuireng, saya pernah suatu kali dikontek oleh saudara, seorang budayawan, “Mas, piye anakku mondok neng Tebuireng?” yaudah daftar aja. Dia masuk dan ternyata pesantren menjadi pilihan tempat belajar untuk putra-putri mereka. Nah tadi saya sampaikan ada dualisme, dualisme itu tetap ada tetapi bahkan menurut saya berkat sekolah dan madrasah. Jadi fastabiqul khairot, berlomba-lomba dalam kebaikan.

Pendidikan itu meliputi 3 aspek, kognitif, afektif, dan psikomotorik, pendidikan kita lebih fokus pada kognitif yaitu transfer ilmu, aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan kelas, yaitu kemampuan dan aktivitas untuk mengembangkan kemampuan, aspek-aspek afektif tidak mendapat perhatian, karena afektif pemateri yang berdasarkan beberapa sesuatu yang emosi, keadaan, menilai, semangat, mengingat, dan terhadap sesuatu hal. Psikomotorik adalah dongeng dan perilaku jasmani, kemampuan motorik dan kemampuan fisik seseorang. Pendidikan kognitif atau pengajaran bahasa Indonesia walaupun mendapat perhatian lebih besar daripada pendidikan afektif ternyata mutunya kurang baik.

Dibanding negara-negara lain, peringkat kita ada di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filiphina. Apalagi dibanding negara-negara maju. Mutu pembelajaran kita saat ini dibawah mutu kita 40 sampe 50 tahun yang lalu. Jadi saya pernah ngobrol sama pak Yusuf Kalla, saat menjadi Menko Kesra, kepada pak Yahya Umar menjadi apa di Menko Kesra, ujian nasional 40 atau 50 tahun yang lalu, dibandingkan ujian nasional tahun itu tahun 2003-2004 ternyata ujian nasional sekian puluh tahun yang lalu itu lebih berat dari tahun sekarang.

Kemudian pak Yusuf Kalla juga membandingkan ujian nasional kita dengan ujian nasioanl di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina, Vietnam tidak termasuk. Dan kita dibawah peringkat di sejumlah negara itu. Mutu pengajaran kita kini lembaga pendidikan yang baik kota-kota besar dan juga kota-kota kecil didirikan oleh umat Islam, ada Al-Azhar kemudian SD IT, SMP IT, SMA IT, ataupun sekolah-sekolah seperti Al-Hikmah, dan lain-lain di berbagai kota. Termasuk di dalam pesantren, juga terjadi proses untuk meningkatkan mutu pendidikan itu, tetapi dibanding dengan sekolah-sekolah kristen katolik, kita masih kalah.

Masalah terlama kita adalah pada mutu. Ini menjadi masalah, sebagian guru kita tidak lulus ujian kompetensi guru. Mungkin nggak sampai limapuluh persennya. Ini saya ceritakan pengalaman kami di Tebuireng. Tahun kemarin 2018 kami mendirikan sekolah baru SMP Trensains 10 kilo ke selatan. Beberapa sebelumnya kami memastikan mencari guru, yang mendaftar dari luar sendiri, yang ikut tes sekitar 70, dengan angka 80 lulus, dengan angka 70 tidak ada yang lulus. Dengan angka 60 yang lulus 10. Itu fakta yang ada, dan saya yakin itu masalah nasional kita, menurut saya ini masalah utamanya adalah bahan baku. Jadi orang-orang yang masuk ke dalam fakultas pendidkan keguruan dan ilmu pendidikan.

Saya punya cerita tentang seorang doktor Abukarim Baraja, beliau mendapat honoris causa dari Uin di Surabaya, Abukarim Baraja ini mendirikan sekolah. Beliau dulu mendaftar di sekolah keguruan ternyata tidak diterima, kemudain mendaftar di SMA terbaik tamat masuk ke ITS tamat menjadi pengusaha berhasil mendirikan lembaga pendidikan. Jadi kesimpulan Abukarim tadi, mutu guru itu baik, karena seorang seperti Abukarim saja tidak  lulus test menjadi guru. Nah ini mirip dengan apa yang terjadi di Finlandia. Finlandia itu peringkat kesatu dari Universitas yang bisa masuk sekolah guru, di Singapura juga demikian.

Beberapa yang lalu saya mengobrol dengan dosen yang mengajar di Singapura, saya tanya, anak Anda sekolah di Sinagpura ya? Dari SD. Di Singapura gimana? Bagus pak. Sarjana ilmu pendidikan tamat iu menadapat gaji 4000 dollar. Sedangkan yang lain hanya mendapat 3000 dollar. Masalahnya adalah 2 hal, yang pertama mutu bahan baku, yang kedua kesejahteraan. Dan ini serasa pendidikan kita belum baku benar.

Pesantren bisa menjawab tantangan pendidikan, pesantren bisa berjalan 24 jam. Ternyata tindakan itu belum tentu benar. Saya menyampaikan hasil survei di lingkungan pelajar, kejujuran dari akhlak, tanpa kejujuran maka akhlak tidak baik. Hasil survei di kompas mengenai keujuran diukur kejujuran negeri, kejujuran aparat penegak hukum, pelajar dan mahasiswa. Saya ambil yang pelajar dan mahasiswa. Dibagi menjadi 5 kategori, pertama yang selalu jujur. Yang kedua yang sering jujur, ketiga kadang jujur, kadang bohong. Yang ke empat yang sering bohong, yang ke lima yang selalu bohong. Jadi yang selalu jujur dan selalu jujur digabung cuma 10 %. Yang jujur dan kadang bohong itu jumlahnya 50%. Yang sering bohong dan selalu bohong jumlahnya 40%. Jadi yang selalu bohong dan sering bohong jumlahnya 4 x dari yang selalu jujur dan sering jujur. Masalah bangsa kita, saya juga ingin mengukur di Tebuireng. Nah selain itu, kita perlu yang namanya soft skill. Soft skill itu ya kreatifitas. Kemudian apa namanya, sikap persuasif, kemampuan bekerja sama, kemudian mengatur waktu, kemampuan adaptasi. Ini juga menurut saya perlu kita siapkan di dalam pesantren. Tetapi tidak mudah seperti itu.

Pesantren di Tebuireng, mempunyai istilah pembina, yang menemani santri di kamar. Satu kamar di pondok itu isinya 25 orang. Mirip dengan fungsinya guru di kelas, wali kelas. Nah kemarin ini kami mengambil mahasiswa Mahad Aly semester tujuh atau delapan tentu menjadi pembina, ternyata mereka tidak siap. Sehingga kami kemudian mengadakan pendidikan dan latihan bagi ustadz dan ustadzah ini, dalam program itu dimulai dengan latihan kemiliteran, dua minggu di kelas, setelah itu magang di sejumlah pesantren yang kami pilih.

Misalkan Gontor, Tebuireng, Langitan, jadi kami ingin memperkenalkan para ustadz ustadzah ini keragaman pesantren diberbagai tempat dan juga mengambil hal-hal yang positif dari pesantren itu, untuk kita pelajari dan mungkin kita terapkan di Tebuireng. Nah ini kami belum merasa puas, ya mudah-mudahan semuanya kami bisa melakukan perbaikan-perbaikan. Tugas untuma pembina adalah antara lain, kejujuran, tanggung jawab, nah ini survei kompas tadi. Dan menurut saya kuatir ini terjadi di pesantren lain.

Keberadaan santri selama 24 jam perlu dan bisa dimanfaatkan kegiatan estrakulikuler, bagian dari softskill tadi, atau hal-hal yang lain yang diperlukan mahasiswa atau santri di luar kegiatan akademis. Banyak pesantren contohnya menerbitkan buku dan majalah, pidato, bela diri, pecinta alam, Tebuireng membutuhkan hal yang sama, komunitas film oleh Rumah Produksi Tebuireng. Tebuireng aktif dalam kampanye. Jadi kami dilatih untuk memahami kondisi dan bagaimana kita menjadi image pesantren. Nah, kami kemudian ditunjuk sebagai pelatih “trainer of trainer” di beberapa pesantren di Jawa Timur.

Pada awal maret nanti kami akan mengadakan seminar, dalam program problem perfektif dan rasional. Dan itu akan diadakan dengan kerja sama persatuan rumah sakit seluruh Indonesia. Asosiasi rumah sakit daerah dan dinas kesehatan. Dan juga menteri agama, menteri kesehatan dan gubernur Jawa Timur. Peran pesantren dalam keluarga berencana, ditahun 70an pemerintah membuat program KB ternyata tidak jalan. Oleh karena itu pemerintah akhirnya mendekati Kiai Bisri Syansuri dan meminta fatwa beliau, kami harap seminar tadi akan memberi dampak besar.

Pesantren besar perlu memiliki universitas yang dikelola sehingga bisa menjadi universitas yang lain. Saat ini ada mungkin 10 sampai 11 pesantren yang memiliki universitas yang saya tahu. Di Jombang ini ada Universitas Wahab Hasbullah, ada Universitas Darul Ulum, ada Uinipdu, ada Unhasy, di Gontor, dan lain-lain. Dan ini saya pikir sebuah langkah yang baik. Oleh karena itu pemerintah, kementrian agama, dan ristekdikti perlu membantu perkembangan perguruan tinggi di pesantren, dengan demikian statistik ternyata Tebuireng ini, pemuda usia kuliah sampai 25 termasuk perguruan tinggi itu hanya 7 sampai 8%. Sedangkan di Kota seperti Surabaya, Malang, Jakarta, dan lain-lain mestinya 28 sampai 30 %. Jadi kalau  makin banyak mahasiswanya dan makin baik mutunya bagi universitas ini maka kesenjangan yang ada antara kota besar dan kota kecil akan bisa diperkecil, potensi radikalisme akan reda.

Disampaikan dalam acara Pelantikan Pengurus Perma Pendis Indonesia di Pesantren Tebuireng Jombang, Sabtu (9/2/19).

*Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.

Pewarta: Umdatul Fadhilah

Editor/Publisher: RZ