sumber ilustrasi: riau post (burhan)

Oleh: Albii*

Di sebuah pesantren yang terletak di pedalaman daerah Jawa, hiduplah seorang santri bernama Ahmadi. Ia adalah seorang santri yang cerdas, rajin dalam pelajaran, dan selalu menjaga akhlaknya dengan baik. Namun, ada satu kebiasaan nakal yang membuatnya terkenal di antara teman-temannya kebiasaan ghosob sandal.

Setiap kali ada kesempatan, Ahmadi selalu mencari sandal teman-temannya yang sedang ditinggalkan begitu saja di depan pondok. Tidak peduli siapa pemiliknya, sandal itu pasti akan dighosob oleh Ahmadi. Teman-temannya sudah sering mengeluh tentang sandal mereka yang hilang secara misterius, namun tidak ada yang pernah menyangka bahwa Ahmadi lah pelakunya.

Suatu hari, ketika sedang bersiap-siap untuk shalat Subuh, salah seorang teman, namanya Ali, dia merasa aneh karena tidak menemukan sandalnya di depan pondok.

“Eh, mana nih sandalku?” gumam Ali sambil mencari-cari.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ahmadi yang berada di sebelahnya langsung tersenyum penuh arti.

“Eh, mungkin diambil malaikat, Ali. Kita harus berterima kasih atas kebaikan mereka,” ucap Ahmadi dengan nada santai.

Namun, Ali tidak begitu yakin. Dia sudah terlalu sering kehilangan sandalnya dan mulai mencurigai sesuatu. Dia pun memutuskan untuk mengikuti jejak Ahmadi secara diam-diam.

Sesampainya di belakang pondok, Ali terkejut melihat Ahmad sedang duduk di atas tumpukan sandal yang bertebaran. Dengan cepat, Ali menyelinap mendekati Ahmadi dan bertanya dengan nada tajam.

“Ahmadi, apakah ini sandalku yang hilang?”

Ahmadi terkejut dan mencoba berpura-pura tidak tahu apa-apa. “Eh, Ali! Aku hanya sedang menemukan sandal-sandal yang tercecer. Ini kan untuk kebaikan bersama,” ucapnya coba meyakinkan.

Namun, Ali tidak terima. “Tapi kenapa hanya sandal-sandal teman-teman yang hilang? Bukankah ini aneh?” tanya Ali sambil menunjuk tumpukan sandal di depan mereka.

Ahmad terdiam sejenak, kemudian dengan malu-malu mengaku, “Eh, iya sih, Ali. Maafkan aku. Aku hanya iseng saja, tidak bermaksud jahat.”

Ali hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa. “Ahmadi, Ahmadi…, apa yang akan kita lakukan denganmu?” ujarnya sambil tertawa.

Dari hari itu, Ahmadi berjanji untuk tidak lagi menghilangkan sandal teman-temannya. Dan sejak itu pula, kejadian ghosob sandal menjadi bahan tertawaan di antara para santri pesantren. Ahmadi pun belajar dari kesalahannya dan menjadi lebih baik dalam menjaga perilakunya.

Meskipun Ahmadi berjanji untuk tidak lagi ghosob sandal teman-temannya, namun kejadian lucu tersebut masih menjadi bahan pembicaraan di pesantren. Setiap kali ada sandal yang hilang, para santri langsung menoleh ke arah Ahmadi dengan tatapan curiga, meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa Ahmadi sudah berjanji untuk berhenti.

Namun, tidak lama kemudian, kejadian yang mengejutkan terjadi di pesantren. Sebuah sandal ternyata hilang lagi, dan kali ini bukan Ahmadi yang menjadi tersangka utamanya. Para santri mulai bertanya-tanya siapa pelakunya, dan mencari tahu keberadaan sandal yang hilang itu.

Saat sedang sibuk memikirkan siapa yang bisa menjadi pelaku, tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dari balik pohon di halaman pesantren. Para santri langsung bergegas mendekat dan terkejut melihat salah seorang santri baru, Rizky sedang berdiri di sana dengan sandal di tangannya.

“Wah, Rizky! Apa yang sedang kau lakukan dengan sandal itu?” tanya salah seorang santri, sambil mencoba menahan tawa.

Rizky yang terkejut pun menjawab dengan polos, “Eh, maafkan aku. Aku hanya ingin memberikan kesan pertama yang baik di pesantren ini. Aku dengar bahwa kebiasaan ghosob sandal di sini terkenal, jadi aku ingin ikut mencobanya. Tapi sepertinya aku memilih sandal yang salah, haha…”

Para santri pun tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Rizky. Mereka merasa lega bahwa kali ini bukan Ahmad yang menjadi pelaku. Ahmad sendiri hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelucuan Rizky.

Dari kejadian itu, para santri belajar bahwa tidak semua perilaku lucu atau nakal harus ditiru. Terkadang, mencoba terlalu keras untuk menarik perhatian justru bisa membuat situasi menjadi kacau. Selain itu, mereka juga belajar bahwa tidak baik untuk menuduh orang lain tanpa bukti yang cukup.

*****

Satu minggu berlalu, kasus ghosob kembali ada, kali ini terjadi pada Gus pesantren itu, siapa lagi biang keroknya, kalo bukan Ahmadi. Tapi Ahmadi terkejut ketika mengetahui bahwa sandal yang hilang adalah milik Gus, salah satu putra dari kiai pindok yang dihormati di pesantren itu.

Hatinya berdegup kencang karena dia tahu bahwa ini adalah kesalahan besar yang telah dia lakukan. Tanpa ragu, Ahmad langsung mencari Gus untuk mengakuinya dan meminta maaf.

Saat menemukan Gus di masjid pesantren, Ahmadi menghampirinya dengan wajah yang penuh penyesalan. “Gus, aku harus mengakui sesuatu,” ucap Ahmadi dengan suara yang gemetar sedikit.

Gus yang sedang asyik membaca Al-Qur’an langsung mengangkat kepalanya dan menatap Ahmad dengan serius. “Ada apa, Ahmadi?” tanyanya dengan suara tenang.

Ahmadi pun menceritakan semuanya dengan jujur, bahwa dia lah pelaku di balik hilangnya sandal Gus dan bahwa dia sangat menyesal telah melakukan hal tersebut. Dia mengakui bahwa kebiasaan ghosob sandal adalah tindakan bodoh yang tidak patut dilakukan, dan dia meminta maaf sebesar-besarnya atas kesalahannya.

Gus diam sejenak, tampak dalam pikirannya. Kemudian, dia tersenyum lembut dan mengulurkan tangan kepada Ahmadi. “Ahmadi, aku mengerti bahwa ini adalah kesalahan yang tidak disengaja. Aku percaya bahwa kamu telah belajar dari kesalahanmu dan tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Gus dengan penuh pengertian.

Ahmadi merasa lega dan bersyukur atas sikap baik Gus. Dia berjanji untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi di masa depan.

Setelah kejadian ghosob sandal yang melibatkan Ahmadi dan Gus tersebar ke telinga Kiai pondok, suasana hati Ahmadi menjadi gelisah. Dia merasa tegang dan khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, dia tahu bahwa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan menghadapi Kiai pondok dengan sikap yang jujur dan tulus.

Dengan hati yang berdebar-debar, Ahmadi memasuki ruang ndalem pondok. Dia melihat Kiai pondok duduk tenang di hadapannya, dengan ekspresi wajah yang serius namun penuh kedamaian. Ahmadi segera mengucapkan salam hormat dan duduk di hadapan Kiai dengan sikap yang tegap.

“Ahmadi, saya mendengar tentang insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu,” ucap Kiai dengan suara yang tenang namun tegas.

Ahmadi menundukkan kepala dan mengakui dengan jujur, “Betul, Kiai. Saya adalah pelaku di balik hilangnya sandal Gus. Saya menyesal atas perbuatan saya dan siap menerima konsekuensinya.”

Kiai menatap Ahmad dengan penuh perhatian, kemudian tersenyum lembut. “Ahmadi, setiap tindakan yang kita lakukan memiliki konsekuensi, baik itu baik maupun buruk. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dan tumbuh dari pengalaman tersebut. Apa yang kamu lakukan adalah kesalahan, tetapi penting untukmu belajar dari kesalahanmu dan berusaha untuk menjadi lebih baik di masa depan.”

Ahmadi merasa lega mendengar kata-kata bijaksana dari Kiai. Dia merasa didukung untuk memperbaiki diri dan melangkah maju dari kesalahan yang telah dia lakukan. Dia berjanji kepada Kiai dan kepada dirinya sendiri bahwa dia akan berusaha lebih baik lagi dan menjaga sikap serta perilakunya di masa mendatang.

Setelah pertemuan itu, Ahmadi merasa lebih kuat dan lebih bijaksana. Dia memutuskan untuk mengambil pelajaran dari kesalahannya dan menggunakan pengalaman itu untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu yang lebih baik.

Dari sinilah Ahmadi belajar bahwa setiap kesalahan adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang, dan bahwa mengakui kesalahan dengan jujur adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan menuju perbaikan diri.

*Mahasiswa KPI Unhasy.