Ketua Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari (PKPH) Tebuireng Jombang, H. Mif Rohim

Tebuireng.online— Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan berita yang diunggah oleh salah satu media nasional pada Ahad (01/04/2018) bahwa pelajar Indonesia di Cina mendapat pelajaran berideologi komunis yang diungkapkan oleh salah satu akademisi di Indonesia. Pernyataan ini langsung mendapat tanggapan dari PCINU Tiongkok bahwa berita itu tidak benar.  Untuk menengai itu, Wakil Rektor III Universitas Hasyim Asy’ari sekaligus Ketua Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari (PKPH) Tebuireng H. Mif Rohim pun memberikan komentarnya.

Menurutnya, berdasarkan pada fenomena global saat ini, disaat berkembangnya Teknologi, Informasi, dan Komunikasi, untuk meningkatkan pendidikan, wajar bila Indonesia menyebar anak bangsa yang mempunyai potensi untuk belajar di Amerika, Eropa, dan negara-negara lainnya. Hal itu, katanya, juga terjadi di Malaysia. Di saat Mahatir Muhammad (mantan Perdana Menteri Malaysia) mengirimkan anak bangsa mereka ke berbagai negara, selepas itu ditarik kembali ke Malaysia untuk membangun negaranya.

“Jadi kalau ada anak bangsa Indonesia belajar di Cina itu tentunya sedikit banyak mereka akan meng-eksplore potensi yang ada di Cina, tentunya akan mengikuti gaya, framework (kerangka kerja), atau manhajul fikr (metodologi berfikir)-nya akan mengikuti Cina,” ungkap alumnus Universiti Teknologi Malaysia (UTM) itu kepada Tebuireng.online di kantornya pada Selasa (03/04/2018).

Menurut Pak Mif, sapaan akrabnya, Cina tidak salah apabila dalam silabus pendidikannya terdapat materi yang mengajarkan tentang ideologi komunis. Sebagaimana kita belajar di Amerika, kita tidak akan lepas dari konsep kapitalisme. Begitu juga ketika belajar di Malaysia dan Filipina, kita tidak akan lepas dari Melayuisme dan Kristenisasi. “Kalau kita bicara Indonesia, Student Foreign (pelajar luar negeri) belajar di Indonesia, tentu ada doktrin Pancasila, dan itu hal yang wajar,” tambahnya.

Ia beranggapan, dari berbagai teori yang dipelajari anak bangsa Indonesia, akan menimbulkan akulturasi pemikiran dan budaya guna membangun peradaban Indonesia ke depan. Oleh sebab itu, lanjutnya, Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari melakukan seminar kerjasama antara Tebuireng dengan UMS (Universitas Muhammadiyyah Surakarta).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Harapan kita untuk mempersatukan integrasi pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan,” terangnya lebih lanjut. Menurutnya, Hal ini dilakukan sebagai sebuah benteng. Ia menyebut hal itu punya dua wajah, di satu sisi untuk membangun konsep ideologi beragama dan bernegara, tetapi di sisi lain tidak menutup diri dari perkembangan dunia.

Ia berharap permasalahan ini tidak dibesar-besarkan dan dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga tidak perlu dikonflikkan, justru sebenarnya bisa memperkaya bangsa Indonesia ke depan. Bahkan ia menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengistruksikan umat Islam belajar ke negara Cina dengan hadis “Belajarnya hingga ke negeri Cina”, terlepas hadis ini dianggap oleh ulama sebagai hadis dhaif (lemah).

Menurutnya, ada karakter yang perlu diambil dari Cina sebagai pengamalan kaidah al Muhafadzatu ala al Qadimi ash Shalih wa al Akhdu bi al jadid al Ashlah. “Pertama, kita harus al Muhafadzatu pemikiran KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebagai satu paradigma untuk meng-eksplore nilai-nilai ketuhanan dn kemanusian. Kedua, al Akhdzu, meski belajar dari berbagai negara, kita harus akhdzu, kita harus mengambil yang baik. Memang tidak semua baik, tapi ada nilai yang baik yang harus kita ambil di sana,” jelasnya.

Ia menjelaskan, dalam  perkembangan Islam, terdaat dua pemikiran, yaitu hukmiyyah dan hikamiyyah. Dari hukmiyyah lahir Imam empat madzhab, sedangkan dari hikamiyyah lahirlah para ilmuan dan pemikir. Dari merekalah Islam dapat mengadpsi pemikiran dari filsuf Yunani yang kemudian mengintregasikannya dengan hikmah filsafat yang ada di dalam Islam, sehingga muncul suatu peradaban baru dalam Islam.

“Berbeda dengan hukmiyyah yang berbicara aspek-aspek hukum saja. Hukmiyyah diadopsi di negara-negara mayoritas Islam sedangkan hikamiyyah diadopsi ke dunia barat, sehinggga terjadi sekularisme ilmu, ”jelas pria asal Lamongan tersebut.

Untuk itu, ia berharap agar umat Islam dapat mengintregasikan berbagai ilmu yang dulunya bermuara dari Al Quran dan filosofi Islam diterapkan di Indonesia. “Tapi kerangka metodologi atau manhaj KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan tidak bisa ditinggalkan, karena kedua-duanya sebagai sayap menghadapi peradaban global,” pungkasnya.


Pewarta:            M. Abror Rosyidin

Editor/Publisher: Aros