Silaturahmi dan Halal bi Halal Pengasuh bersama guru dan karyawan lingkup Pesantren Tebuireng Jombang, Senin (24/6/19). (Foto: Amin Zein)

Tebuireng.online– Yayasan Pesantren Tebuireng mengadakan acara silaturahmi dan halal bi halal dengan pengasuh bersama seluruh guru dan karyawan, Senin (24/6/19). Acara ini dilaksanakan di aula lantai 3 gedung Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng.

Halal bi halal ini diawali dengan pembacaan tahlil bersama yang dipimpin oleh ustadz Su’udi. Kemudian dilanjutkan dengan pembukaan dan pengukuhan pimpinan sekolah/madrasah di lingkungan Tebuireng.

Pembacaan surat keputusan dan ikrar dipimpin oleh Sekretaris Yayasan Pesantren Tebuireng, Ir. Abdul Ghofar. Setelah itu disambung dengan sambutan pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. (H.C.) Ir. KH. Salahuddin Wahid.

Beliau menuturkan bahwa saling memaafkan itu tidaklah mudah. Apalagi bila mempunyai kesalahan yang besar. Pada kesempatan itu, Gus Sholah menceritakan keteladanan tentang sosok Buya Hamka.

Menurut cucu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari itu, Buya Hamka termasuk tokoh yang gemar menulis dan karyanya mencapai 100 buku. Bukunya yang masih banyak digemari orang sampai saat ini adalah tafsir Al Azhar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Tahun 63, Buya Hamka dengan beberapa tokoh lain ditangkap oleh tentara atas perintah Soekarno. Ada juga tokoh NU, pak Imron Rosyadi. Waktu itu ketua GP Anshor sebelum pak Ud. Tidak tau salahnya apa. Jadi kalau Buya Hamka itu dituduh mau membunuh siapa gitu. Lah kan nggak masuk di akal,”  ungkap Rektor Unhasy ini. Beliau melanjutkan, “Tapi buya Hamka memetik manfaat dari hal yang tidak baik itu. Beliau bisa menulis tafsir Al Azhar. Dulu tafsir itu dilakukan setiap hari dan belum sampai 30 juz. Lah, di dalam penjara itulah Buya Hamka menyelesaikan tafsir itu.”

“Selain bung Karno, yang bersalah terhadap Buya Hamka adalah Pramoedia Anantatoer. Tahun 60an awal, Buya Hamka menulis buku tenggelamnya kapal Van der Wijck. Oleh Pramoedia Anantatoer dinyatakan sebagai plagiat. Jadi itu menyadur cerita lain yang kemudian dijadikan buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Dan itu diadili secara sosial, untung pada saat itu belum ada WA,” terang Gus Sholah.

Waktu itu ada larangan bukunya Pramoedia Ananta Toer. Buya Hamka meminta agar tidak dilarang. Kalau memang tidak setuju maka perlu membuat buku untuk membantah pendapatanya Pramoedia Anantatoer.

“Terus apa yang terjadi? Pramoedia Anantatoer merasa bersalah dan tersentuh oleh sikap Buya Hamka. Saat putrinya menikah, meminta Buya Hamka yang menikahkan. Bahkan menantu dan putrinya disuruh belajar agama kepada Buya Hamka,” tutur cucu Hadratussyaikh ini.

“Saya juga minta maaf kepada semua yang hadir di sini. Mungkin ada pernyataan, kebijakan, ada sikap yang tidak tepat, saya mohon maaf,” pungkas beliau.

Pewarta: M. Masnun

Publisher: RZ