Oleh : Muhammad Septian Pribadi*

Sebuah SMS muncul dan mengejutkanku saat kongkow di warung kopi langganan, Jopok. Sudah menjadi kebiasaan bagiku menghabiskan sebagian 24 jam untuk duduk dan serawungan di Jopok, walau seringnya ngerasani. Mulai dari yang sepele hingga permasalahan elit di negeri ini. Semua kami tumpah ruahkan di atas meja persegi empat bersama kopi, Jopok.

Nada dering singkat berbunyi, sepertinya familiar sekali suara itu. Kutenggok Hp-ku yang retak membentuk tiga garis menyebar, vertikal dan horizontal tepat di tengah layarnya. Meski sering jatuh dari pelukakanku, Hp ini tampak selalu kuat dan tegar. Baru kali ini dia luka, mungkin dia protes dan lelah hingga berani melukai dirinya, sebagai bentuk protes terhadapku.

Satu pesan diterima, ujar Hp-ku. Seakan masih tetap setia melayaniku meski dalam luka. Cepat kubuka SMS itu. “Jangan lupa, tanggal 26 jadwal kamu menulis cerpen.” Asemm, ujarku dalam hati. Ini pasti Si-penadah tulisan. Benar dugaanku, dia, Semar. Pesan itu tak segera aku balas agar keamanan diriku terjaga dari terornya.

Seruputan teh hangat mulai masuk rongga mulutku. Lumayanlah, seteguk cairan berwarna coklat kekuningan itu mampu memberiku sensasi kalem, sedikit tenang. Konon menurut orang Cina, teh mampu menyeimbangkan Yin dan Yang. Aku percaya saja, sekarang Yin dan Yangku sedikit bergetar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sruputt, sruputt, sruputt, kali ini bukan tegukan teh yang kuminum. Tapi lendir hidung yang menerobos keluar rongga. Beberapa hari terakhir, cuaca dingin mulai menusuk tulang-tulangku. Bersin terpaksa menjadi musuhku. Termasuk umbel yang deras menghujam ke tanah, tertarik gravitasi. Apalagi hidungku ini besar dan mancung. Jika sudah demikian, tisu adalah sahabat terbaikku.

Sama seperti umbel yang menjelma sebuah teror, SMS Semar pun demikian. Membuatku tak leluasa menghirup oksigen. Sebenarnya, Semar bukan masalah terbesarnya, tapi CERPEN. Aku terlalu sering dibuat kepalang oleh cerpen. Bayangkan saja, setiap kali sekolah menulis di padepokanku digelar, semua pertanyaan yang diajukan adalah tentang cerpen. Terus aku harus menjawab apa? TIpologi tulisanku adalah non-fiksi.

Itu pertama. Kedua, hegemoni cerpen berhasil merasuki pikiran para anak petani yang ingin belajar menulis. Bayangan mereka, jika bisa menulis cerpen seseorang akan cepat masyhur. Apalagi bisa menulis novel. Buku mereka terjual laris, dibedah dimana-mana, dijadikan film, diundang talk show dan seterusnya. Sayangnya, itu khayalan. Karena aku tak paham tentang cerpen, apalagi novel. Jadi, jangan tanya saya tentang cerpen! Entah kenapa aku tak paham banyak tentang cerpen.

Terakhir adalah Inspirasi. Semar menjadi teror bagiku dan tentu aku tak menyukainya. Andai saja dia bukan agen cerpen pasti aku akan memberinya makanan kesukaanya, buah pisang idamannya, dan Es Degan favoritnya… ah sudahlah, terlalu banyak berandai akan membuat haluan cerpen pada khayalanku.

 

####

Setelah semalaman sejak di Jopok hingga terabangun dari ranjang lantai yang sudah sobek permukaannya dan mencuat daging sponnya, tak ada inspirasi sedikitpun untuk menulis. Kalau saja tugas itu opini aku tak sebingung ini. Sudahlah aku akan bilang ke penadah tulisan itu untuk minta dispensasi menulis yang lain, atau minimal kasih waktu lebih lama. Namun tak akan bisa sepertinya, dia sangat kuat pendiriannya dalam menagih naskah. Di depan komputer kantor padepokan aku termangu dengan tangan bergerak-gerak di atas keybord.

“Hallo Ian, mana cerpen kamu?”, hantu penadah itu datang, aduh.

“Kasih waktu lagi donk, besok atau lusa. Kalau opini aku bisa malam ini”, pintaku pada penadah itu, si Semar.

“Hmmm , gimana ya? Oke fine, Thank you, semoga Allah merahmatimu! Maaf tidak bisa!. Hari Ini ya!”, dugaanku benar tak sedikirpun ia mau mengalah. Beranjak ia menjauh dan menuju ruang makan.

“Kenapa Mas?”, tiba-tiba Imah datang dengan pakaian nyetil ala pendaki gunung. Guru TK itu datang dengan seragam lengkap jaket kulit yang sangat fashionable. Imah adalah wanita tangguh yang amat mencintai petualangan. Sampai-sampai dia minta ayahnya dibelikan sepeda motor cross untuk mendaki gunung, gila kan? Aku yang cowok aja belum pernah terbersit ingin menaiki raja tanah liat itu. Lebih ekstremnya lagi, dia adalah traveler sejati.

Hampir setiap bulan pergi ke luar kota untuk mencari gunung, laut, dan hutan hanya untuk disowani. Malang, Lamongan, Bawean, Panggandaran, Pacitan dan masih banyak lainya, berhasil dia jajah. Bahkan sempat nginep juga.

Terkadang aku merasa minder dengan diriku sebagai lelaki. Yang lebih sering menghabiskan waktu di Jopok. Imah yang sudah menjelajah ratusan tempat aneh di Nusantara mengingatkanku pada Hua Mulan, legenda perempuan maskulin yang berasal dari Tionghoa. Seorang wanita yang diharapkan tampil feminin oleh keluarganya namun di luar dugaan Mulan ikut program wajib militer. Sosok yang kuat, tangguh, dan tak kenal takut. Tapi Imah sedikit berbeda, sedikit. Tapi lebih minder lagi, dia bisa nulis cerpen, sedang aku tak bisa.

“Nggak ada apa-apa kok, bingung mau nulis cerpen. Itu Si Semar nagih-nagih terus”, jawabku setelah lama tertegun.

“Alah mas, itu mah gampang. Punya pengalaman menarik?”, tanyanya padaku yang masih mengucur deras keringat di tubuhku.

“Nggak ada yang menarik, kuliah, makan shalat, menulis di kantor, makan, jalan-jalan. Banyak juga sih tapi nggak seberkesan pengalaman kamu kali”.

“Ya udah aku ada yang menarik ni, masih hangat, minggu lalu”, aku ceritain entar tulis ya!”, Imah ingin memanbantuku. Wah baik sekali dia.

“Begini ceritanya. Suatu ketika aku berkendara dengan sepeda motornya yang sedikit kusam. Bensin hampir habis dan di dompetnya hanya ada selembar kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol. Semangat Tuanku melawan penjajahan itu tak akan berguna jika ditukar dengan bensin di zaman sekarang. aku melamun di atas motor yang melaju statis.  Aku berencana pulang karena matahari mulai memicingkan sinarnya di ufuk barat.

Di pertengahan jalan yang diapit oleh rerindangan pohon dan hamparan padi yang masih hijau, seseorang melambaikan tangan padanya di bibir jalan. Seakan memberikan tanda untuk berhenti dan menepi.

“Mau kemana dek?”, tanyaku saat menghentikan kendaraanya. “saya pengen nebeng ke arah padepokan yang di sana.” Sambil mengacungkan jemarinya ke arah Barat. Kebetulan, aku juga melewati padepokan itu. Anak sepertinya mengalami semi autis. Cara bicaranya dan gerak-geriknya persis sekali.

“Ya sudah, boleh saja. Silahkan naik”, jawabku  menyetujui permintaan lelaki berpostur mungil itu mas. Umurnya sekitar 6 tahun, mungkin masih kelas 3 SD.

Tangan lelaki itu mencolek punggungku berkali-kali.  “Ada apa dek?”, tanyaku pada dia.

“Aku minta uang buat jajan”, ucap anak itu dengan nada merengek. Sial banget kan mas, bensin sekarat, uang hanya lima ribu rupiah, eh diminta juga. Bagaimana ini. Dengan terpaksa aku memberikan satu-satunya kertas berharga dari dompetku untuk bocah itu. Naluri kemanusiaanku tersentuh.

“Dek ini sudah sampai, silahkan turun”, dia turun tanpa mengucapkan satu kata pun, tersenyumpun tidak apalagi terima kasih. Aku terus memandanginya hingga beberapa langkahnya menjauh. Tatapnya kosong dan menakutkan. Wajahnya aneh, wajahnya tak seperti bocah pada umumya. Aku baru menyadarinya dan bulu kudukku berdiri.

####

“Gimana mas ceritaku? Bisa kamu jadikan bahan cerpen kan?”, seloroh Imah mengejutkanku.

“Ee.. ee.. ee.. terusannya gimana mah?”, jawabku sambil tergagap.

“Mau tau cerita selanjutnya mas? Bayar donk, gak ada yang gratis di dunia ini, karena kelanjutan ceritanya adalah keajaiban.”

“Ooh… dasar semprul”, umpatku. Namun entah kenapa imajinasiku bermain sendiri. Gerak tanganku mengetik semakin berani. Dari cerita Imah aku bisa melanjutkan sendiri dengan tambahan cerita dari imajinasiku sendiri. cerita itu aku selesaikan dengan sad ending. si Imah bertemu dengan anak itu lagi, namun ketika dia sedang menjadi relawan PMI. Anak autis itu ternyata bernama Mail. Si Mail meninggal ketika kecelakaan maut yang menewaskan beberapa orang sebab tabrak lari antara mobil dan beberapa pejalan kaki. Imah kebetulan adalah relawan PMI yang menangani para korban meninggal dan luka-luka.

Wah keren sekali aku bisa menulis cerpen. tidak terasa cerpenku empat halaman selesai. Aku baru sadar, kekesalanku pada si Semar, penadah tulisan itu tak berasalan. Ini adalah tugasku sebagai penulis untuk terus mencoba ranah jenis tulisan lain. Tanpa dia mungkin tak akan pernah aku bisa menulis sebuah cerpen pun. Si Pendah itu, aku berhutang budi juga padanya. Ingin aku meminta maaf padanya dan mungkin akan aku kirimkan bebapa cerpen padanya. Segera aku edit tulisanku dan mengirimkanna ke pesan facebooknya “Si Semar Ingin Sukses”.

Si Imah , setelah ia bercerita dan tak meneruskan hingga akhir, sempat kesal, aku sadar ternyata ada baiknya juga. Kalau saja dia meneruskan ceritanya itu, nggak bakal imajinasiku terangsang untuk berkembang sendiri. Aku akan tetap menjadi budak imajinasi orang lain. Sekarang cerpen bukan hal lain dalam hidupku, fiksi dan non-fiksi, kenapa enggak? Aku hendak mengirim cerpen ini ke media cetak lokal, barang kali di terima seperti dua rekanku, Abedillah dan Udin. Mereka sudah tembus media. Tak hentinhya aku berterima kasih untuk Si Imah dan Sang Penadah Tulisan.

“Ciye yang udah jadi cerpenis juga”, Si Udin Cerpenis Dunia itu datang mengagetkanku yang sedang tersenyum membaca berulang-ulang cerpenku itu.

*Penulis adalah mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asyari Tebuireng Jombang dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang